30 September 2009

» Home » Jawa Pos » Memperingati Hari Kesaktian Pancasila

Memperingati Hari Kesaktian Pancasila

Memihak Orang Lapar

PERTANYAAN orang kecil yang sedang lapar, antara lain, apakah guna menghafal sila-sila dalam Pancasila kalau dalam hidup keseharian ini yang banyak diperagakan bukan ''roh" ideologi negara, tetapi model ''pencak silat" atau pola kehidupan politik kenegaraan yang gampang menendang dirinya? Masih perlukah orang lapar disuapi doktrin pemanusiaan manusia seperti yang diajarkan Pancasila kalau kesehariannya diakrabkan dengan praktik-praktik ketidakadaban?
Gaya ''pencak silat" yang berpola asal tendang, asal gusur, asal mengalur atau meminggirkan hak orang kecil, yang mengakibatkan orang kecil itu hidup menderita, semakin tidak berdaya, dan bahkan mati mengenaskan, sudah demikian sering mewarnai dan membingkai perjalanan sejarah Pancasila di negeri ini.

Jika hidup merupakan ganjaran yang dapat dibeli dengan uang, maka orang kaya mau hidup dan orang miskin mau mati, demikian bunyi pepatah tua dari Jenny Taichman (1996). Ungkapan itu sejatinya sebagai bentuk kritik keras terhadap kondisi paradoksal di tengah masyarakat antara komunitas berduit dan orang miskin. Atau, antara pemegang kekuasaan yang sering serta gampang melafalkan Pancasila dan orang lapar yang barangkali sudah agak lupa terhadap urutan sila-sila dalam Pancasila.

Realitasnya mudah terbaca, bahwa komunitas berduit atau ''elite" digambarkan sebagai kumpulan manusia-manusia yang hidup kesehariannya dibanjiri sumber pendapatan, kebutuhan pangan jauh lebih dari cukup, makan serbaenak, punya dan bisa menggunakan alat transportasi beragam, berkuasa, punya link istimewa, dan bahkan bisa menentukan nasib banyak orang, termasuk masa depan bangsa. Itu karena di dalam diri dan akselerasi perannya sering (kalau tidak dibilang selalu) posisi uang, bukan ideologi Pancasila, bisa digunakan sebagai ''mesin utama" yang menundukkan hukum, mengamputasi moral, melecehkan kejujuran, dan mencabik-cabik keadilan.

Sementara itu, orang miskin serbakurang, seperti kekurangan uang, kekurangan jaminan kesehatan, jauh dari impian menuai kesejahteraan, dilanda krisis pangan, dan kerap menjadi korban keserakahan orang kaya. Bukan tidak mungkin kalau Tuhan merestui menggunakan ''right to dead", maka hak ini akan dipilihnya lebih dulu daripada berlama-lama terhegemoni penderitaan berlapis.

Suatu keniscayaan bagi komunitas ''alit", barangkali, daripada harus menderita atau dirajam lapar berlama-lama, disiksa penyakit yang tak kunjung sembuh, dihadapkan pada biaya pengobatan yang mencekik, atau layanan kesehatan yang jauh dari ''memanusiakan (keadaban)", dan mati mengenaskan akibat kekurangan cadangan pangan, bisa jadi, mereka itu memilih ''melawan" Pancasila dengan cara masing-masing. Seperti, melakukan bunuh diri, nekat mencuri, menggarong, atau terlibat dalam berbagai model pembangkangan norma yuridis.

Memang, kebutuhan pangan orang miskin itu jauh lebih mahal dan bernilai. Sebab, ini bersentuhan secara langsung dan empiris dengan kesulitan kesehariannya. Mereka yang ditimpa kelaparan dan kekurangan gizi (malnutrisi) akibat kekurangan cadangan pangan memadai tersebut bukan hanya akan terancam normalitas kesehatannya, tetapi juga terancam nyawanya. Ini paradoksal dengan kalangan elite, yang bisa terancam nyawanya (hidup berpenyakitan) akibat kelebihan kolesterol, sementara kalangan orang kecil terancam nyawanya akibat gagal berjuang memenuhi kebutuhan pangannya.

