30 September 2009

» Home » Suara Merdeka » Visi Tatanan Sosial Pancasila

Visi Tatanan Sosial Pancasila

”Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya Indonesia. Pancasila terbenam di dalam bumi Indonesia 350 tahun lamanya. Aku gali kembali dan aku persembahkan Pancasila ini di atas persada Indonesia.” (Soekarno, 1945)

Dalam berbagai kesempatan, khususnya pada masa revolusi kemerdekaan, Soekarno selalu mendengungkan bahwa persatuan bangsa hanya bisa tegak apabila dilandaskan atas dasar yang lebih besar dan luas dari bangsa itu sendiri. Ya, waktu itu Pancasila ”diperkenalkan” pertama kali sebagai sebuah konsep berbangsa, sebuah medium pemersatu mencapai kemerdekaaan, sebagai falsafah Negara, atau istilah Soekarno, weltanschauung, yang di atasnya akan dibangun negara Indonesia.

Nilai penting Pancasila yang disampaikan Soekarno meliputi beberapa hal yang memang menjadi persoalan pelik kalangan tokoh-tokoh pejuang pada masa itu. Yaitu persiapan menyambut kemerdekaan yang jelas membutuhkan adanya suatu fondasi sebagai identitas berbangsa, yang nantinya dapat dijadikan pandangan hidup bagi Indonesia merdeka.

Filsafat, pikiran atau dalam bahasa Belada, philosofische grondslag di samping juga sebagai medium pemersatu seluruh ragam budaya, tradisi, adat, etnis, dan agama itulah yang melatar belakangi perumusan Pancasila oleh Soekarno. Karena bagaimana pun, Indonesia tidak akan pernah bisa mencapai political independence tanpa merumuskan terlebih dahulu philosofische grondslag  yang merupakan syarat mutlak kemerdekaan.

Dalam pidatonya Soekarno menunjukkan betapa vitalnya dasar negara ini. Dengan terlebih dahulu merunut makna kemerdekaan, Soekarno kemudian memberi pandangan yang jelas tentang posisi Pancasila di alaf Indonesia merdeka nantinya. Bagi Soekarno, kemerdekaan harus diraih secepatnya demi kesejahteraan yang menjadi cita-cita seluruh rakyat yang bangsanya sekian abad berada di bawah intimidasi penjajah.

Intinya, demi kesejateraan, pembebasan dan keadilan, sebuah bangsa harus dimerdekakan. Dan demi kemerdekaan, demi tercapainya political independence, maka dasar, identitas, pandangan hidup, jati diri, falsafah, philosofische grondslag, weltanschauung, dari seluruh rakyat yang di atasnya akan didirikan konstruksi negara Indonesia, tidak boleh tidak juga harus disusun.
Cita-cita Pancasila Karena pekik merdeka telah menggema di seluruh penjuru negeri, maka penyusunan suatu konsepsi yang akan menjadi common ground untuk mengisi kemerdekaan itu pun menjadi hal yang niscaya. Di tengah serba keterdesakan dalam menentukan persetujuan paham kebangsaan, semuanya organ pendukung kemerdekaan dituntut cepat dirampungkan. Tapi bukan berarti weltanschauung yang akan disusun lahir dari kondisi asal-asalan dan instan pula.

Weltanschauung ini telah ada dalam jejak leluhur. Seperti kalimat Soekarno yang dikutip di awal tulisan ini, Pancasila pada esensinya bukan diciptakan, tetapi digali. Soekarno mengakui bahwa dirnya hanya menggali khazanah itu, oleh karenanya dia bukan pencipta, tetapi sebatas ”bidan” yang membantu memperlancar kelahiran Pancasila tersebut.

