25 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Ekstase Puncak Spiritual Wukuf

Ekstase Puncak Spiritual Wukuf

AL yauma akmaltu lakum diinakum, wa atmamtu ’alaikum ni’matii wa radhiitu lakumul islaama diinaa. Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu dan telah Aku ridoi Islam itu menjadi agamamu. (Al-Maidah: 3)

Haji adalah wukuf di Arafah yang memuncaki spiritualisme ibadah haji. Umat muslim dari berbagai penjuru dunia melakukan wukuf (diam) di Arafah sejak waktu tergelincirnya matahari hingga terbenam pada tanggal 9 Zulhijah.

Ada peristiwa penting ketika menengok lebih jauh tentang Arafah, yakni Surah Al-Maidah turun di sana setelah Nabi Muhammad SAW  menyampaikan khutbah terakhirnya (haji wada’). Persitiwa turunnya ayat itu menjadi momentum bersejarah tentang ajaran Islam yang telah disempurnakan.

Nilai-nilai keislaman telah disempurnakan saat Rasulullah wukuf di Arafah. Ini menjadi penanda penting bagi kehidupan umat manusia. Sebuah kado istemewa dari Allah untuk umat Muhammad, yang belum pernah diberikan kepada umat sebelumnya.

Apa yang bisa ditransformasikan pada kehidupan sekarang? Nilai-nilai Islam yang dibawa Rasulullah dan hal itu bisa dibagi menjadi dua dimensi: khablum minallah wa khablum minannas, hubungan transendental antara manusia dan Allah dan serta hubungan horizontal antarmanusia secara sosial kemasyarakatan.

Melihat nuansa spiritualisme dalam wukuf, perlu membedah dari sisi transendental. Pada saat wukuf Allah mengutus ratusan ribu malaikat turun ke bumi, memberikan pengampunan. Mereka yang menengadahkan tangan ke atas dan menghadap kiblat, serta berzikir dan berdoa maka akan diampuni dosanya oleh Allah.

Mereka selanjutnya seperti anak bayi yang baru lahir. Jika mereka yang wukuf di Arafah tak yakin dengan pengampunan itu sebaliknya mereka akan mendapatkan dosa besar.

Umat Islam yang berkesempatan mengikuti wukuf di Arafah seperti mendapatkan energi baru. Bila merefleksikan kembali nilai-nilai Islam, setelah pulang ke rumah mereka akan bertambah keimanannya dan ketakwaanya, lebih berakhlak mulia dibanding sebelumnya.

Spirit wukuf sebenarnya tak hanya milik mereka yang berkesempatan di Arafah. Allah juga memberikan pengampunan kepada hamba-hamba-Nya yang belum berkesempatan mengikuti ritual haji. Ada sebuah cerita tentang orang yang pergi haji, dan di tengah perjalanan pulang bermimpi mendengar percakapan dua malaikat. Malaikat itu memperbincangkan tentang si fulan yang mendapatkan label haji mabrur padahal dia tak mengikuti prosesi itu di Tanah Suci.

Setelah diselidiki oleh si pemimpi tadi, fulan ternyata tukang sepatu dari keluarga sederhana. Sebenarnya fulan sudah niat pergi haji. Namun melihat realitas sosial di sekelilingnya banyak orang yang kelaparan dan hidup dalam kemiskinan maka ongkos yang seharusnya dipakai untuk pergi haji diberikan kepada kaum duafa.

Orang seperti fulan yang tergolong tidak kaya tapi memiliki hati mulia dan ketulusan, rela memberikan hartanya untuk mereka yang kelaparan, sebenarnya dialah orang yang menangkap spirit haji yang sesungguhnya: menembus dimensi spiritual dari pancaran sosial kemasyarakatan.

Menangis

Jika umat muslim yang kaya memiliki perspektif sosial kemasyarakatan seperti dia, mungkin saja tidak ada lagi masyarakat yang menangis kelaparan dan tak ada lagi yang mengemis di jalanan.

Sekarang ini label haji sudah seperti titel, banyak di antara mereka yang sudah pergi ke Tanah Suci ketika kembali ke Tanah Air merasa bangga dengan huruf (H) menempel di depan namanya. Bahkan sebagian orang akan marah dan tersinggung jika di forum, huruf (H) itu tak dicantumkan atau lupa dibacakan.

Lantas bagaimana dengan spirit kebersamaan dalam wukuf? Semangat itu tak hanya dipetik bagi mereka yang berkesempatan mengenakan kain putih (pakaian ihram) di Arafah. Jika masih memilih hati nurani, semua orang mungkin mampu menembus dan memahami spirit wukuf, asalkan bisa membaca fenomena sosial seperti si fulan.

Pertanyaannya adalah, bisakah kita mengendapkan hati dan mengedepankan kebersamaan, menanggalkan individualistik dan memperbanyak amalan sosial? Dapatkah kita tidak lagi berbohong di depan publik, tidak lagi mencederai hukum, tidak lagi memutarbalikkan fakta? Masih banyak akhlak-akhlak yang tak terpuji dilakukan yang hampir tiap hari kita lihat, baik melihat secara langsung maupun melalui layar televisi.

Cobalah mencerna kembali wukuf,  umat muslim dari seluruh penjuru dunia menanggalkan batas sosial, menanggalkan jabatan, keilmuan, dan kekayaan. Mereka seperti lebur menjadi satu, terbenam dalam zikir kepada Allah. 

Kalau saja semua bisa merefleksikan hal itu mungkin tak ada yang beranggapan mentang-mentang memiliki jabatan dan kekuasaan, kemudian bertindak semena-mena. Semua umat di hadapan Allah berderajat sama, serta yang dilihat adalah amal kebaikan dan akhlaknya bukan jabatan dan kekuasaanya.

Cobalah lihat cerminan sikap mau menang sendiri dan menindas yang lemah. Gambaran itu terlihat ketika jamaah tawaf mengitari Kakbah di Masjidil Haram. Ratusan ribu orang berebut mendekat ke Multazam yang berada di antara pintu Kakbah dan Hajar Aswad.

Mungkin mereka yang fisiknya kuat sikut sana sikut sini dan bisa mendekat ke Multazam. Tapi sungguh ini cara yang tidak benar karena akan menyakiti orang-orang di sekelilingnya. Ibaratnya orang yang mencari surga tapi melakukan aksi teror, mengebom hotel hingga menewaskan banyak orang. Cara semacam itu tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Bagaimanapun juga Islam mengajarkan akhlak mulia bukan menyakiti orang lain. Islam Rahmatan lil ’alamin. (10)

— KH Muhammad Yusuf Chudlori, Pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang
Opini Suara Merdeka 26