***

Belum lama ini, bangsa Indonesia dikejutkan oleh berita tentang kelaparan yang menimpa saudara kita di Yahukimo. Kejadian empat tahun silam yang pernah terekspos media kembali terjadi dengan puluhan korban tewas. Aneh memang bagi bangsa dan negara besar (big state) seperti Indonesia, kejadian serupa harus berulang untuk kali kesekian di tempat yang sama dan lagi-lagi rakyat kita harus meratapi kematian.

Di sini jelas ada masalah akut dari negara dalam menjaga rakyat sendiri. Berdasar data yang dihimpun Yayasan Kristen Pelayanan Sosial Masyarakat Indonesia (Yakpesmi) di Papua, jumlah korban jiwa akibat kelaparan sepanjang Januari-Agustus 2009 mencapai 96 orang. Mereka tersebar di Distrik Suntamon, Langda, Bomela, Seredala, dan Nitsan (Bernando J. Sujibto JP, 16 September 2009).

Kasus tragis yang menimpa orang-orang lapar tersebut menunjukkan bahwa Pancasila di negeri ini masih menjadi ideologi dalam buku, dalam sumpah jabatam, dalam rumusan tata tertib (tatib) legislatif, atau sekadar kalimat yang berbunyi merdu di agenda kerja eksekutif. Sementara itu, dalam realitasnya, Pancasila tidak diamalkan oleh pilar-pilar strategis negeri ini.

Tatkala kita melihat orang lapar, disuguhi panorama derita orang-orang yang sedang jadi korban bencana, saudara-saudara kita di belahan bumi pertiwi lain yang sedang dikerubuti dan dijadikan santapan malaria dan demam berdarah, serta anak-anak bangsa yang kurus keriput akibat kekurangan pangan atau berjihad melawan kelaparan dan malnutrisi, justru elite kekuasaan atau politisi kita lebih asyik dan lantang menyuarakan kesetiaan kepada ideologi negara Pancasila dengan menghabiskan dana miliaran rupiah untuk menyukseskan seremonialnya.

Sebagai sampel teladan, Nabi Muhammad SAW adalah tipe pemimpin yang negarawan, yang bahasa kepemimpinannya bukan menguasai dan menghegemoni, tetapi mencintai, mengasihi, dan jauh dari sikap menuntut, apalagi sampai menyalahkan rakyat kecil. Agama yang diberlakukan untuk rakyat kecil adalah agama yang benar-benar membebaskan, bukan yang membebani, mengebiri, dan menjajah.

Ketika ada seorang sahabat bertanya mengenai cara yang gampang menemuinya, beliau menjawab ''temuilah aku di antara orang-orang kecil, orang-orang kalah, dan orang-orang miskin". Sabda ini menunjukkan bahwa agama untuk rakyat kecil atau orang lapar adalah agama yang memberdayakan, mengayomi, dan mengadvokasinya, bukan agama yang diberlakukan represif.

Teladan yang ditunjukkan Nabi dan sahabat-sahabatnya itu merupakan produk kreativitas keberagamaan komunitas elite yang memihak masyarakat kecil, menghormati dan menghargai jeritan komunitas akar rumput. Suatu praktik religiusitas yang berbasis humanitas mencegah datangnya derita dan membebaskan kesulitan (kelaparan) yang telah merajam kehidupan masyarakat. Mereka lebih dulu telah menjadi pengamal ideologi negara RI lewat pengabdian empirisnya. (*)

  Opini Jawa Pos 1 Oktober 2009

*) Prof Dr Bashori Muchsin MSi, pembantu rektor II Universitas Islam Malang dan penulis buku '' Pendidikan Islam Kontemporer''