Di dalam kerangka berpikiritulah, seharusnya Polri melakukan introspeksi, sembari melakukan berbagai perbaikan terhadap aneka pendekatan kehumasannya.
TIDAK dapat dimungkiri, konflik Polri-KPK yang terjadi sejak beberapa waktu lalu, merupakan wacana publik yang sangat menyenangkan untuk diikuti perkembangannya.
Pengertian ”menyenangkan” di sini, bukan karena Polri sedang menjadi sasaran hujatan masyarakat lewat berbagai simbol pendapat umum, sementara KPK ’’naik daun’’ akibat simpati serta dukungan berbagai segmen publik terhadap kedua orang pimpinan KPK nonaktif (Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah), yang diduga melanggar hukum, tetapi lantaran berbagai aspek psiko edukatif yang dapat kita petik dari kasus itu sendiri di satu sisi, dan gambaran kekuasaan media massa di sisi lain.
Aspek psiko-edukatif dari kasus itu muncul ke permukaan, disebabkan terutama oleh sejumlah proses komunikasi yang meng-cover sepotong-sepotong atas kasus dimaksud lewat media massa. Ini berdampak pencitraan positif terhadap KPK, tetapi (sebaliknya) negatif buat Polri.
Padahal, seharusnya, setiap proses komunikasi dengan bantuan media massa, umumnya dilandasi minat, atau niat, atau tekad komunikator (pengelola media massa) untuk menyampaikan informasi, mendidik, mempersuasi dan membentuk pendapat umum (bagi sasaran).
Sebaliknya, publik/ sasaran media massa, baik pembaca, pendengar, mau pun pemirsa, biasanya memiliki minat, berniat, atau bertekad memperoleh informasi dari media massa, dalam rangka mempelajari ajakan media, baik kemudian diterima, atau sebaliknya ditolak, oleh publik media yang bersangkutan. Filosofi publik media tersebut, mendorong komunikasi antar manusia secara tidak langsung (lewat media massa), dengan dampak berkurangnya akses interaksi langsung antarmanusia.
Padahal, sistem komunkasi tatap muka langsung, khususnya tentang kasus yang sama (knflik Polri-KPK), memungkinkan terjadinya dialog interaktif antara komunikator dan komunikan, sehingga memungkinkan terjadinya perimbangan pendapat umum, secara langsung.
Hal demikian sulit diwujudkan lewat jasa media massa, karena salah satu kelemahan penggunaan media massa cetak, radio dan televisi, adalah ketidakmampuan pengelola media komunikasi modern tersebut dalam membangun kebersamaan kepentingan (mutual interest) antara pemberi dan penerima informasi, dalam waktu relatif bersamaan.
Terutama yang berkaitan dengan opini publik yang sama, khususnya dalam bingkai kepentingan persis sama, antara pekerja pers dan publik media. Di dalam kerangka berpikir itulah, seharusnya Polri melakukan introspeksi, sembari melakukan berbagai perbaikan terhadap aneka pendekatan kehumasannya.
Hal ini bisa dipahami, karena proses komunikasi, terutama lewat pendekatan humas (public relations approach), memberi akses/peluang untuk saling beradu argumentasi, saling menerima (sharing), atau saling menolak gagasan serta kepentingan antar sejumlah manusia yang terlibat di dalamnya, juga secara langsung Komunikasi tradisional manusia itu (tatap muka), membuka luas kemungkinan proses tawar menawar (bargaining) secara seketika/ langsung, yang lebih sulit diwujudkan dalam proses terbentuknya pendapat umum melalui media massa cetak, radio dan televisi.
Karenanya, pemahaman aspek psiko-edukatif dalam ëmembacaí manifes public opinion (pendapat umum yang muncul di permukaan), di samping latent public opinion (pendapat umum di bawah permukaan) yang berkaitan dengan konflik Polri-KPK dewasa ini, mencerminkan aspek psiko-edukatif dimaksud. Tentu dengan berbagai akses multitafsir terhadap peluang itu sendiri. Di situlah rupanya, daya pikat utama dari konflik Polri-KPK, khususnya sebagai dampak pemberitaan media massa.
Hak Memilih
Namun, simbolisasi media massa di tengah pemberitaan kasus konflik Polri-KPK, lebih mengarah ke perwujudan nilai-nilai ideal bagi KPK (menguntungkan KPK), tetapi mengorbankan nilai-nilai luhur yang diperjuangkan Polri (merugikan Polri). Ini dapat dipahami, karena stigma masa lalu Polri yang buruk, berhadapan secara realistis pencitraan KPK di hampir seluruh pelosok tanah air kita, yang sangat positif.
