26 September 2009

» Home » Media Indonesia » Smart Power Polri dalam Agenda Kontra Teror

Smart Power Polri dalam Agenda Kontra Teror

Polri kian berjaya dengan mengakhiri puncak pemburuan Noordin M Top, persis dua bulan setelah ledakan terakhir di JW Marriot dan Ritz-Carlton 17 Juli 2009. Press Conference Presiden RI yang pada waktu itu menunjukkan 'kemarahan'-nya, memang membuat polisi meningkatkan serangkaian agenda kontra teror. Di antaranya terlihat dari atraksi pengepungan teroris yang army look. Mulai dari Temanggung 8 Agustus 2009 hingga di Solo 17 September 2009, kemarin, menunjukkan penggunaan peralatan militer berat oleh polisi. Sesuatu yang di masa Orde Baru biasanya lebih identik dilakukan militer terhadap subjek-subjek yang diidentifikasi sebagai 'ancaman'.

Unsur pendekatan hard power yang dipertontonkan pemerintah tersebut uniknya tidak mendapat respons negatif dari masyarakat, malah justru cenderung sukses mendapat 'tepuk tangan' populasi mayoritas. Tidak seperti yang terjadi di Amerika--sebagai negara pelopor global war on terror--ketika menerapkannya malah mendapatkan caci maki kritik pelanggaran HAM. Dalam titik pandang kami, kesuksesan Polri tersebut karena hard power-nya hadir tidak sendirian, tapi dengan soft power yang diramu secara pas.

Tulisan ini hendak membawa kepada sebuah pemahaman tentang kekuatan pendekatan smart power dalam agenda kontra teror ala Polri, dengan memahami bagaimana faktor kekuatan pendekatan tersebut dan potensi tergelincirnya Polri dalam penerapannya.

Keterbatasan hard power dan kemunculan soft power
Keterbatasan hard power yang terlalu dominan terlihat jelas dengan kemenangan spektakuler Barrack Obama dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat. Selama masa pemerintahan Bush Jr, agresivitas Washington menggunakan tekanan senjata dan embargo ekonomi untuk meraih kepentingan nasionalnya justru berbalik menghancurkan citra dan pengaruh AS di dunia.

Hingga akhirnya sampai muncul rekomendasi berjudul A Smarter, More Secure America dari lembaga think tank terkemuka AS, CSIS (Center for Strategic and International Studies). Inti dari laporan tersebut adalah rekomendasi bahwa AS harus menggeser politik luar negerinya dari mengandalkan hard power (kekuatan militer dan kedigdayaan ekonomi) menuju smart power, 'kekuatan yang cerdas'.

Bagi Indonesia, Hillary Clinton-lah yang mengenalkan konsep ini ke Tanah Air. Dalam jumpa pers bersama dengan Menlu RI Hasan Wirayuda awal Juni 2009, Hillary mengatakan bahwa AS akan menggunakan 'pendekatan yang lebih menggunakan otak daripada kekuatan'. Konsep smart power sendiri berkembang dari konsep soft power yang diperkenalkan oleh cendekiawan terpandang Joseph S Nye Jr: menggunakan kombinasi dari hard power dan soft power dalam takaran yang pas.

Agenda kontra teror tidak lepas dari rekomendasi ditambahkannya bumbu soft power dalam kebijakan. Pada 6 Agustus 2009, John Brennan, asisten Obama untuk urusan homeland security and counter-terrorism, memaparkan strategi 'baru' dalam agenda antiteror Amerika Serikat yang lebih bercorak soft power. Launching strategi baru antiteror inilah salah satu upaya Washington menunjukkan dirinya tidak ingin dilihat seperti keledai yang masuk lubang yang sama dua kali.

Soft power: isu, momentum, dan krisis
Meskipun sebenarnya Indonesia dalam agenda kontra teror hanyalah derivator dari agenda Amerika, secara praksis ada tiga hal utama yang membuat agenda kontra teror di Indonesia lebih unggul dalam penerimaan publik.

Faktor pertama dan utama, yaitu keunggulan isu 'penegakan hukum' jika dibandingkan dengan isu 'perang militer terhadap terorisme' dalam atmosfer demokrasi. Invasi terhadap Irak dan Afghanistan kerap dijadikan contoh kasus ketidaktepatan pendekatan hard power dalam agenda kontra teror. Di antara sebabnya adalah ideologi sebagai center of gravity dari gerakan anti-Barat justru menemui pelengkap pembenarannya untuk berjihad. Sebab, dalam kondisi 'diperangi' wajib untuk 'membela diri'. Pemerintah Indonesia dengan kultur demokrasi yang kuat rasanya cukup tepat dengan mengerahkan institusi penegak hukum seperti polisi untuk bergerak sebagai elemen utama, dengan ditemani elemen-elemen lainnya seperti legislasi, pengadilan, dan intelijen.

