POLITIK dan hukum memang selalu tidak dapat dipisahkan. Keduanya berada pada aras yang saling memengaruhi. Bedanya, lingkungan politik yang sehat akan mendukung hukum untuk bekerja dengan prinsip objektivitas dan imparsialitas. Sementara lingkungan politik yang kotor sangat mungkin menempatkan hukum sebagai alat kepentingan elite belaka.
Masalahnya, dalam situasi yang di dalamnya korupsi sudah sedemikian akut, merajalela, dan sistemik, menyelesaikan korupsi dengan penegakan hukum kerap terbentur berbagai macam resistensi yang tidak bisa dianggap sederhana. Korupsi yang sudah membentuk kartel, kolusi yang mengakar antara kekuasaan politik, kalangan bisnis dan aparatur penegak hukum bukanlah soal yang bisa dirumuskan penyelesaiannya dengan mudah. Dan, KPK hadir dalam situasi yang kurang lebih demikian.
Karena itu, tak heran jika agenda pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK terasa menjadi ganjalan besar bagi kemapanan para elite korup. Apalagi, jangkauan KPK mulai masuk ke ranah kekuasaan yang selama ini sudah dicap kebal hukum semisal DPR, besan presiden, pejabat Bank Sentral, raja kecil di daerah (kepala daerah), dan sebagainya.
Demikian pula, KPK sebagai lembaga penegak hukum mesti berhadapan langsung dengan aparat penegak hukum lain untuk membereskan masalah korupsi. Tertangkapnya seorang jaksa dan diprosesnya mantan Kapolri karena terlibat korupsi menjadi catatan tersendiri bahwa aparat penegak hukum di Indonesia memang perlu dibersihkan.
Perselingkuhan Kepentingan
Kesan bahwa KPK bekerja sendirian dalam memberantas korupsi memang tak berlebihan. Ironisnya, proteksi politik yang sangat dibutuhkan KPK untuk memberantas korupsi dengan lebih efektif harus berhadapan dengan kepentingan politik yang kerap terganggu oleh gebrakan KPK. Untuk saat ini, harus diakui bandul kekuasaan politik lebih mengarah pada upaya melemahkan KPK dibandingkan kemauan memperkuat posisi KPK.
Alih-alih menambah amunisi wewenang bagi KPK dalam rangka meningkatkan kinerjanya, kekuasaan pada wilayah parlemen dan eksekutif justru membangun perselingkuhan untuk mengebiri KPK. Benar sebagaimana dikatakan Pasuk Phongpaichit, seorang peneliti korupsi dari Thailand, dalam kondisi di mana kekuasaan politik menjadi sumber atau pusat korupsi, mustahil berharap dukungan politik dalam memberantas korupsi.
Menurut dia, satu-satunya jalan adalah dengan tuntutan yang kuat dari kalangan masyarakat sipil. Pendek kata, pemberantasan korupsi pada negara yang sistem politiknya korup hanya dapat dilakukan secara bottom-up, tidak top-down. Koalisi CICAK yang didorong oleh berbagai elemen masyarakat sipil memang sedikit banyak terbukti dapat mengerem upaya kekuasaan politik untuk mengamputasi otoritas KPK. Tampaknya, hanya dengan kontrol yang ketat dari publik luas, elite politik tidak dapat dengan mudah mengutak-atik eksistensi KPK.
Celakanya, instrumen untuk melumpuhkan KPK bukan hanya melalui regulasi. Celahnya terbuka lebar melalui penegakan hukum. UU KPK memang didesain dengan standar tinggi. Dengan demikian, ketika unsur pimpinan KPK menjadi tersangka suatu tindakan pidana, yang bersangkutan harus dinonaktifkan oleh presiden.
Oleh karena itu, sangkaan terhadap unsur pimpinan KPK harus benar-benar dilandasi fakta yuridis yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Soalnya, begitu mudah melumpuhkan KPK jika penegakan hukum atas pimpinan KPK telah dirasuki kepentingan berbagai pihak.
Jika disebut-sebut penetapan tersangka oleh Mabes Polri atas dua pimpinan KPK merupakan buah pertemuan kepolisian dengan Komisi III DPR, bukankah ini juga mengindikasikan perselingkuhan kekuasaan politik dan elite penegak hukum? Pasalnya, pada saat yang bersamaan, Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji telah terlebih dulu masuk dalam radar pantauan KPK terkait kasus Bank Century.
Pertaruhan Besar
Pertaruhan besar kini berada pada kepolisian. Kredibilitasnya sebagai penegak hukum sangat mungkin hancur jika upaya hukum terhadap pimpinan KPK ternyata ditunggangi berbagai kepentingan untuk melemahkan KPK. Posisi Kapolri menjadi sangat rawan andaikata polisi tidak dapat membuktikan tuduhan suap yang dialamatkan kepada Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, dua pimpinan KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Kecenderungan yang kini bisa dilihat, polisi justru semakin menunjukkan kebimbangannya. Sangkaan kepada pimpinan KPK terus berubah, sementara ketika masuk pada isu suap, mereka sepertinya tak memiliki alat bukti yang cukup. Bahkan, untuk data mendasar yang berhubungan dengan alibi, polisi ternyata tidak memiliki informasi akurat.
Perkembangan penyidikan di kepolisian atas pimpinan KPK semestinya menjadi rujukan presiden untuk meninjau ulang Perppu Plt Pimpinan KPK. Jika tetap melanjutkan agenda perppu, Presiden SBY sebagai atasan langsung kepolisian dapat dianggap turut merestui penzaliman terhadap pimpinan KPK. Sebab, nyatanya proses itu tidak dilandasi bukti yuridis yang kuat. Atau dalam bahasa lain, SBY dapat dikategorikan terlibat dalam skenario untuk melemahkan KPK.
Sudah bukan waktunya lagi SBY berdalih bahwa posisinya sebagai presiden tidak dapat mencampuri atau mengintervensi proses hukum oleh kepolisian terhadap pimpinan KPK. Barangkali selama ini SBY keliru menerapkan manajemen informasi sehingga banyak keterangan sampah yang masuk dan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Saat ini masa depan pemberantasan korupsi terancam dengan berbagai macam usaha sistematis untuk menghancurkan KPK. Sudah semestinya SBY memikul tanggung jawab besar untuk memulihkannya. (*)
Opini Jawa Pos 30 September 2009
*). Adnan Topan Husodo , Wakil Koordinator ICW
30 September 2009
Memperalat Penegakan Hukum
Thank You!