Awal tahun 2000 hingga 2005, isu ketidakseimbangan global (global imbalances) menjadi perhatian serius para ekonom, menteri keuangan, dan gubernur bank sentral di seluruh dunia. Dalam beberapa pertemuan Bank for International Settlements (BIS) organisasi yang menaungi puluhan bank sentral di dunia global imbalances menjadi topik yang selalu dibicarakan, dicarikan jalan keluarnya, dan diupayakan agar garisnya lebih seimbang demi stabilitas ekonomi global.
Isu ini terkait erat dengan negatifnya indikator ekonomi penting di Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara Eropa, sementara negara-negara lain di belahan Asia menikmati kondisi yang berbeda. Ketika AS bergulat dengan tingginya defisit anggaran; Cina, Arab Saudi, dan Iran duduk manis dengan tren positif anggaran mereka.
Di saat Amerika mengalami defisit dalam perdagangan dunia, tingginya selisih impor dibandingkan ekspor; Cina dan Jepang berada di posisi yang lain. Meski pada akhirnya sempat tergerus krisis keuangan global, secara umum perdagangan Cina dan sejumlah negara Asia lainnya mencatat surplus.
Daftar ketidakseimbangan global bertambah lagi jika menyinggung faktor penggerak pertumbuhan ekonomi antara Barat dan Timur. Tingginya konsumsi yang menggerakkan pertumbuhan ekonomi Amerika menjadikan posisi negeri itu cenderung jomplang dengan negara lain yang mengandalkan sisi ekspor. Juga, terkait dengan cadangan devisa negara di mana negara seperti Cina begitu kuat dengan budaya menabung rakyatnya yang tinggi (mirip dengan Indonesia), sementara Amerika begitu senang menghambur-hamburkan uangnya.
Isu ketidakseimbangan ekonomi global kembali mengemuka dalam beberapa pertemuan tingkat menteri dan kepala negara Group of 20 (G-20). Dalam pertemuan di London, April lalu, di antara isu-isu krusial yang dibahas negara-negara anggota G-20 yang menguasai 80 persen ekonomi dunia itu, dimasukkan juga soal global imbalances ini.
Di Pittsburgh, AS, dalam pertemuan pemimpin G-20 selama dua hari di pekan ini, isu ini kembali ikut dalam gerbong arus utama yang dibahas. Salah satu upaya efektif untuk menstimulasi ekonomi global lebih bergerak, stabil, dan tumbuh, yakni dengan meminimalisasi kesenjangan dalam hal ketidakseimbangan global tersebut.
Presiden Barack Obama diminta Cina, Indonesia, Brasil, dan Argentina untuk meningkatkan tabungan masyarakatnya, seperti yang dilakukan Cina. Obama juga berjanji untuk mengatasi defisit anggarannya yang melampaui angka 1 triliun dolar AS di 2009 ini. Sebagai bargain -nya, Obama meminta Cina, misalnya, untuk memompa lebih tinggi konsumsi rakyatnya, mengurangi proteksi, dan membuka pasar lebih lebar.
Ekonomi AS masih menjadi pendorong bergeraknya ekonomi global, mengingat 50 persen tujuan ekspor dunia masuk ke sana. Dolar AS juga masih digdaya dengan pemakaian lebih dari 70 persen di seluruh dunia untuk perdagangan dan transaksi internasional. AS pun masih menjadi pusat keuangan dunia dan menjadi tujuan investasi portofolio atau investasi langsung.
Tak heran, jika ekonomi AS sedikit batuk saja, negara-negara lain langsung tersentak. Ketika krisis hebat subprime mortgage datang, negara-negara lain nyaris jatuh. Karena itulah, para pemimpin dunia, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, merasa perlu membahas isu global imbalances untuk dicarikan solusinya.
Reformasi IMF
Di AS, G-20 setidaknya membicarakan lima isu penting yang mendera dunia saat ini. Mereka adalah perubahan iklim, koordinasi antarnegara dalam kebijakan moneter, kemiskinan, global imbalances dan solusi krisis global, serta reformasi Dana Moneter Internasional (IMF). Yang terahir ini menjadi sangat sensitif, mengingat terkait dengan kekuasaan sejumlah negara yang tergabung dalam Uni Eropa.
IMF seolah milik Uni Eropa. Dengan kekuatan ekonomi sebesar 25 persen dari ekonomi dunia, Uni Eropa menguasai 40 persen saham IMF dan tentu saja hak suara. Amerika, yang juga menguasai 25 persen ekonomi dunia, hanya mengantongi 17 persen hak suara di IMF. Sementara itu, negara-negara lain, seperti Cina, Brasil, Argentina, dan Indonesia, tidak memiliki hak suara signifikan.
Krisis global dan munculnya kekuatan baru dalam tataran ekonomi global, seperti India dan Cina, menguatkan alasan untuk mereformasi IMF. Salah satunya adalah dengan memberikan hak suara sepadan dengan Uni Eropa dan Amerika. Cina dan India telah menjadi pahlawan dalam krisis global ini. Keduanya tampil gemilang untuk ikut menstimulasi pergerakan ekonomi global.
Peran Cina dan India tidak bisa dipandang sebelah mata lagi. Wajar, jika sebagian negara emerging markets mendesak perubahan IMF dengan memasukkan hak yang sama bagi Cina dan India. Negara-negara lain, seperti Indonesia, juga meminta reformasi agar terjadi keseimbangan pada setiap pengambilan keputusan penting.
Belanda termasuk satu negara anggota Uni Eropa yang keberatan dengan reformasi kekuasaan IMF. Jika reformasi IMF dijalankan, kekuasaan negara-negara Uni Eropa dipastikan berkurang. Belanda termasuk yang akan kehilangan kursi krusial dalam menentukan keputusan penting.
Sebetulnya, reformasi IMF sudah menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa ditolak. Jika merunut sejarah lahirnya IMF hingga saat ini, lembaga yang diotaki John Maynard Keynes ini telah mengalami revolusi fungsi. Dari yang tadinya mendorong negara-negara di dunia untuk berperan aktif dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi akibat Great Deppresion 1930-an, IMF kemudian berperan sebagai pengusir negara dari proses ekonomi. IMF datang dengan agenda luar biasa berbeda: liberalisasi perdagangan, liberalisasi keuangan, dan yang paling kontroversi: privatisasi.
Kini, dunia telah berubah. Jika di era 1940-an sampai akhir 1990-an kekuatan ekonomi dunia masih dikuasai negara-negara klasik, di era 2000-an keadaannya sudah berubah. Cina, India, Asia Tenggara, dan Asia Timur makin perkasa. AS dan Eropa mulai goyah, sementara Timur Tengah dan Amerika Latin tetap menancapkan kekuatannya. Karena itu, IMF sudah harus menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Caranya, dengan mereformasi diri. Tanpa reformasi IMF, negara-negara yang sedang tumbuh akan setengah hati menjalankan kesepakatan bersama dalam mengatasi krisis global ini. Upaya untuk mengurangi kesenjangan ketidakseimbangan global pun menjadi lebih berat.
Opini Republika : 25 September 2009
Oleh Elba Damhuri
26 September 2009
Global Imbalances dan Reformasi IMF
Thank You!