Dalam konteks tersebut, terutama di atas panggung demokrasi di kepulauan Nusantara, di mana publik memperoleh peluang menerima informasi publik sebebas-bebasnya, selain hak guna memanfaatkan haknya atas informasi tersebut, terjadilah perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku publik media. Khususnya yang berkaitan dengan referensi, sikap dan tindakan publik, dari tidak/ belum tahu menjadi tahu; dari tidak suka menjadi suka; dari sikap apatis menjadi simpatik; dari penolakan menjadi dukungan, seputar kepentingan bolak balik Polri serta KPK.
Berlangsungnya rangsangan pengelola media massa dimaksud, dengan segala kekuasaannya, mengakibatkan inovasi serta kreasi pembaca/ pendengar/ pemirsa, dengan pemberian rangsangan per se (individu) terhadap problematikan dasarnya. Baik disertai rasa tanggungjawab pengelola media massa, maupun tanpa kesadaran pekerja pers untuk ikut memikul tanggungjawab terhadap dampak negatip pemberitaannya.
Sayangnya, hak memilih informasi publik khususnya berkaitan dengan pemberitaan konflik Polri-KPK mutakhir di satu sisi, berhadapan secara langsung dengan kekuasaan media massa berbentuk tiadanya, atau minimal kurangnya akses penolakan publik terhadap tawaran simbol (informasi publik) yang disajikan pers.
Pemberitaan media langka penggambaran pembelaan publik terhadap kepentingan Polri, karena suara publik yang diangkat pers, pada umumnya hanyalah yang menggambarkan resistensi masyarakat terhadap kinerja Polri, khususnya dalam simbol kriminalisasi KPK, yang seakan dilakukan Polri.
Kekuasaan media massa dalam dalam kasus penyampaian informasi seputar konflik Polri-KPK, terasa menonjol juga dalam pembentukan kesan terjadinya ketidakperimbangan pendapat umum, antara kuantitas dan kualitas pro dengan pihak yang kontra.
Realita tersebut tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya kepada pers, karena memang general opinion memang mengarah kepada hal-hal yang banyak dipergunjingkan publik, yaitu konsistensi sikap KPK dalam tindakan pemberantasan korupsi. Sementara Polri dinilai tidak konsisten, khususnya dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi.
Kekuasaan media massa lain dalam konteks pemberitaan konflik Polri-KPK belakangan ini, adalah kemampuan pers melunturkan penjernihan dan pengkristalan nilai-nilai luhur dalam kinerja Polri. Sebaliknya, keberpihakan publik kepada kepentingan KPK, jauh lebih menonjol.
Kekuasaan pers yang mampu membentuk resistensi publik atas kinerja Polri dalam gerakan pemberantasan korupsi, sangat disayangkan bila tidak diimbangi pembentukan kesadaran masyarakat luas atas berbagai kendala Polri dalam melaksanakan tugas dimaksud. Sebab, bukan mustahil dampak pemberitaan media massa seperti itu, justru akan lebih menjauhkan sinergi Polri, lembaga negara yang lain, dan masyarakat luas.
Tanpa disadari pengelola media massa pada umumnya, pemberitaan pers acapkali tidak tercegah dari kesan provokasi media massa, yang pada gilirannya dapat menumbuhkembangkan konflik antar sesama publik media massa itu sendiri, selain antara publik media dengan pengelolanya.
Di sinilah arti penting pemberian jaminan pengelola media massa atas sistem alternatif bagi publik media, khususnya yang memberi akses bagi publik media, terutama untuk menolak berbagai siaran pers yang (dari sononya, memang) tidak dikehendaki publiknya.
Semua uraian di atas, seharusnya dipergunakan Polri pada khususnya, untuk berbenah diri, hasil mawas diri sebelumnya. Tekad Polri berbenah diri tersebut, diharap dapat secara bertahap meniadakan stigma buruk Polri, yang melekat sangat erat di tubuh bhayangkara negara kita itu. (80)
—Novel Ali, dosen Jurusan Ilmu KomunikAsi, FISIP Undip; Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)
Wacana Suara Merdeka, 26 Novembe
25 November 2009
» Home »
Suara Merdeka » Konflik Polri-KPK dan Media Massa
Konflik Polri-KPK dan Media Massa
Thank You!