Setelah pilleg dan pilpres yang menegangkan, dan ritual Ramadan serta Lebaran yang khusyuk dan mengasyikkan, kita tiba pada agenda nasional yang menggairahkan tetapi juga mencemaskan. Tak lama lagi secara berturut-turut para anggota legislatif, presiden dan wakil serta para anggota kabinet akan dilantik. Merekalah yang akan menentukan warna perpolitikan bangsa ini selama lima tahun mendatang. Bagaimana perilaku masyarakat Indonesia akan banyak ditentukan kebijakan dan kebijaksanaan yang mereka gulirkan. Rakyat relatif hanya ikut dan menurut. Maka opini dan saran pun makin menyebar. Tujuannya, sekadar untuk masukan karena nantinya bukankah rakyat akan ikut menanggung akibatnya, sekalipun para wakil rakyat dan jajaran pimpinan tertinggi yang menentukan politiknya?
Peran perwakilan rakyat
Salah satu yang akhir-akhir ini banyak disorot adalah peran para anggota perwakilan rakyat di DPR maupun DPD, di pusat dan di daerah. Sangat jelas bahwa masyarakat banyak mengingat kinerja DPR dari sisi negatifnya. Menurut hasil survei LSI, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja DPR hanya mencapai 51,6%. Contoh yang mengecewakan itu antara lain terjadi secara gamblang sekitar setengah bulan sebelum pelantikan DPR yang baru pada 1 Oktober 2009: untuk mengesahkan 4 RUU--Kesehatan, Narkotika, Penetapan Perppu Penyelenggaraan Ibadah Haji, Keimigrasian--secara fisik hanya 16% (87) dari 550 anggota hadir dalam sidang pada 14 September 2009. Namun, yang menandatangani daftar hadir 266 orang. Untuk mencapai kuorum, diperlukan minimal 276 suara. Toh, empat RUU tersebut disahkan karena menurut Ketua DPR, yang terdaftar hadir 277 orang. Di mana letak patgulipatnya? Sidang-sidang pengesahan RUU berikutnya mengalami nasib serupa--tidak mencapai kuorum dan kehadiran fisik anggotanya kurang. Namun, pengesahan terjadi juga.
Berdasarkan Program Legislasi Nasional, DPR 2004-2009 menargetkan pengesahan 284 RUU. Sampai dua minggu sebelum DPR lama turun panggung, telah disahkan 172 RUU. Sampai 30 September 2009, hari terakhir, DPR berencana mengesahkan 22 RUU, yang berarti mereka merencanakan meloloskan kurang 90 dari target. Kinerja akrobatik seperti apa yang sudah dan masih akan dilakukan sampai detik terakhir? Ini yang mungkin menyebabkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganjurkan agar jangan bersikap terburu-buru dalam hal ini. Di lain pihak, Sultan Hamengku Buwono X, yang mengharapkan pengesahan RUU Keistimewaan DIY dalam periode DPR sekarang, kecewa berat. Apa ada yang ingin mengambil manfaat dari penundaan ini?
Pada dasarnya, masyarakat Indonesia tidak senang gaduh. Namun, merenungkan apa yang akan terjadi kurang dari satu minggu lagi, ketika DPR yang baru naik panggung, pertanyaan yang menggoda adalah apakah anggota-anggota DPR baru, yang dianggap tidak berpengalaman sematang yang lama-lama, mampu memberikan kinerja lebih baik? Tentu ini menjadi tantangan para anggota legislatif 2009-2014. Mereka sungguh-sungguh memerlukan strategi untuk program legislasi lima tahun ke depan. Kalau tidak, rakyat tak akan henti-hentinya mencemoohkan, mengingat demikian banyak program legislasi yang ditunggu-tunggu, selain dana yang diserap perwakilan rakyat luar biasa besar, belum lagi kemungkinan kebocoran karena salah manajemen dan/atau penyelewengan. Yang diperlukan DPR yang baru nanti bukan hanya tambahan keterampilan dan pengetahuan, melainkan juga peningkatan kekuatan moral dalam menjalankan peran sebagai pengemban amanat rakyat.
Harapan bagi kepala negara dan kabinetnya
Saat-saat seperti ini mungkin tidak menenangkan bagi Presiden. Dengan empati bagi orang nomor satu negeri ini, dapat kita bayangkan betapa beratnya pada saat Presiden terpaksa melepas pembantu-pembantunya yang lama. Beban mengangkat apalagi menurunkan petugas yang membantunya tidaklah seenteng dugaan orang. Apalagi kita bukan masyarakat yang tidak peka rasa. Compassion akan dengan sendirinya hadir untuk mereka yang selesai masa tugasnya. Perpindahan status, antara lain karena pensiun, akan menimbulkan rasa kurang nyaman.
