Ketika sebagian besar parpol menggalang koalisi dengan partai pemerintah yang menang dalam Pemilu 2009, kepentingan durhaka terhadap rakyat telah bergabung. Di sana ditekankan, semua partai yang berkoalisi itu harus loyal kepada pemerintah. Itu artinya, loyal kepada rakyat--pemilik dan pemberi mandat kepada presiden maupun DPR dilupakan.
Kita tahu, Presiden tidak puas terhadap kekuatan pendukung di DPR, selama 2004-2009. Saat itu DPR membuatnya ketar-ketir. Itu tak boleh terjadi lagi. Kali ini kekuatan itu harus ditingkatkan. Makin besar, makin kuat, makin solid, dukungan akan dengan sendirinya makin baik. Itu sah saja dalam politik.
Tetapi kita juga melihat, dalam kalkulasi politik dan strategi memperkuat dukungan itu rakyat dianggap tak ada, dan tak diperhitungkan. Menteri-menteri dari berbagai partai itu pada hakikatnya harus memperlihatkan suatu monoloyalitas logika Pak Harto--hanya kepada pemerintah. Betapa berbahayanya logika politik yang mereka bangun. Dinyatakan atau disembunyikan di bawah alam sadar, melalui dan di dalam koalisi itu pemerintah ingin mengendalikan DPR, untuk pengendalian dan mengonsolidasi pusat-pusat kekuasaan demi kepentingan kekuasaan itu sendiri.
DPR diajak melupakan fungsi politiknya. Kini mulai tampak, DPR hasil koalisi memang lemah, wawasan politiknya terbatas, dan mandul. Sementara itu, kekuatan oposisi masih sunyi senyap, entah apa yang mereka pikirkan di saat negeri tercinta sedang muram seperti ini. Diam dan bersembunyi itu dalam kondisi buruk ini suatu kejahatan.
Patut dicatat lebih dulu, koalisi itu agak lumrah, buat membuka jalan buntu dan menyelesaikan berbagai keruwetan politik, terutama agar suatu jenis kekuasaan memperoleh legitimasi yang sehat. Tapi pada akhir-akhir ini, bergabungnya dua kekuatan itu menandai awal mula lahirnya pengkhianatan terhadap rakyat. Mula-mula saya kaget mendengar suara sinis seorang menteri terhadap langkah MK yang memperdengarkan kepada publik rekaman yang terkesan kuat sekali, bahwa komplotan koruptor tampak sangat berkuasa di negeri kita, dan para pejabat tinggi penegak hukum kita seperti budak, dan begitu loyal kepada pemegang duit.
Birokrasi di lembaga-lembaga penegak hukum kita sangat mesum dan berantakan. Kepolisian dan kejaksaan kedua-duanya di bawah kendali presiden--mungkin lebih parah daripada yang lain-lain, meskipun di bawah Jenderal Sutanto dulu reformasi internal Polri patut dihargai semestinya. Selain itu, jiwa para pejabat kita umumnya sangat lemah. Harga diri mereka rendah dan mudah diatur para cukong.
Kita tak bisa menyalahkan cukong-cukong jahat itu secara sepihak. Kesalahan fatal, pertama-tama ada di hati lemah dan otak lemah pejabat kita sendiri, yang sangat mempermalukan kita di sini maupun di dunia internasional. Salah satu hal yang mempermalukan itu ini: kekuatan reformasi kita dilawan oleh pejabat-pejabat kita, padahal sejumlah negara asing, melalui para pejabatnya, yaitu para dubes di sini, serius, mati-matian, tulus, mendukung reformasi ini di banyak sekali sektor. Tiga tahun saya memimpin Partnership, menyaksikan dengan mata dan hati terbuka, betapa pemerintah Kerajaan Belanda, pendukung terbesar kita, dan Norwegia, Inggris, Australia, dan Denmark, selalu langsung menyerahkan dukungan mereka ke Partnership, melalui UNDP. Lama-lama, mereka berusaha menyerahkannya langsung tanpa perantara lembaga internasional mana pun.
