30 September 2009

» Home » Suara Merdeka » Akhir Pemerintahan Koalisi Besar

Akhir Pemerintahan Koalisi Besar

Rasionalitas pemilih yang tinggi dalam perilaku memilih menentukan angin kemenangan kontestan. Rasionalitas pemilih menyingkirkan pengaruh kelompok-kelompok sosial dan tokoh agama.

Pemilu parlemen Jerman (Bundestag) ke-17 lalu (27/9) mengakhiri pemerintahan koalisi besar kedua antara CDU-CSU dan SPD (2005-2009). Pemerintahan koalisi serupa terjadi pada periode 1972-1975. Lazimnya pemilu masa pemerintahan koalisi besar, persaingan ketat terjadi antara kedua partai pemerintah. Bedanya pada pemilu kali ini, suara CDU-CSU dan SPD sama-sama merosot.

Dengan mitra koalisi baru partai probisnis, FDP, kandidat CDU-CSU Angela Merkel kembali akan menduduki kursi kanselir periode 2009-2012. Merkel mengalahkan kandidat SPD, Menteri Luar Negeri Frank-Walter Steinmeier.
Hasil Pemilu Pemilu Bundestag memakai sistem hibrida atau campuran antara distrik dan proporsional yang dilaksanakan terpisah. Secara teknis, pemilih memberikan suara dengan cara memilih tokoh (direct vote) dan partai. Tidak seluruh kursi diperebutkan. Sistem pemilu juga memberikan kursi tambahan, seperti untuk calon independen.

Seperti dilansir televisi publik Jerman, hasil pemilu Bundestag menunjukkan perolehan Christlich Demokratische Union dan Christlich Demokratische Union (CDU-CSU) 33,8%, Sozialdemokratissche Partei Deutschlands (SPD) 23,1%, Freie Partei Deutsclands  (FPD) 14,5%, Partei Demokratischer Sozialismuz (PDS) 12,5%, dan B¸ndis 90/Die Gr¸nen (Partai Hijau) 10,1%.

Dibandingkan hasil Pemilu 2005, hasil itu menunjukkan suara partai-partai besar menurun dan suara partai-partai menengah meningkat. Besaran penurunan suara CDU-CSU sebesar 1,4% dan SPD 11,2%. Sebaliknya, peningkatan suara FPD mencapai 4,7%, PDS 3,8%  dan Partai Hijau 1,9%. Penurunan SPD itu terburuk sejak PD II. Hasil pemilu masa pemerintahan koalisi besar kedua itu berbeda dengan yang pertama tahun 1975. Waktu itu, dukungan SPD menurun tipis tapi suara partai-partai lain meningkat.

Tetapi dengan parliamentary threshold  sebesar 5% atau 3 kandidat terpilih secara langsung, hasil pemilu memantapkan sistem dua-partai dengan SPD dan CDU-CSU sebagai partai dominan. Selain itu, 6 partai mengirim wakil di Busndestag dalam 4 pemilu terakhir. Seperti disebut di atas, keenam partai itu adalah CDU-CSU, SPD, FPD, PDS dan Partai Hijau.

Secara ideologis, sistem kepartaian Jerman termasuk pluralitas ekstrem. Artinya, ideologi yang berkembng dari dari tiga kelompok besar jenis dengan variasi. CDU-CSU diidentifikasi sebagai pengusung kekuatan konservatif, SPD kekuatan kiri-tengah dengan pendukung kuat buruh, PDS yang sosial-demokrat mendekati ideologi  SPD, FPD pengusung liberal-demokratik yang probisnis/ investasi, dan Partai Hijau yang prolingkungan hidup.
Program Kerja Rasionalitas pemilih yang tinggi dalam perilaku memilih menentukan angin kemenangan kontestan. Rasionalitas pemilih menyingkirkan pengaruh kelompok-kelompok sosial dan tokoh agama.

Rasionalitas pemilih dalam Pemilu 2009 ”memaksa” CDU-CSU dan SPD tidak menawarkan program yang terlalu membuai dalam hal penyediaan tunjangan sosial; tunjangan perumahan bagi pekerja dan pensiunan; serta perumahan bagi serikat buruh pegawai dalam negeri, pengurangan pajak pendapatan, pendidikan gratis sampai PT, subsidi anak, pajak bagi keluarga yang tidak mempunyai anak, dan privatisasi untuk menjaga hubungan dengan kalangan bisnis.

