11 Desember 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Guru Berkiblat Sertifikasi

Guru Berkiblat Sertifikasi

PADA era reformasi bermunculan sejumlah organisasi guru, selain Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang sudah lama ada. Kemerebakan itu juga terjadi di daerah, di antaranya Majelis Obrolan Merdeka Sekobere Kebumen (MOM Sekobere), Forum Interaksi Guru Banyumas (Figurmas), Forum Aspirasi Guru Independen Bandung (FAGI), dan Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) yang beranggotakan 26 organisasi guru independen di Indonesia.
Sejarah perjuangan organisasi guru di Indonesia sudah ada sejak 1966, misalnya Organisatie Vakonderwijzers, Nederlands Indies Onderwijzer Genootschaap, dan Indonesische Onderwijzers Bond, yang memperjuangkan nasib guru. Artinya, sejak lama banyak sumbangan organisasi guru dalam pendidikan.
Selain sumbangan organisasi, banyak pula peristiwa, persoalan, tantangan, dan kendala yang dihadapi organisasi guru ke depan, salah satunya adalah persoalan sertifikasi. Fakta saat ini, organisasi guru mampu bergerak secara progresif demi mewujudkan hak-hak peningkatan kesejahteraan anggotanya tidak hanya isapan jempol.
Kesejahteraan itu tidak datang dari langit tetapi menjadi cermin dan tantangan yang dihadapi organisasi guru pascasertifikasi. Bonus kebijakan sertifikasi adalah hasil perjuangan organisasi dalam rangka menuju guru yang sejahtera. Seandainya guru merasa sulit  mendapatkan sertifikasi, organisasi siap menjadi corong utama menyampaikannya kepada pemerintah.
Kebijakan sertifikasi yang bertujuan meningkatkan kualitas guru, termasuk kesejahteraannya, kadang dipandang beragam oleh sementara pihak. Seolah-olah, guru dimanja dengan berbagai tunjangan, sementara hasilnya belum dirasa secara signifikan. Idealnya, sertifikasi dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidik, tanpa harus mempersoalkan tambahan finansial pascasertifikasi.
Organisasi seyogianya harus mengawal agar tidak terjadi bias sertifikasi. Yang terjadi saat ini sertifikasi masih bersifat portofolio, belum maksimal menyentuh aspek kompetensi. Persoalan konseplah yang mestinya diajarkan guru dan guru ideal harus menguasai materi yang akan diajarkan, bukan ramai mempersoalkan cara mendapatkan tunjangan.
Realitasnya, organisasi guru jarang mempersoalkan sisi kompetensi dan kualitas pendidikan tetapi masih sebatas meributkan susahnya guru mendapatkan tunjangan sertifikasi atau keterlambatan pencairan dana sertifikasi.
Malapraktik Pendidikan
Rasanya perlu mengembalikan peranan guru dalam dunia pendidikan. Falsafah Ki Hadjar Dewantara bahwa guru harus pantas untuk di-gugu dan ditiru kini tidak lagi meresap dalam dunia pendidikan. Kemuliaan seorang guru seakan sirna. Gen pendidik yang mengalir dalam darah Ki Hadjar Dewantara tidak lagi menetes dalam diri guru di Tanah Air.
Kiblat guru pun berganti arah ke kiblat sertifikasi. Panggilan profesi telah mengubahnya menjadi pekerja yang menjanjikan kesejahteraan berlebih. Di sinilah, peran organisasi yang mesti mengembalikan semangat dan niatan guru terhadap dunia pendidikan sebagaimana ajaran Ki Hadjar Dewantara.
Organisasi guru harus menjelaskan, bahwa keberhasilan pendidikan bergantung pada kualitas dan profesionalisme guru sebagai aktor utamanya, bukannya pada ritual sertifikasi. Organisasi mestinya menjaga guru agar tidak melakukan malapraktik pendidikan demi mewujudkan impian sertifikasi. Jangan sampai sia-sia perjuangan organisasi hanya karena masih ada guru yang hanya datang dan memberi tugas mencatat pada siswanya tanpa pengajaran maksimal.
Secara kelembagaan, organisasi perlu memberi pemahaman bahwa tanggung jawab guru semestinya tidak membedakan antara bersertifikasi dan belum. Lahirnya seorang guru seharusnya disiapkan dengan niat khusus. Bila seseorang menjadi guru karena secara ’’kebetulan’’, dia tidak akan bisa dan tak akan pernah pernah menjadi guru sebetul-betulnya. Sosok yang betul-betul guru adalah mereka yang tidak mempersoalkan sertifikasi, bahkan secara ekstrem antitunjangan sertifikasi. (10)

— Bramastia, mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pendidikan UNS  Surakarta
Wacana Suara Merdeka 8 Desember 2011