11 Desember 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Korupsi dari Sama Enaknya

Korupsi dari Sama Enaknya

”Murid dari negara korup lebih cenderung menerima perilaku suap karena menganggap norma sosial mereka membolehkan”
INGAR-BINGAR pemilihan pimpinan KPK baru saja kita lalui. Abraham Samad resmi terpilih sebagai ketua lembaga itu. Kini KPK makin disibukkan dengan perang melawan korupsi yang juga makin menggurita. Sejatinya, di negara kita korupsi bukan lagi milik politikus dan penguasa melainkan juga milik rakyat, termasuk dunia akademisi.
Pada pelatihan dosen misalnya, sering ada pengumuman bahwa pelatihan yang sedianya enam hari diperpendek menjadi lima hari dengan alasan efisiensi waktu, uang, dan tenaga.
Panitia kadang menambahkan,” Sama enaknya kan?” Panitia tidak capai, Bapak dan Ibu juga bisa segera bertemu keluarga.” Ya sama enaknya, siapa yang dirugikan?
Mengapa korupsi dipermasalahkan. Bukankah sama-sama enak dan nyaman?  Hasil penelitian Nekane Basabe dan Maria Ross (2005) ataupun Shu Li dan kawan-kawan (2006) menemukan bahwa budaya kolektivistik berkorelasi tinggi dengan perilaku korup. Pada budaya kolektivistik, orang cenderung melakukan nepotisme karena berprinsip sama-sama enak dan tahu sama tahu.
Korupsi dimulai dari sesuatu yang ”mulia”, ingin ”membantu” orang lain. Seorang pegawai perusahaan merasa sangat tidak nyaman saat tetangganya menitipkan anaknya untuk bekerja di tempatnya. Seorang anak buah merasa tidak nyaman saat pemimpinnya memberi uang hasil sisa proyek. Mau melapor? Kasihan pimpinan, aku toh tidak lebih suci ketimbang dia, aku toh tidak dirugikan, dan seterusnya.
Harmoni dalam budaya kolektivistik membuat orang lebih memikirkan bagaimana kelompoknya dipandang bagus oleh kelompok lain walaupun itu berarti mengorbankan kepentingan diri tiap anggotanya. Harmoni kelompok membentuk identitas kelompok lebih kuat ketimbang identitas pribadi.
Dengan ritualitas keagamaan yang tinggi, orang Indonesia tahu persis bahwa korupsi tidak baik. Tapi banyak orang Indonesia tetap korupsi karena ketika bersama dengan orang lain, keyakinan dirinya luntur, dikalahkan oleh kepentingan kelompok. Kesamaan dengan orang lain lebih penting ketimbang keyakinan pribadi.
Hal ini juga didukung sebuah model berpikir dari teori psikologi sosial. The Theory of Reasoned Action yang dikembangkan oleh  Icek Ajzen dan Martin Fishbein menunjukkan bahwa perilaku ditentukan oleh niat, sedangkan niat ditentukan oleh sikap terhadap perilaku dan norma subjektif.
Hasil penelitian Cameron dan kawan-kawan tahun 2005 terhadap 2.000 murid di Indonesia, Australia, India, dan Singapura menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan sikap para murid itu terhadap perilaku suap. Hal ini menunjukkan bahwa secara pribadi murid di negara itu sejatinya tidak menyetujui perilaku suap.
Nilai Kebenaran
Namun penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Barr dan kawan-kawan tahun 2006, berupa permainan untuk mengungkap perilaku suap mengungkap bahwa murid dari negara-negara korup lebih cenderung menerima perilaku suap karena menganggap norma sosial mereka membolehkan perilaku suap. Hasil dua penelitian ini menunjukkan bahwa generasi muda yang tidak setuju korupsi pun cenderung membiarkan korupsi saat mereka menganggap kelompok sosial mereka mengehendaki atau membiarkan korupsi terjadi.  
Budaya kolektivistik bukanlah budaya yang buruk karena membuat kita selalu eling lawan waspada terhadap lingkungan, serta mengajari untuk tidak adigang, adigung, lan adiguna. Namun, saat kita selalu membiarkan identitas diri tertutupi oleh kehendak kelompok maka kita akan mengalami disintegrasi moral. Kita tahu bahwa korupsi tidak baik, tetapi tetap melakukannya. Lantas apa yang bisa kita lakukan?
Untuk membuat berani menyuarakan apa yang ada di dalam hati, kita harus berani menjadi pemimpin, minimal bagi dirinya. Hal ini bisa kita latihkan pada anak-anak  sejak dini. Sejak kecil mereka kita ajarkan bahwa manusia tak selalu seragam, ada yang pandai dan ada yang kurang pandai, ada yang kaya dan ada yang kurang kaya.
Tetapi apa pun kondisi orang itu, tiap individu berhak memiliki pikiran dan keyakinan berbeda. Apa yang kita yakini benar perlu diungkapkan. Orang lain tidak harus selalu menerima ide kita tetapi kita pun harus menghormati perbedaan. Keberanian mengungkapkan kebenaran yang diyakini sejak dini akan menjadi benteng masing-masing individu untuk tidak ikut dalam gelombang besar kesesatan. (10)

— Margaretha Sih Setija Utami, dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang, bertugas sebagai United Board for Christian Higher Education in Asia (UBCHEA) Fellow di Baylor University Waco Texas Amerika Serikat
Wacana Suara Merdeka 5 Desember 2011