”Kerja sama antara KPK dan KP2KKN, termasuk LSM lainnya, akan menghasilkan pemberantasan korupsi yang ’’sesuatu banget’’
SEHARI sebelum proses penentuan pimpinan KPK 2011-2015, ada kejadian yang menurut penulis sangat luar biasa di Semarang. Sekretaris Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Eko Haryanto menyampaikan ke media bahwa M Jasin, salah satu pimpinan KPK, diduga melakukan pertemuan tertutup dengan pejabat utama di Kota Semarang. Pertemuan itu ditengarai berkaitan dengan kasus suap pengesahan RAPBD Kota Semarang 2012 (SM, 02/12/11).
Kepala Biro Humas KPK Johan Budi SP menegaskan tidak ada pertemuan tertutup. Diakui Jasin dua kali mengikuti pertemuan tapi dengan pejabat dan penyidik KPK. Jasin menganggap pernyataan Eko sebagai fitnah sehingga ia mengancam memolisikan Eko jika tak segera minta maaf. Esoknya, Ketua KP2KKN Mahfudz Ali melayangkan surat permohonan maaf. Eko juga mengaku keliru mencerna info yang diterimanya sehingga ia menyudutkan Jasin (SM, 06/12/11).
Bagi penulis, ancam dan maaf dalam peristiwa itu, meminjam ungkapan Syahrini adalah, ’’sesuatu banget’’, sesuatu hal yang luar biasa. Ada tiga titik keluarbiasaannya. Pertama; KPK dan KP2KKN adalah sama-sama lembaga pemberantas korupsi. Tak ada lembaga pemberantas korupsi di negeri ini yang memiliki wewenang menyadap dan merekam, selain KPK.
Adapun KP2KKN sesuai dengan rohnya adalah LSM yang bertugas melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Meski tak berwenang menyidik dan menangkap, lembaga itu memiliki hak melaporkan tipikor dan mengkritik kinerja penegak hukum yang lamban memberantas korupsi. Ketika KPK dan KP2KKN ’’saling serang’’ bukankah itu ’’sesuatu banget’’?
Kedua; dalam waktu yang cepat peristiwa ancam-maaf itu berubah jadi suasana maaf-maaf.
Begitulah sikap dewasa dari sesama pemberantas koruptor, tidak memupuk perseteruan. Pasalnya, ada persoalan yang lebih genting yang wajib cepat dirampungkan, yakni memberantas korupsi dan menjerakan koruptor. Kita berharap maaf antikorupsi antara pejabat pemberantas koruptor dan pegiat antikorupsi hadir untuk menghapuskan segala ketidaksepahaman.
Titik keluarbiasaan ketiga adalah masih pedulinya masyarakat terhadap KPK, dan dalam kerangka yang lebih khusus, masyarakat masih mau ikut serta menjaga integritas pimpinan lembaga pemberantas korupsi. Integritas adalah fondasi yang sangat penting bagi keberhasilan pemberantasan korupsi.
Serang Balik
Kita tentu masih ingat, Chandra M Hamzah, pimpinan KPK, yang hampir gagal menjaga integritasnya karena bertemu dengan Nazaruddin, walau kala itu Nazaruddin belum heboh dengan kasus suap wisma atlet, dibikin untuk bahan serangan balik oleh para koruptor dan para pendukungnya.
Publik itu tanpa diminta sekali pun selalu menjadi pendukung setia KPK, sepanjang lembaga pemberantas korupsi tersebut berjalan di jalur yang benar dan tidak negosiatif terhadap koruptor. Dalam kasus Cicak vs Buaya misalnya, sejuta facebooker sebagai representasi publik mendukung penuh KPK. Ketika Nazaruddin berkoar-koar menyerang KPK, publik juga yang pontang-panting melindungi KPK. Bukan DPR dan bukan pula Presiden SBY.
Dalam pandangan penulis, pernyataan dan kritik Eko mungkin lebih tepat diletakkan sebagai bentuk dukungan dan turut serta menjaga integritas pimpinan KPK. Apa jadinya kalau Eko tidak omong pada awal, dan pada waktu berikutnya isu pertemuan itu dijadikan bahan untuk menyerang balik pimpinan KPK pada akhir masa jabatannya? Kita bisa prediksi bahwa KPK akan bekerja ekstra untuk menangkal isu tersebut. Yang tentunya sedikit banyak akan menyita perhatian dan hal itu mengurangi konsentrasinya untuk memberantas korupsi.
Mungkin cara Eko menyampaikannya agak keliru sehingga menimbulkan rasa tak nyaman di pedalaman M Jasin. Sekarang Eko sudah mengakui kekeliruannya dan Jasin kita harapkan lapang hati memaafkannya. Seterusnya, fokus untuk saling berpadu memerangi korupsi perlu kembali dikoordinasikan. Publik yakin jalinan kerja sama antara KPK dan KP2KKN, termasuk LSM lainnya, akan menghasilkan pemberantasan korupsi yang ’’sesuatu banget’’. (10)
— Hifdzil Alim, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Wacana Suara Merdeka 8 Desember 2011