30 September 2009

» Home » Media Indonesia » Undang-Undang Ketenagalistrikan Maslahat atau Mudarat bagi Daerah?

Undang-Undang Ketenagalistrikan Maslahat atau Mudarat bagi Daerah?

Pemerintah bersama DPR pada 1 September 2009 telah menyetujui RUU Ketenagalistrikan untuk menjadi UU. Produk hukum itu sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2005. Oleh MK UU No 20/2002 tersebut dianggap terlalu menerapkan mekanisme pasar.

RUU itu sendiri sudah diserahkan pemerintah kepada DPR pada 2006 dan baru bulan ini disahkan menjadi UU. Walaupun kita sadari sepenuhnya bahwa monopoli untuk sektor apa pun, misalkan oleh PLN di sektor ketenagalistrikan, pasti akan memberikan dampak negatif. Tanpa adanya kompetisi di antara sesama pelaku usaha, dapat dipastikan akan timbul kondisi pasar yang tidak kondusif untuk pembangunan nasional. Namun sebaliknya, UU sebelumnya pada sisi lainnya dianggap dapat menimbulkan suasana kompetisi yang bisa-bisa tak terkendali, yang pada akhirnya merugikan sumber-sumber ekonomi bangsa. UU yang baru ini dapat dikatakan sebagai solusi jalan tengah; di satu sisi tetap melindungi kepentingan PLN sebagai BUMN yang selama ini sebagai pemasok tunggal, sedangkan di sisi lainnya tetap membuka kesempatan bagi pelaku usaha lain untuk ikut berusaha memasok tenaga listrik kepada masyarakat.

Kita menyadari sepenuhnya bahwa listrik merupakan salah satu hajat hidup yang sangat vital. Baik bagi masyarakat umum, apalagi bagi kegiatan ekonomi yang mengandalkan tenaga listrik sebagai pendukung kelangsungan usaha atau penggerak utama (prime-mover) bagi kegiatan produksinya. Malahan secara sinis masyarakat merasa belum mengecap 'kemerdekaan' kalau listrik belum masuk ke kampung halamannya. Dengan jumlah pelanggan PLN yang tercatat lebih dari 4 juta rumah tangga, dapat dipastikan tidak sedikit desa dan kampung di seantero Nusantara ini yang belum terjaring oleh distribusi listrik. Ada juga yang sudah tersambung, namun kondisi biarpet atau giliran-gelap masih menerpa mereka. Kondisi itu disebabkan oleh berbagai faktor. Yang utama tentu saja memang kapasitas pembangkit listrik sendiri yang masih terbatas sehingga daftar tunggu calon pelanggan PLN semakin panjang saja. Demikian pula lokasi pembangkit yang memerlukan jaringan transmisi yang cukup jauh untuk terhubungkan dengan sentra penduduk. Ditambah lagi untuk jaringan distribusi ke rumah-rumah, dan praktik sambungan gelap yang tak sehat, menyebabkan losses yang besar sehingga memengaruhi keekonomian dalam pemasokan listrik ini.

Dikatakan dengan prinsip otonomi daerah, UU yang baru ini dapat dikatakan cukup akomodatif pengaturannya, baik dari sisi penyelenggara penyedia listrik maupun dalam penentuan tarif. Dari sisi penyediaan listrik, PLN tetap merupakan pelaku utama. Namun untuk lokasi yang PLN belum mampu untuk menjangkaunya, atau dengan perhitungan keekonomian yang tak memenuhi skala ekonomi yang memadai, pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun kota, dapat menunjuk penyelenggara penyedia tenaga listrik di luar PLN. Penunjukan itu dimaksudkan untuk mempercepat kecukupan tenaga listrik di daerahnya. Tentu saja pihak yang diajak menjadi penyedia tenaga listrik ini akan melakukan kajian keekonomian juga, namun dengan skala usaha yang lebih ramping ketimbang PLN. Dan, salah satu yang selama ini menjadi ganjalan adalah patokan harga yang ditetapkan hanya oleh PLN. UU yang baru ini, dengan mempertimbangkan otonomi daerah, membuka kemungkinan penerapan tarif regional. Dengan tarif regional ini, pemerintah daerah lebih menekankan aspek tingkat layanan, bukan semata-mata aspek keekonomian.

Sekarang terbuka peluang bagi daerah-daerah melalui kebijakan pemerintah daerahnya untuk berbuat sesuatu dalam mencukupi kebutuhan layanan listrik bagi masyarakatnya. Memang tetap ada rambu-rambu pembatas agar tak terjadi tumpang-tindih dalam penetapan daerah layanannya. Di sinilah pentingnya koordinasi dengan pemerintah pusat, dalam hal ini Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen ESDM, serta tentu saja dengan jajaran PLN, baik di kantor pusat maupun di daerah. Pemda juga harus selektif dalam menunjuk penyedia tenaga listrik ini. Banyak muncul saran yang maju adalah BUMD atau perusahaan daerah. Tetapi karena tak banyak BUMD atau perusda yang berpengalaman di bidang itu, perlu digalang kemitraan dengan pelaku usaha swasta murni yang dapat menimbulkan sinergi. Demikian pula halnya dengan partisipasi koperasi-koperasi yang akan dipilih, mungkin hanya dilibatkan untuk salah satu mata rantai penyediaan tenaga listrik ini. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah penyiapan iklim pembangunan ekonomi yang kondusif di daerah.

Dalam hal kapasitas pembangkit melebihi permintaan yang sekarang, sedangkan skala ekonomi mengharuskan terpasangnya pembangkit dengan kapasitas tertentu, kemudahan dan layanan prima dalam urusan tanah dan perizinan usaha yang terkait. Dengan demikian akan cepat tercapai kondisi break even point dari daya terpasang. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah kondisi penyediaan sumber energi primer di daerah tersebut, apakah ada aliran air dengan debit tertentu, cadangan/deposit batu bara, atau sumber panas bumi yang layak dieksploitasi. Penempatan lokasi pembangkit tenaga listrik perlu diserasikan dengan rencana umum tata ruang daerah, ketersediaan lahan yang memadai, dan jaminan aksesibilitas yang pantas. Tentu saja pertimbangan kelestarian lingkungan tetap harus diperhatikan.
Jadi, kalau pemerintah daerah lebih memperlakukan ketersediaan tenaga listrik ini sejalan dengan konsep trades follow the ships, lahirnya UU Ketenagalistrikan yang baru ini seyogianya akan mendulang kemaslahatan yang besar bagi daerah. Tentu saja dengan tetap terus mewaspadai kemungkinan terjadinya ekses dalam implementasinya sehingga hal-hal yang dapat memberikan kemudaratan dapat dicegah-tangkal secara cepat dan tepat.

Opini Media Indonesia 30 September 2009

Oleh H Djan Faridz, Anggota DPD Periode 2009-2014