Beban berat lain bagi Presiden pada waktu ini adalah membuat keputusan-keputusan yang bisa mengecewakan banyak orang. Toh, keputusan harus diambil. Misalnya mengenai pemilihan tokoh-tokoh untuk kabinetnya, sekalipun hak prerogatif ada di tangannya. Seandainya salah pilih, pasti rakyat akan menggugat, selain kinerja pemerintahan akan terganggu. Sejarah juga akan mencatatnya. Koalisi yang terlalu besar tidak mempermudah situasi. Sementara itu, lima tahun ke depan, demi nama baik kinerja SBY, kabinet dituntut menunjukkan profesionalisme tinggi, bukan sekadar memuaskan keinginan individu-individu penting dalam berbagai partai politik.
Kabinet baru tidak harus hasil rekayasa partai-partai politik. Namun, jelas bukan rekayasa rakyat umum. Namun, rakyat secara langsung atau tidak akan menjadi subjek maupun objek sikap, perilaku, dan kinerja anggota-anggota kabinet baru. Maka wajar kalau masyarakat yang tahu merasa miris, waswas dan cemas mengenai siapa-siapa yang dianggap Presiden putra-putra terbaik Indonesia yang patut diangkat untuk kabinetnya. Tokoh-tokoh macam apa mereka?
Presiden Soeharto ketika sedang jaya-jayanya pada 80-an pernah mengatakan dalam pidato-pidatonya, "Sejarah bangsa mana pun, dari zaman dahulu hingga sekarang, selalu melahirkan akibat-akibat samping yang tidak menjadi tujuan pokok pembangunan itu sendiri. Karena itu saya sering mengatakan bahwa dalam melanjutkan, meningkatkan, dan memperluas pembangunan, kita juga harus terus-menerus mengadakan pembaharuan, jika perlu mengadakan koreksi-koreksi. Dalam zaman serbamaju seperti sekarang, profesionalisme merupakan syarat mutlak, tetapi profesionalisme saja tidak pernah akan cukup. Profesionalisme harus tetap diarahkan wawasan yang benar dan idealisme yang luhur. Tanpa itu, profesionalisme akan kehilangan arahnya bagi kebaikan kehidupan manusia dan dapat merendahkan martabat manusia. Kalau kesetiakawanan sosial tidak kita hayati dan tidak kita tunjukkan, persatuan dan kesatuan bangsa tidak akan kukuh. Oleh karena itu, saya mengharapkan agar peningkatan kesetiakawanan sosial ini benar-benar menjadi perhatian kita semua...."
Saat menyimak pidato-pidato kepala negara, para pengamat waktu itu menganggap Presiden Orde Baru itu menginginkan agar masyarakat, termasuk anggota-anggota kabinet, memiliki pikiran yang senada. Mungkin terutama bagi pembantu-pembantunya, mereka diharapkan bersikap terbuka, profesional, idealis, kreatif, dinamis, berwawasan ke depan, bersikap sederhana, merakyat, dan memiliki seperangkat kemampuan lain yang diperlukan sehingga memenuhi syarat untuk dinobatkan sebagai putra-putra terbaik bangsa yang membantu presidennya.
Kabinet dengan spirit segar
Sejak beberapa waktu lalu, para pengamat mulai membuat ramalan-ramalan tentang sosok kabinet baru, antara lain apakah akan lebih gemuk atau lebih ramping. Ada sinyalemen, perampingan bisa menghemat sampai triliunan sesuai dengan besar-kecilnya pengurangan jumlah anggota kabinet. Hak Presiden untuk menentukan. Dengan dukungan langsung dari rakyat melampaui 60%, sesungguhnya tidak ada kekuatan partai politik mana pun yang bisa memaksakan keinginan. Kabinet bisa beranggotakan lima orang, atau sebaliknya bisa membengkak menjadi 50 orang. Tergantung pada kebutuhan akan efisiensi kerjanya.
Tentu masyarakat bisa berangan-angan mendapatkan kabinet dengan spirit segar--fresh spirit--karena tantangan masa depan makin berat: ekonomi dunia belum juga menentu, pesaing makin banyak untuk produk-produk nonmigas yang masih harus terus digarap, hutang belum tuntas tertangani, dan jumlah tenaga kerja yang terdidik maupun yang tidak terus meningkat pesat. Meskipun kita dipuji sebagai salah satu negara yang berhasil menanggulangi kemelut ekonomi dunia waktu ini, tidak seorang pun bisa menjamin kelanggengan posisi demikian. Semua itu akan menimbulkan tekanan-tekanan tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang politik. Orde ekonomi dan orde politik tidak berdiri sendiri-sendiri.
Orde politik adalah cermin kultur masyarakat secara umum. Kemampuan melihat isu-isu politik secara dini dan bagaimana meresponsnya secara efektif sangat tergantung pada kedewasaan kita dalam sikap dan perilaku berpolitik. Maka rasanya, menjelang terbentuknya kabinet baru, alangkah idealnya seandainya segenap partai politik semeleh dan tidak memaksakan kehendak, "Demi kepentingan yang lebih besar,"--ungkapan klise yang bila direnungkan banyak benarnya.
Opini Media Indonesia : 25 September 2009
Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group