11 Desember 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Tangis Soekarno untuk Papua

Tangis Soekarno untuk Papua

SOEKARNO telah lama tiada. Bapak Bangsa itu wafat 1970, hampir lima tahun setelah menghadapi ‘’kudeta merangkak’’ oleh Mayjen Soeharto, orang yang diberinya kepercayaan. Sebagai tokoh bangsa ini keberanian Soekarno sangatlah terkenal, hal yang mengantarkannya dari penjara ke penjara kolonial Belanda. Selama menjadi presiden, Bung Karno berkali-kali menghadapi upaya pembunuhan, termasuk oleh unsur asing (Barat) yang tidak menyukainya. ‘’Go to hell with your aid,’’ seru Bung Karno kepada Amerika Serikat, tatkala mau memberikan bantuan namun dengan berbagai syarat..
Tetapi Bung Karno juga dikenal mudah menangis melihat kemiskinan dan kesengsaraan rakyatnya. Dalam bukunya yang baru terbit, Creeping Coup d’Etat Mayjen Soeharto (2011), Sukmawati Soekarnoputri bahkan mengisahkan ayahnya pernah dua kali menangis sesenggukan ketika menjalani tahanan rumah. Tangisan yang kedua disertai keluhan bagaimana dirinya bisa diperlakukan demikian oleh bangsa sendiri.
Sekarang, sebagian kalangan mungkin membayangkan Bung Karno menangis di alam baka. Ya, dia boleh jadi menangis melihat centang-perenang negerinya, termasuk pergolakan di Papua Barat (dulu Irian Barat), wilayah NKRI yang sejumlah penduduknya dilaporkan ingin melepaskan diri.
Kenangan terhadap Soekarno rasanya tak terhindarkan. Praktis selama 20 tahun menjadi pemimpin RI, sebagian besar waktunya habis untuk memikirkan Papua Barat yang masih dikuasai oleh Belanda sejak pengakuan negeri itu pada 1949.  
Ketika diundang berkunjung ke AS pada 1956 dan berpidato di depan sidang gabungan Kongres AS, Soekarno menggunakannya untuk menyampaikan sikap. Dalam pidato yang mendapat tepukan tangan spontan 26 kali itu, ia antara lain mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia belum sempurna manakala Irian Barat belum kembali ke pangkuan. ‘’Garam kemerdekaan belum lagi sempurna rasanya bagi kami sebelum Indonesia kembali bersatu di bawah naungan kemerdekaan yang menjadi hak paling asasi dari seluruh manusia.’’
Setelah melalui jalan diplomasi panjang dan berliku, Belanda tetap tidak bersedia meninggalkan Papua Barat sehingga kesabaran Soekarno habis. Dalam pidato 17 Agustus 1960, keluarlah deklarasinya yang terkenal menyangkut wilayah tersebut. Dalam bukunya, Indonesia: The Possible Dreams (1971), mantan Dubes AS untuk Indonesia Howard Palfrey Jones melukiskan drama dalam pidato Soekarno.
Jones menuturkan, dalam pidato sekitar 2 jam 30 menit itu, Soekarno membagikan teks pidato yang ada bagian kosongnya menjelang akhir. Para pengamat pun meramalkan ada pengumuman penting. Itu benar. Dalam momen puncaknya, Soekarno mengambil napas panjang, kemudian mengatakan, salah satunya, ‘’Pagi ini saya perintahkan menteri luar negeri memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda.’’
Sekitar 500.000 orang yang memadati Gelora Bung Karno di Jakarta saat itu bersorak-sorai, sementara puluhan wartawan berlarian keluar menelepon kantor mereka dan memberitakan peristiwa bersejarah tersebut. Melalui langkah militer Indonesia, termasuk penggelaran kekuatan laut yang mendapat banyak bantuan militer dari Uni Soviet, pemerintah Belanda akhirnya bersedia melepaskan Irian Barat pada 1 Mei 1963.
Seperti George Washington menekuk Inggris, ‘’George Washington of Indonesia’’ (pujian John F Kennedy untuk Bung Karno) itu pun berhasil menuntaskan pengusiran Belanda.
Komunikasi Publik
Pergolakan di Papua Barat dewasa ini sungguh memprihatinkan. Ada banyak penyebab, antara lain kurangnya perhatian pemerintah pusat pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua Barat. Ada pabrik tambang raksasa Freeport, tetapi ironisnya kemiskinan dan keterbelakangan merajalela di wilayah itu. Namun ada hal-hal lain yang perlu pula lebih diperhatikan, yakni adanya faktor asing yang bermimpi mengusai wilayah itu karena sumber alamnya luar biasa. Mereka menggunakan isu kesenjangan ekonomi, sosial, budaya, dan agama untuk mengobarkan ketidakpuasan.
Keadaan seperti itu diperparah oleh sedikitnya kajian tentang masyarakat Papua Barat oleh para ahli Indonesia. Mereka yang tertarik justru orang asing, termasuk misionaris. Buku dan jurnal yang beredar umumnya juga cenderung menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah.
Lebih menyedihkan lagi adalah buruknya komunikasi publik pejabat terkait dengan keadaan di Papua Barat. Persis dengan buruknya komunikasi publik para menteri seperti dikeluhkan SBY menyangkut runtuhnya Jembatan Kartanegara di Tenggarong, Kalimatan Timur.
Presiden SBY berkali-kali mengingatkan pembantunya tentang pentingnya komunikasi publik. Sekarang kita menunggu apakah segera ada tindakan nyata untuk meningkatkan perhatian pada masyarakat Papua Barat. Untuk itu, diperlukan suatu komunikasi publik yang andal, baik menyangkut orang dan sistemnya.
Mungkin kita bermimpi munculnya tokoh pemersatu sekaliber Soekarno. Mimpi itu sah-sah saja, meskipun mungkin ada yang menyebut hanya utopia. Bukan karena apa. Soekarno adalah fenomena istimewa, juga bagi rakyat di Papua Barat.
Banyak orang yang mungkin heran, mengapa gambar Soekarno dikoleksi ribuan orang hingga kini, melintasi batas etnik, agama, dan generasi. Fotonya terpasang di dinding rumah, bahkan dasbor mobil dan taksi. Di wilayah Indonesia yang membentang 5.000 km, tulis Asiaweek, praktis hanya ada satu nama sinonim dengan nasionalisme Indonesia: Soekarno. Pendiri negara dan arsitek kemerdekaan. (10)

— Djoko Pitono, jurnalis, penulis Buku Soekarno, Obor yang Tak Pernah Padam
Wacana Suara Merdeka 8 Desember 2011