Ada lima prinsip yang diajukan Soekarno dalam pidato 1945 itu. Pertama yang diajukan ialah paham Kebangsaan Indonesia. Dalam prinsip ini terkandung nilai nasionalisme serta adanya sikap saling memiliki terhadap bangsa Indonesia. Paham kebangsaan menegaskan bahwa sejak awal berdirinya, republik ini memang tidak menghendaki tumbuhnya primordialisme sempit.

Satu Indonesia bukan untuk satu golongan saja, tetapi satu Indonesia untuk semua, untuk seluruh rakyat yang beraneka ragam secara etnis, tradisi, budaya, letak georafis, bahkan agama. Republik ini dipersembahkan oleh founding fathers  untuk seluruh tumpah darah di dalamnya. Tanpa sekat ideologi apa pun. Bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu, Indonesia
Namun kebangsaan di situ bukan paham kebangsaan yang bermakna sempit, bukan chauvinis seperti pandangan Hitler yang rasis, yang mengangungkan bangsanya sendiri, ras Arya, sebagai ras terpilih di antara ras-ras lain di dunia. Paham kebangsaan seperti itu adalah paham yang tereduksi oleh sikap fanatisme dan terjebak chauvinis serta sikap anti pati terhadap yang lain (the other). Hanya menganggap bangsa sendiri yang paling superior, sementara bangsa lain dianggap subordinat
Transformasi Justru Soekarno mentransformasikan paham kebangsaan ini dengan suatu mainstream nasionalisme universal, yaitu paham yang sanggup menghargai semua bangsa sebagai sebuah komunitas kemanusiaan. Soekarno kemudian menyebut paham ini Internasionalisme atau paham perikemanusiaan. Hal ini sejalan dengan yang pernah disuarakan oleh Gandhi.

Dalam kondisi seperti itu Soekarno telah menunjukkan dirinya sebagai negarawan ulung dengan mengandaikan pembentukan semacam dewan pemusyawaratan yang akan menampung seluruh bentuk aspirasi rakyat demi peningkatan kesejateraan. Prinsip ini juga praktis menolak paham monarki ketika kontrol politik terpusat hanya kepada satu orang saja. Prinsip mufakat ini beriringan dengan prinsip kesejahteraan sosial yang diposisikan di urutan sila keempat, yakni kesejahteraan yang bertumpu pada nasionalisme serta demokrasi.

Akan tetapi, perlu diperhatikan, demokrasi politik saja menurut Soekarno belum cukup memadai untuk sampai kepada tujuan itu. Masih dibutuhkan seperangkat sistem lain yang harus disepakati terlebih dahulu untuk mencapai cita-cita kesejahteraan sosial. Apakah Indonesia akan menjadi penganut mazhab kapitalisme dengan strategi pasar bebasnya, atau justru mengadopsi pandangan orang-orang sosialis demi terciptanya kesejahteraan sosial yang dicita-citakan? Pertanyaan ini penting dijawab karena kondisi sosio-politik, terlebih sosi-ekonomi memang terbelah ke dalam dua polarisasi tajam antara mendukung sosialisme atau kapitalisme.

Itulah pandangan Soekarno yang layak kita refleksikan dalam momentum hari kesaktian Pancasila sekarang ini. Sebuah episode sejarah yang amat penting artinya bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana Sutardji Calzoum Bachri menilai teks sumpah pemuda 1928 sebagai ”puisi” besar nan revolusioner, pidato-pidato Soekarno juga tak kalah visionernya karena di dalamnya terkandung esensi, falsafah, cita-cita, jati diri, termasuk dasar negara dari pada bangunan bangsa dan negara Indonesia. Di dalamnya diuraikan sebuah kondisi politik, sosial, perekonomian serta alam yang sepenuhnya masih in absentia.
Pancasila dan Soekarno menjadi manuskrip yang mendiskripsikan secara brilian suatu visi tentang tatanan imagined society yang ideal pada masa depan. (80)

Wacana Suara Merdeka 1 Oktober 2009

–– Muhammadun AS, analis sosial, peneliti Cepdes Jakarta