11 Desember 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Gerhana dan Letusan Gunung

Gerhana dan Letusan Gunung

SEBUAH peristiwa langit yang menakjubkan bakal terjadi pada Sabtu malam, 10 Desember 2011, yakni gerhana bulan total. Inilah gerhana bulan total yang bakal kita saksikan di Indonesia yang takkan terulang dalam dua tahun ke depan, tepatnya hingga gerhana bulan total 8 Oktober 2014. Hal itu juga gerhana bulan total terakhir yang seluruh tahapnya dapat kita saksikan secara utuh dari Indonesia dan takkan terulang lagi hingga 7 tahun ke depan, tepatnya hingga gerhana bulan total 27 Juli 2018. 

Gerhana akan berlangsung dalam waktu seragam di tiap titik di separo bola bumi yang berada dalam kondisi malam, meliputi seluruh Asia, Australia, Eropa, Afrika, dan Amerika Selatan. Namun hanya Asia Tenggara, Australia dan Asia timur yang berkesempatan menyaksikan seluruh tahapan gerhana dalam waktu sama. 

Di wilayah waktu Indonesia bagian barat (WIB), gerhana berlangsung pukul 18.35-00.28. Namun tahapan yang bisa kita lihat hanya pada pukul 19.46-23.16. Totalitas gerhana, yakni tertutupinya bulan sepenuhnya oleh bayang-bayang bumi, berlangsung 50 menit dari pukul 21.07 hingga 21.57. Inilah salah satu gerhana bulan total dengan durasi panjang, bahkan terpanjang setelah gerhana sejenis pada 16 Juni 2011. 

Bagi umat Islam, peristiwa gerhana adalah salah satu kesempatan langka yang di dalamnya sangat dianjurkan melaksanakan ibadah tersendiri, yakni shalat gerhana bulan. Tuntutan ibadah ini berawal dari peristiwa Senin pagi, 27 Januari 632 di kota suci Madinah al-Munawwarah. Saat itu terjadi peristiwa gerhana matahari cincin, yang tampak dari kota suci itu sebagai gerhana matahari sebagian. Pada saat yang sama Rasulullah SAW sedang dirundung duka seiring mangkatnya putra satu-satunya, yakni Ibrahim. 

Dalam kedukaannya, Rasulullah SAW bersabda jikalau gerhana hanyalah salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah SWT dan bukanlah penyebab atas hidup matinya seseorang. 
Ilmu pengetahuan terkini mendeduksi ada situasi kritis tatkala terjadi gerhana, baik bulan maupun matahari. Gerhana secara khusus atau peristiwa bulan baru dan bulan purnama secara umum menyebabkan baik bulan ataupun matahari mengenakan gaya pasang surut gravitasinya masing-masing, atau lebih populer dengan gaya tidal, ke bumi. 

Kita menyaksikannya secara kasat mata dalam wujud naik turunnya permukaan air laut atau pasang surut. Gerhana merupakan salah satu dari delapan faktor penyebab siklus pasang surut air laut. Namun tidak hanya air laut yang terpengaruh. Kerak bumi pun dapat mengalami pasang surut meskipun tingkatnya lebih rendah karena lebih kaku dibandingkan air laut. Pasang surut kerak bumi dapat berdampak lebih besar karena mampu meningkatkan tekanan yang menyebabkan terpecahnya segmen batuan lokal hingga luasan tertentu. 
Hal itu menyebabkan terlepasnya energi yang merambat ke segala arah sebagai gempa. 

Terkait Erupsi

Penyelidikan terkini memperlihatkan ada keterkaitan antara peristiwa gerhana dan  peningkatan kejadian gempa bumi beserta energi yang dilepaskannya ke berbagai penjuru di bumi, meskipun masih samar. Peningkatan ini spesifik untuk tiap kawasan. Sebagian kawasan cincin api Pasifik, khususnya Amerika Selatan dan Indonesia merupakan salah satu kawasan yang memiliki korelasi kuat itu. 

Gempa dan tsunami dahsyat yang menerjang sebagian Sumatera dan pesisir Samudera Hindia 26 Desember 2004, yang merenggut lebih dari 230 ribu nyawa, merupakan salah satu contoh kedekatan peristiwa gempa dengan bulan purnama. Adapun gempa Bantul (DIY) 27 Mei 2006 menunjukkan relasi gempa dengan bulan baru. 
Bulan purnama menjadi salah satu faktor yang diperhitungkan dalam letusan gunung berapi, khususnya jika fase letusan telah terjadi. Banyak vulkanolog berpendapat tentang terjadinya puncak letusan menjelang atau pada saat bulan purnama. 

Letusan Gunung Merapi 2010, yang puncaknya terjadi 3-5 November 2010, tepat menjelang purnama, memperlihatkan  hubungan itu dengan amat jelas. 
Apakah faktor semacam ini yang melatarbelakangi turunnya perintah shalat gerhana secara khusus atau puasa tengah bulan (ayyamul bidh) secara umum? Wallahua’lam. Biarlah itu menjadi porsi mufassirin modern untuk menyingkapnya. 

— Muh Ma’rufin Sudibyo, astronom, alumnus Teknik Fisika UGM, bertugas di Badan Hisab dan Rukyat Daerah (BHRD) Kebumen
Wacana Suara Merdeka 12 Desember 2011