Amerika Serikat memiliki mekanisme sendiri dalam mendukung kita. Dukungan mereka pun besar. Apa ini semua artinya bila bukan kesungguhan komitmen politik negara-negara tersebut, untuk mendukung usaha kita menyembuhkan birokrasi? Patut dicatat, negara-negara donor tak sudi memberikan dukungan macam itu ke pemerintah, dan tak berharap pemerintah menjadi pelaksana dukungan karena sifat korup itu. Dari awal Partnership mengutamakan reformasi Polri, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung, tapi dalam sangat banyak hal para pejabat di dalam lembaga-lembaga itu lebih menghambat daripada mendukung.
Banyak pejabat yang cemas menghadapi ombak besar perubahan lewat reformasi ini. Tapi kita tak sempat ikut memikirkan kecemasan macam itu. Keangkuhan mereka akhir-akhir ini bahkan memicu kemarahan publik, yang arahnya mungkin tak terbendung kini tertuju pertama-tama kepada orang, person, pejabat, agar, maaf, diganyang ombak besar itu. Kalau para pemimpin lebih sensitif, saya yakin, apa yang sekarang terjadi ini tak perlu terjadi.
Ada baiknya kita ingat, psikologi politik massa--apalagi massa di Indonesia yang mudah meletup dalam 'amuk' sering tak terduga, dan tak mungkin dikendalikan lewat koalisi politik yang dalam arti tertentu hanya omong kosong. Pejabat tinggi negara dan anggota-anggota DPR yang harganya tidak terlalu tinggi itu tak bisa diandalkan sama sekali. Kita tak boleh lupa bagaimana Pak Harto 'dikencingi' para 'loyalis' yang tampaknya tulen tapi toh berkhianat juga, dan mereka itu masih di sekitar kita.
Tokoh-tokoh kita itu rata-rata mudah ingkar janji, penjilat, dan culas. Diajak menindas rakyat pun mereka mau jika sang penindas memiliki kekuatan lebih dari kekuatan rakyat. Tapi bila arah angin telah berubah, dan gelombang kemarahan rakyat sangat kuat, mereka akan lari ngacir, meninggalkan persahabatan politik yang dulu disepakati. Siapa yang tak menyadari sikap ini?
Dalam sejarah, mereka pengkhianat bagi 'persekutuan' politik di antara sesama elite jika keadaan memaksa. Dalam keadaan normal, secara rutin, setiap saat--ibaratnya telah menjadi pekerjaan utama sejak dulu mereka pengkhianat bagi rakyat yang memberi mereka mandat di dalam lembaga perwakilan.
Seperti jutaan pemirsa lain, saya malu melihat wajah buruk Komisi III DPR di layar TV. Memang tak semua orang bisa menikmati makanan dengan kualitas gizi baik di masa kecil, dan cerdas ketika menjadi pejabat. Ini sungguh perkara sensitif karena pemerintah tak mampu membangun kesehatan masyarakat. Tapi apa orang yang tak cerdas otaknya harus tak kalah kelam pula batinnya? Kita sudah tahu kualitas DPR periode ini bakal makin buruk, tapi sekadar menimbang dengan hati, bahwa apa yang dikatakan Kapolri belum tentu sebuah kebenaran, mengapa tak mampu? Mengapa semua jiwa di komisi itu berjongkok sedemikian rendahnya di depan otoritas penegak hukum? Apa sulitnya berpikir sederhana, dengan logika sederhana, dan menggunakan hati terbuka, untuk minta penjelasan lebih dalam, agar Kapolri tak mengumbar tuduhan-tuduhan elementer yang begitu mudah ditepis?
Di Republik Indonesia, jiwa merdeka memang mahal. Sikap konsisten dan tegar, yang tak terjajah oleh otoritas lain, memang tak mudah ditemukan, apalagi di lembaga-lembaga yang sejak dulu memang menjadi kandang bagi orang-orang yang sudah terbiasa tak berpikir. Malam itu tanpa suara PDIP, yang dalam kekurangannya, tampak terbaik, diikuti suara PPP--DPR mutlak menjadi bawahan lembaga lain. Ada betul jadinya, kekuatan politik yang begitu nista sikap dan tindakannya.
Oleh Mohamad Sobary, Budayawan
Opini Media Indonesia 26 November 2009