Rasionalitas pemilih diindikasikan dengan sokongan besar warga eks-Jerman Timur yang sosialis terhadap CDU-CSU yang konservatif. Logikanya, mereka memberikan dukungan pada SPD tapi hal itu tidak terjadi. Fenomena itu konsisten sejak Pemilu 1990, pemilu pertama bagi masyarakat di timur Jerman sejak unifikasi tahun 1989.

Dengan kampanye yang terfokus pada implementasi negara kesejahteraan sosial (social welfare state) atau ekonomi pasar sosial (soziale marktwirtschaft). Dalam bahasa Adenauer  dan Ludwig Erhard (1992), warga eks Jerman Timur lebih mempercayai janji-janji perbaikan ekonomi yang ditawarkan CDU-CSU. Inti itu adalah kompetisi ekonomi yang adil, mata uang yang stabil, serta tunjangan dan keadilan sosial. Sistem itu ditandai dengan pengurangan pajak dan tunjangan sosial untuk memperkecil kesenjangan kaya dan miskin.
Tidak Mati Harga Sejak awal pemilu, kanselir Angela Merkel telah memastikan bakal mengakhiri pemerintahan koalisi besar dengan SPD dan sebaliknya membangun koalisi baru dengan FPD. Seperti diketahui, CDU-CSU berideologi konservatif, SPD lebih kiri, dan FPD berideologi liberal sehingga jarak ideologis CDU-CSU dengan FPD lebih dekat daripada dengan SPD.

Perolehan suara CDU-CSU dengan FPD memberikan koalisi kanan-tengah mayoritas 332 kursi melawan 290 kursi milik oposisi di Bundestag. Koalisi CDU-CSU dan FPD itu akhirnya tak sekadar mengakhiri koalisi besar tapi juga memutus koalisi ideologis yang tak lazim. Tujuannya bukan semata power sharing melainkan menjadikan kedekatan ideologi sebagai landasan program kerja yang implementatif. Karena alasan itu pula, CDU-CSU belakangan ini menggeser diri menjadi partai semua golongan (volkdspartie).

Di titik itu terlihat, kendati pragmatisme mewarnai fenomena politik tapi ideologi tetap menjadi pertimbangan. Ideologi ditempatkan sebagai landmark program kerja untuk ditawarkan dan diimplementasikan. Dengan begitu, ideologi tidak mati harga karena tidak dijadikan harga mati untuk dikukuhi.

Dalam kaitan itu, ada tiga hal penting yang mempengaruhi karakter politik Jerman. Pertama, koalisi besar dengan jarak ideologi yang jauh (CDU-CSU dan SPD) pada periode 2005-2009 dan 1966-1969 merupakan solusi kebuntuan pemerintahan. Kedua, oposisi juga ditentukan oleh partai pemenang atau pemerintah (the rulling party), bukan menunggu kesiapan partai yang kalah pemilu sebagai opisisi.

Ketiga, pelembagaan etika politik sesama partai pemerintahan koalisi besar. Kampanye paska-pemerintahan koalisi besar dalam Pemilu 1969 dan 2009 sangat berbeda.  Tantangan terbesar mandat kedua pemerintahan kanselir Angela Merkel adalah mengikis jarak perbedaan antara program CDU-CSU dan FPD serta mencari solusi atas program yang pada akhir kampanye menimbulkan penolakan.

Ada dua kasus penting. Pertama merujuk pada perbedaan potongan pajak sebesar 15 miliar euro  (CDU-CSU) dan 35 miliar euro (FPD). Adapun kasus kedua merujuk pada penolakan 57% warga terhadap perpanjangan kehadiran industri pembangkit listrik tenaga nuklir melampaui tahun 2021 dan penolakan 58% warga terhadap perpanjangan keterlibatan tentara Jerman di Afganistan. (80)

Wacana Suara Merdeka 1 Oktober 2009
—Drs Joko J Prihatmoko MSi, pengajar Fisipol Universitas Wahid Hasjim Semarang