Sementara itu, faktor kedua dan ketiga adalah pendukung yang bersifat insidental terhadap faktor pertama, yaitu momentum dan krisis yang dalam dua bulan ini berhasil match dengan agenda kontra teror. Momentum pemilu kemarin misalnya, dengan ditambah pidato Presiden Yudhoyono telah berhasil membuat tingkat urgensi dan kekhawatiran yang ada pada masyarakat terhadap ancaman terorisme menjadi semakin meningkat. Dari perasaan bahwa teroris akan mengincar orang 'bule' meluas menjadi asumsi bahwa ia juga mengancam rakyat biasa dan pemerintah. Kekuatan 'momentum' tersebut juga berhasil ditangkap dengan statement Kapolri Bambang Hendarso Danuri yang mengaitkan tewasnya Noordin M Top dengan 'berkah' di bulan suci Ramadan.

Terakhir, krisis hubungan Indonesia-Malaysia tentu saja menjadikan situasi lebih kondusif untuk memburu Noordin M Top yang oleh media berulang dilafalkan identitasnya sebagai 'teroris asal Malaysia'. Ketepatan terhadap pilihan isu, momentum, dan krisis tersebut sesuai dengan ilmu perang yang menyebutkan aspek space, time, and terrain adalah penentu dalam sebuah asymmetric war seperti perang melawan terorisme. Dengan demikian, pada akhirnya Polri-รข€“dalam bahasa bapak perang modern, Carl von Clausewitz--berhasil meraih heart and mind dari populasi di Indonesia.

Hard power: militerisasi polisi
Tentu saja keberhasilan Polri sekarang harus dipikirkan kelanggengannya. Hemat kami, isu 'penegakan hukum' dalam bingkai criminal justice system lah hal permanen di masa depan yang perlu mendapatkan sorotan khusus. Sebenarnya bingkai isu ini cukup baik jika dilihat dalam beberapa keunggulannya. Pertama, potensinya dalam delegitimasi dukungan terhadap teroris di satu sisi serta menguatkan legitimasi pemerintah di sisi lain. Kedua, memudahkan proses rehabilitasi teroris yang 'sadar' sebab mereka tidak merasa 'diperangi'. Ketiga, meningkatkan peran intelijen untuk fungsi penyelidikan-pengamanan-penggalangan. Keempat, tetap mengagungkan ruang kontrol bagi masyarakat sipil sebagai pilar demokrasi.

Keunggulan posisinya sebagai institusi penegak hukum memang harus terus dijaga, termasuk ketika ia harus kembali menghadapi kasus dan pendekatan. Sekali saja tergelincir pada kombinasi hard power dan soft power yang tidak pas, akan berakibat fatal. Pemiliteran polisi perlu diperhatikan. Pertama, tetap tidak berlebihan dari porsinya untuk menangkap tersangka, bukan untuk menghakimi bahkan menyiksanya. Kedua, penggunaan kekuatan minimum, berlebihan dalam menghadapi potensi ancaman juga akan bersentuhan dengan isu HAM dan proporsionalisme. Ketiga, gencatan senjata tetaplah harus menjadi opsi terakhir, jangan sampai kasus Noordin M Top membuat Polri ketagihan dengan army look-nya. Keempat, kecuali jika musuh beraksi maka dalam porsinya yang proporsional tentu serangan mematikan kadang kala dibutuhkan. Kelima, tentu saja pemeriksaan harus cermat untuk menghindari sikap gegabah terhadap mereka yang tidak bersalah.

Insider: lebih emic
Ramuan cerdas memang tidak menghendaki Polri menjadi sangat militer atau menjadi sangat paham Islam. Jika dalam koridor militer saja masih perlu dibatasi, agar tidak menjadi militeristik. Apatah lagi jika Polri terlalu jauh melangkah menjadi 'ahli tafsir' yang merasa yakin bahwa aktivis Islam merupakan indikator utama dari teroris, atau menjadi pihak yang keukeuh menihilkan syariat jihad dalam kurikulum Islam, tentu saja sikap gegabah tersebut justru dapat mengundang trauma baru aktivis Islam terhadap Polri sebagaimana terhadap militer di masa lalu. Polri dalam kebutuhan smart power ini cukup menunjukkan pemahamannya yang--secara antropologis--diistilahkan lebih emic (insider) yang lebih empatik memahami dan melayani, daripada menjadi ethic alias 'outsider' yang malah berpotensi menghakimi masyarakat.




 Opini Media Indonesia : 25 September 2009
Oleh Arya Sandhiyudha As, Master dalam bidang strategic studies dan penerima Ceritificate in Terrorism Studies dari S Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura