30 September 2009

» Home » Republika » Apa yang Diperebutkan, Polri-KPK?

Apa yang Diperebutkan, Polri-KPK?

Hari Jumat pekan lalu, Kapolri, Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, dalam jumpa pers di Markas Besar Polri mengatakan bahwa: ''Ada pandangan perseteruan antara KPK dan Polri, ada balas dendam, ada upaya menggembosi, itu tidak benar. Saya katakan, tidak benar. Tegas saya nyatakan, itu tidak pernah ada!''
Istilah 'perseteruan' yang dipakai Kapolri mengandung arti 'peperangan'. Ya, 'perang' tidak melulu berkonotasi perang antarnegara, baik secara fisik (menggunakan kekuatan militer untuk saling mematikan) atau secara diplomatik. Perang dalam konteks modern bisa juga dalam bentuk 'silat lidah', atau war of words antara dua pihak. War or words pada tahap tertentu bisa dilanjutkan dengan war of massa.
Rusia dan Ukraina, misalnya, hingga hari ini masih terlibat dalam war of words sengit. Ukraina mencurigai Negara raksasa tetangganya itu bermaksud menjajahnya kembali dalam bentuk ekonomi. Sebaliknya, Rusia secara tidak langsung menuding Ukraina berkoalisi dengan blok barat, khususnya Amerika, untuk merongrong kedaulatan mereka. Rusia mengancam akan menggunakan kekuatan senjata jika Ukraina berani kurang ajar.

Istilah perang juga sering dipakai untuk melukiskan perseteruan atau konflik antarlembaga di suatu negara. Misalnya, terjadi perang antara lembaga kepresidenan dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ketika Gus Dur menjadi presiden. Perang itu mengalami eskalasi hebat karena kedua lembaga tinggi negara sama-sama tidak mau mengalah, sama-sama ngotot untuk mengungguli lawannya. Yang satu menuding, lainnya bertujuan menjatuhkan kekuasaannya. Sebaliknya, DPR pun curiga presiden hendak melikuidasi/membubarkan DPR. Pada akhirnya, perang dimenangkan oleh DPR, karena lembaga ini behasil mengundang MPR untuk menggelar Sidang Istimewa pada awal Juli 2001 yang selanjutnya memaksa Presiden Abdurrahman Wahid mengundurkan diri dari jabatannya.

Institusi Kepolisian RI (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diam-diam, sebenarnya sedang terlibat dalam 'peperangan sengit'. Paling tidak, itulah persepsi masyarakat luas saat ini. Secara implisit, Kapolri sebenarnya mengakui keadaan ini ketika ia menggunakan kata 'perseteruan antara KPK dan Polri' dalam jumpa-persnya.

Kapan persisnya perseteruan antara KPK dan Polri dimulai, kita kurang jelas. Atau bisa juga disimpulkan perang dimulai ketika dari mulut Komisaris Jenderal (Pol) Susno Duadji--Kabareskrim Polri--keluar kata-kata 'Cicak (berani) melawan buaya!'

Sebab dari perspektif komunikasi politik, ucapan itu mengandung nuansa kebencian. Seolah dia menantang: ''Kalian anak kecil, kok berani-beraninya nekad melawan aku!''

Perang ini merupakan buntut dari kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen yang awalnya dikaitkan dengan cerita 'cinta segi-tiga' antara korban, Rani Juliani (seorang caddy belia) dan Antasari, ketua KPK saat itu. Nah, dari hasil pengembangan penyidikan atas kasus pembunuhan Nasruddin inilah, Polri akhirnya mengendus aroma tidak sedap pada sejumlah oknum pimpinan KPK. Ceritanya kemudian 'merayap' ke mana-mana: dari kasus pengadaan sistem komunikasi di Departemen Kehutanan dengan tokoh utamanya Anggoro Widjojo, skandal alih-fungsi hutan di Tanjung Api-api (yang sudah beberapa bulan 'lenyap' beritanya), hingga mega skandal Bank Century.

Perang antara Polri dan KPK dipicu oleh testimoni Antasari yang berisi pengakuan bahwa sejumlah pimpinan KPK juga menerima suap dari Anggoro agar status cekal Anggoro dicabut. Testimoni Antasari bak bom meledak di siang bolong. Semua terperanjat. Pimpinan KPK ternyata juga 'doyan duit'? Namun, banyak pihak menuding Antasari hanya ngoceh dengan tujuan untuk menggembosi KPK. Ia bukan tidak sadar bahwa jika ada pimpinan KPK yang lain dijadikan tersangka, KPK akan berjalan terseok-seok. Bagus! ''Masak cuma saya yang dijadikan tumbal!'' kira-kira begitu jalan pikiran Antasari.

Pertanyaan kita: Apa sebab Polri begitu cepat dan antusias untuk segera menyergap mangsa di KPK? Mengapa Polri begitu cepat mengenakan status tersangka kepada Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto? Pada awalnya, pihak Polri mengatakan pasal yang dikenakan kepada Chandra dan Bibit adalah penyalahgunaan wewenang sehubungan dengan pencekalan Anggoro dan pengenaan serta pencabutan pencekalan Djoko Tjandra (aktor di balik skandal Bank Bali). Belakangan tuduhannya berubah lagi, yaitu terkait dengan dugaan suap.

Semua tudingan ini dibantah sekeras-kerasnya oleh Chandra dan Bibit dalam jumpa pers yang sengaja digelar pada Minggu siang, 27 September 2009. Chandra malah mengatakan ketika diperiksa penyidik Polri, ia hanya ditanya apa kenal dengan Ari Muladi. Selanjutnya, tidak ada sama sekali pertanyaan tentang dugaan suap sebagaimana bunyi testimoni Antasari. Itulah sebabnya ia naik pitam ketika dituding oleh Kapolri bahwa ''Disarankan Ketua KPK saat itu supaya diserahkan uang senilai 124.930 dolar Singapura atau lebih kurang Rp 1 miliar kepada Ari Muladi untuk Chandra.'' 

Jumpa pers Chandra dan Bibit, jelas, untuk meng-counter tudingan Kapolri. Mereka hendak secepatnya membunuh rumor atas dirinya yang sudah bergentayangan ke mana-mana selama 2-3 pekan ini. Sebab, menurut Lenin, Bapak pendiri Uni Soviet, rumor akan menjadi truth (kebenaran) manakala didiamkan. Yang unik lagi, Antasari pun mengeluarkan pernyataan usai jumpa pers Chandra dan Bibit. Ia membantah bahwa dirinya telah menuduh pimpinan KPK menerima uang dari Anggoro. Keterangannya yang kemudian dikatakan 'testimoni', menurut pengacara Antasari, dibuat karena paksaan pihak penyidik.

Atas pernyataan Chandra dan Bibit itu, hampir dipastikan sebentar lagi Polri pun akan mengeluarkan sanggahan lagi. Itulah war or words antara KPK dan Polri. Dalam peperangan apa pun, kata Hiram W Johnson, politisi partai Republik dari California, kebenaran selalu menjadi korban. Winston Churchill pernah berkata bahwa dalam setiap peperangan kebohongan selalu bergentayangan. Singkat kata, rakyat tidak tahu lagi bagaimana membedakan antara yang benar dan yang bohong. Dalam perang KPK versus Polri, publik pun sulit membedakan mana pernyataan yang benar, mana yang palsu. Yang jelas, di antara dua pihak itu, pasti ada yang dusta!

Pertanyaan banyak orang: Apa sih yang diperebutkan (at stake) dalam peperangan antara Polri dan KPK sekarang? Kekuasaan, karena KPK sudah menjadi institusi superbodi? Martabat, karena telepon genggam Kabareskrim disadap dan KPK mau menyidik sejumlah petinggi Polri? Balas dendam karena sejumlah eks petinggi Polri dijebloskan dalam penjara oleh KPK?

Wallahualam .... Bisa juga perang itu ditempuh untuk menutupi kebohongan. Jangan lupa, setiap kali manusia berbohong, dia harus terus berbohong untuk menutupi kebohongan-kebohongan sebelumnya. Kalau begitu, pride (kehormatan) yang menjadi taruhannya. Sebab, kalau kebohongan terbongkar, harga diri pejabat atau institusi tercoreng.

Dalam situasi ketidakjelasan ini, mestinya Presiden segera turun tangan melerai perseteruan antara KPK dan Polri. Namun, presiden tidak bersedia dengan pertimbangan biarkan saja hukum berjalan sebagaimana mestinya. Tapi, anehnya, sebagai ganti dari kebijakan 'hands off', presiden dengan cepat mengeluarkan perppu untuk mencari tiga orang pimpinan KPK yang baru, menggantkan Antasari, Bibit dan Chandra. Perppu berarti melegitimasi tindakan Polri yang mengenakan status tersangka pada Bibit dan Chandra, padahal tidak kurang Wakil Presiden RI, Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, dan Adnan Buyung Nasution anggota Dewan Pertimbangan Presiden--pun mempermasalahkan tindakan Polri itu. Perppu, ternyata, menambah masalah baru, bukan menyelesaikan masalah perseteruan KPK dan Polri!


Opini Republika 29 September 2009

Tjipta Lesmana
Mantan Anggota Komisi Konstitusi