11 Desember 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Beban Sejarah HAM

Beban Sejarah HAM

UNTUK kali ke-63, hari ini dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM), menandai penerimaan Universal Declaration of Human Rights (UDHR), dokumen internasional yang menjadi standar pencapaian yang berlaku untuk semua rakyat dan semua negara. Dokumen yang diterima 10 Desember 1948 ini telah menjadi fondasi bagi tatanan dunia baru guna menghapus sejarah kelam masa lalu yang penuh pelanggaran HAM.

Dengan mendasarkan pada prinsip persamaan (equality), martabat kemanusiaan (dignity), dan persaudaraan (brotherhood), deklarasi yang menegaskan pengakuan atas martabat manusia tersebut masih menjadi inspirasi penting bagi seluruh umat untuk menghormati hak asasi tiap individu.

Bagi Indonesia, momentum peringatan ini adalah saat tepat untuk merefleksi diri. Pada era reformasi kita meraih capaian positif dengan melahirkan beberapa perubahan penting yang kontributif bagi penghormatan dan perlindungan HAM. Dari amandemen UUD 1945, ratifikasi berbagai instrumen hukum internasional, hingga berbagai UU dan kebijakan berkaitan dengan topik itu. Termasuk pembentukan institusi nasional, yang semuanya menegaskan komitmen pemerintah.  

Namun kemajuan politik hukum tentang HAM ternyata tidak berkorelasi positif dengan penegakannya di lapangan.

Beberapa kasus pelanggaran berat HAM hingga hari ini tak juga jelas penanganannya. Kasus berat seperti Tragedi 27 Juli dan Mei 1998 yang sudah diselesaikan penyelidikannya oleh Komnas HAM masih mandek di Kejakgung. Adapun korban kerusuhan Mei 1998, meskipun sudah lebih dari 200 kali melakukan aksi di depan istana Presiden, hal itu tak mampu mengusik SBY untuk segera menuntaskan kasus itu.

Begitu pula penuntasan kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998, yang sudah dimandatkan DPR tak kunjung ditindaklanjuti Presiden dengan membentuk pengadilan HAM ad hoc. Pembayaran ganti rugi bagi korban lumpur Lapindo pun hingga hari ini masih terus menyisakan persoalan.

Belum lagi berbagai kasus kekerasan yang belakangan merebak, seperti yang berlanjut di Papua yang mengakibatkan korban jiwa, konflik horizontal antarkelompok masyarakat yang makin sering terjadi di berbagai tempat, unjuk rasa buruh menuntut perbaikan upah hingga ancaman teroris yang mengusik rasa aman masyarakat. Tak tertanganinya kasus-kasus tersebut secara tuntas makin menegaskan betapa lemahnya penegakan HAM.

Apa pun alasannya, pelanggaran HAM bukan perbuatan khilaf yang bisa begitu saja dimaafkan melainkan juga kejahatan yang harus dipertanggungjawabkan. Penegakan HAM merupakan salah satu kewajiban konstitusional [Pasal 28 I Ayat (4) UUD NRI 1945] pemerintah di samping kewajiban menghormati, melindungi, memajukan, dan memenuhi HAM tiap warga negara.

Internasionalisasi Isu

Sesungguhnya penegakan hukum HAM adalah bukti penghargaan dan perlindungan terhadap nilai kemanusiaan yang menjadi roh kedaulatan bangsa. Bila pemerintah terus melakukan pembiaran atas kejahatan HAM, hal itu makin mempertebal stigma yang masih kuat melekat.

Keadaan ini dikhawatirkan menjadi kendala bangsa ini dalam membangun diri di tengah pergaulan internasional mengingat salah satu prinsip utama yang mendasari hubungan antarnegara pada era global adalah penghormatan terhadap HAM.   

Kecenderungan global yang menempatkan HAM sebagai isu sentral dalam hubungan internasional mengakibatkan derajat strategis dan bobot politik persoalan itu makin besar dalam agenda politik luar negeri kita.

Bila persoalan itu tidak diselesaikan dengan cepat dan tepat, dikhawatirkan mengundang keterlibatan masyarakat internasional untuk mengambil alih penyelesaian melalui mekanisme sanksi internasional sebagaimana di Myanmar, Sudan, Libia, dan beberapa negara lain.

Tekanan internasional semacam ini pernah dialami Indonesia terkait dengan pelanggaran berat HAM di Timor Timur pascajajak pendapat 1999. Internasionalisasi isu HAM menunjukkan bahwa persoalan yang berkaitan dengan penegakan HAM di sebuah negara tidak dapat dilepaskan dari domain hukum internasional.

Yurisdiksi domestik tak lagi dapat dijadikan dalih untuk tidak menegakkan dan mengungkap terjadinya pelanggaran HAM di suatu negara.

Tidak ada pilihan bagi pemerintah Indonesia selain secara bersungguh-sungguh harus memperbaiki kinerja keberpihakannya pada penegakan HAM. Apa pun persoalannya harus segera diselesaikan sesuai norma hukum dengan mengedepankan perlindungan dan penghormatan pada HAM, demokrasi, keadilan, dan perdamaian agar kelak tidak menjadi beban sejarah bagi generasi mendatang.

Karena, seperti kata Hannah Arendt bahwa negeri yang tak mampu disinari oleh masa lalu hanya akan mengembara dalam kabut masa depan. (10)


— Dr Rahayu SH MHum, Ketua Kelompok Kajian HAM dan HHI Fakultas Hukum Undip
Wacana Suara Merdeka 10 Desember 2011