Lima anggota DPD RI yang terpilih kembali mendaftarkan uji materi Pasal 14 (1) UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ke Mahkamah Konstitusi (Selasa, 1/09/09). Dihilangkannya hak anggota DPD untuk memilih dan dipilih sebagai ketua MPR dalam UU tersebut merupakan salah satu bukti bahwa oligarki politik di parlemen sudah begitu mendarah daging. Satu demi satu UU politik yang dihasilkan, mulai dari UU Pemilu Legislatif, UU Pemilu Presiden, sampai UU Susduk Baru (UU 27/09), bukan lagi berlandaskan pada semangat reformasi politik atau menata sistem ketatanegaraan yang lebih baik, tetapi lebih diwarnai oportunisme dan pragmatisme.
Alih-alih bersikap adil dan fair, kekuatan-kekuatan besar politik di parlemen justru mengatur keinginannya sendiri agar 'jatah' kekuasaan bertambah banyak sehingga posisi mereka lebih aman dan kuat. Kewenangan untuk membuat UU dimanfaatkan secara terang-terangan oleh DPR lalu untuk keuntungan internal. Padahal, demokrasi mensyaratkan adanya kompetisi yang bebas, bukan monopolisme politik berjamaah. Penyelewengan demokrasi semacam ini tak lepas dari semakin suburnya partikrasi atau elitisme parpol dalam menentukan berbagai kebijakan di negeri ini.
Dalam kenyataan sistem trikameral saat ini, anggota DPR yang mewakili rakyat dan anggota DPD yang mewakili wilayah tatkala melebur menjadi anggota MPR tentu memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sebagaimana pula samanya hak antarwarga negara dalam hal kesempatan (Pasal 28D ayat 3 UUD 1945) dan kedudukan yang setara (Pasal 2 ayat 1 UUD 1945), hak untuk memilih dan dipilih sebagai ketua MPR tentulah harus sama. Jika ada ketentuan yang menutup kesempatan anggota MPR, baik itu yang berasal dari DPR maupun DPD, untuk menjadi ketua MPR; ketentuan itu tidaklah sah.
Sementara itu, keterwakilan kedua unsur lembaga tersebut juga tetap harus diperhatikan dalam komposisi pimpinan. Jumlah yang seimbang akan mencerminkan kesetaraan antaranggota dari dua kamar parlemen tersebut. Oleh sebab itu, jumlah wakil ketua selayaknya memang harus sama.
Intinya, hakikat anggota DPD mengajukan uji materi Pasal 14 UU MD3 ini sesungguhnya bukan untuk 'mengejar kekuasaan', tapi memiliki misi untuk mengondisikan kamar parlemen agar berada dalam sistem checks and balances. Posisi ketua MPR merefleksikan adanya hak/kesempatan yang sama, sedangkan posisi wakil ketua mencerminkan kedudukan yang sama. Dengan diterapkannya prinsip keadilan dan keseimbangan ini, parlemen ke depan diharapkan bisa menghasilkan produk dan solusi yang nyata bagi rakyat.
Saat ini, keberadaan MPR sendiri bukan lagi joint session, tapi menjadi lembaga negara yang permanen. Klausul dalam konstitusi sendiri menyebutkan bahwa MPR terdiri atas 'anggota DPR dan anggota DPD' (Pasal 2 ayat 1 UUD 1945), bukan terdiri atas 'DPR dan DPD'.
Sementara itu, sidang bersama di MPR dalam praktiknya terlepas dari fungsi legislasi. Tiga fungsi utama parlemen sendiri, yaitu legislatif, pengawasan, dan anggaran, tidak dimiliki MPR. Selain menyelenggarakan kegiatan sidang umum dan kegiatan insidental lainnya, keseharian kerja MPR jauh dari kejelasan. Isi kamar ketiga ini bisa dikatakan kosong melompong.
Mungkin, tak berbeda juga dengan DPD yang kosong kewenangannya. Jika dalam konteks politik, adanya kewenangan berarti terkait dengan pengambilan keputusan. Sementara itu, kewenangan untuk mengambil keputusan legislasi itu tak ada pada DPD, maka timbullah pertanyaan besar, apakah DPD masih bisa disebut legislatif?
Jika dipertahankan demikian, konsep trikameral ini hanyalah akan menghasilkan kemubaziran. Jika dalam satu rumah ada tiga kamar besar, tapi hanya satu kamar yang digunakan, apa manfaat dua kamar lainnya? Padahal, untuk ketiga kamar itu, biaya pemeliharaan dan operasional yang dikeluarkan sama besarnya.
Pertanyaannya, jika uji materi ini gagal alias tidak diakomodasi oleh Mahkamah Konstitusi (MK), siapa yang akan memperjuangkan kesetaraan tersebut. Tidak berlebihan bila kita menyebutkan bahwa mereka yang masih memiliki idealisme tinggi, semangat tinggi, dan kaya kreativitas untuk melakukan lobi-lobi yang akan mampu mencatat sejarah menyangkut eksistensi ke depan.
Ada dua kubu yang jelas saat ini menyangkut eksistensi anggota DPD. Pertama adalah anggota lama dan kedua adalah anggota baru. Kepada anggota lama, kita tidak bisa berharap lebih karena selama lima tahun mereka bercokol belum mampu menyelesaikan masalah-masalah krusial di atas.
Namun, kita tentu boleh berharap kepada anggota DPD baru, yang notabene masih punya semangat dan kreativitas tinggi, untuk menyelesaikan persoalan krusial DPD. Dalam sebuah kesempatan, para senator terpilih mendeklarasikan diri untuk mendorong perubahan yang nyata dan konkret bagi kemajuan bangsa dan negara melalui lembaga DPD RI.
Mereka juga sepakat untuk meningkatkan citra DPD sebagai lembaga perwakilan yang dikenal luas, aspiratif, cepat tanggap, dan mengakar di daerah. Sekaligus, membuka akses publik yang seluas-luasnya dalam menyampaikan aspirasi dan memperoleh informasi terkait kebijakan nasional terhadap daerah.
Dan, yang menarik, mereka siap melakukan upaya-upaya taktis-strategis untuk percepatan amendemen UUD 1945 dalam rangka mendudukkan DPD RI pada proporsi semestinya sebagaimana lembaga legislatif yang memiliki kewenangan penuh untuk memutuskan UU.
Bagi mereka, hal yang mutlak untuk mengangkat marwah DPD sebagai lembaga legislatif yang berwibawa, profesional, efektif, efisien, dan produktif dengan fungsi dan kewenangan penuh.
Untuk itu, tidak berlebihan bila kita berharap besar terhadap anggota DPD baru agar mampu menyelesaikan segala permasalahan serius yang kini tengah dihadapi, termasuk menuntaskan uji materi Pasal 14 (1) UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ke Mahkamah Konstitusi. Jangan sampai berhenti di tengah jalan.
Transformasi kepemimpinan
Persoalan yang mendasar sekarang adalah 70 persen wajah anggota DPD dipenuhi semangat idealisme dan fresh politician. Mereka datang dengan segudang pekerjaan rumah untuk menyejahterakan rakyat di daerah. Mampukah nakhoda kapal DPD yang akan dipilih oleh para anggota DPD nantinya bisa memfasilitasi semangat dan kreativitas anggota DPD baru.
Oleh sebab itu, transformasi kepemimpinan DPD lima tahun ke depan perlu diisi figur yang memiliki chemistry dan persamaan semangat idealisme. Jangan sampai semangat mereka terkotak-kotak oleh kepentingan politik tertentu. Kehadiran calon kandidat ketua umum dari kalangan tokoh muda menjadi sebuah keharusan yang perlu disikapi secara bijak.
Isu perubahan yang digaungkan politisi muda bisa menjadi modal besar bagi DPD untuk melakukan berbagai hal krusial menyangkut amendemen kelima UUD 1945. Jangan melihat remeh kehadiran wajah baru untuk mengisi ruang kosong kepemimpinan DPD. Karena, sebenarnya, saat inilah momentum yang tepat untuk melakukan regenerasi politik agar keran demokrasi tidak tersumbat.
Untuk itu, diperlukan jejak rekam yang baik mengenai sosok pemimpin DPD ke depan. Ia harus memiliki kriteria figur yang independen, mempunyai integritas, dan berlatar belakang bersih. Karena, itu akan membawa potret DPD kita sebagai lembaga yang layak disegani dan didukung rakyat. Cita-cita untuk menguatkan lembaga DPD kita kembalikan pada anggota DPD pada saat merumuskan berbagai strategi atau memilih nakhodanya. Sehingga, agenda besar lima tahun ke depan bisa diwujudkan. Kembali pada semangat dan hati nurani kita semua. Wallahualam.
Opini Republika 30 September 2009
Sultan Bachtiar Nadjamuddin
(Anggota DPD RI Terpilih 2009-2014)
30 September 2009
Isu Kesetaraan Kamar Parlemen
Thank You!