11 Desember 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Agama dalam Kependudukan

Agama dalam Kependudukan

SEJAK reformasi 1998, program kependudukan dan keluarga berencana (KB) tampak terabaikan karena perhatian masyarakat lebih tersita pada persoalan politik. Implikasinya laju pertumbuhan penduduk, dalam catatan sensus 2010 mencapai 240 juta jiwa. Indonesia menduduki urutan ke-4 dalam hal jumlah penduduk, setelah China (1,5 miliar), India (1,2 miliar), dan Amerika Serikat (300 juta jiwa). 

Angka pertumbuhan penduduk juga cukup tinggi, yaitu 1,49% yang artinya tiap tahun bertambah 3,5 juta jiwa. Implikasinya antara lain indeks pembangunan manusia yang semula berada di urutan 108, melorot ke peringkat 124 dari 187 negara. Hal itu diperburuk oleh tingginya jumlah penduduk miskin dan angka kematian ibu karena kehamilan atau melahirkan, tingginya angka kematian bayi dan balita, serta merebaknya berbagai penyakit menular, dan rendahnya kualitas pendidikan.

Karena itu, DPRD Jawa Tengah berinisiatif mengeluarkan perda tentang kependudukan dan KB. Menurut Wakil Ketua Dr Bambang Sadono, dengan bekal perda itu pemangku kepentingan memiliki kekuatan ’’memaksa’’ sekaligus untuk mengendalikan pertumbuhan dan meningkatkan kualitas penduduk. 

Namun, UU dan perda saja tidak cukup karena suatu kebijakan perlu mendapat dukungan masyarakat, lebih-lebih para tokoh agama.  Hal itu mendasarkan pada tahun 1970 ketika pemerintah meluncurkan program keluarga berencana (tandhim al-nasl) yang berhasil setelah ada pendekatan melalui keagamaan.

Sebagai wujud dari keprihatinan terhadap berbagai persoalan kependudukan dan keluarga berencana, mereka yang peduli pada 7 Desember 2011 membentuk Forum Antarumat Beragama Peduli Keluarga Sejahtera dan Kependudukan (Fapsedu), difasilitasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Jawa Tengah. Di tingkat pusat, forum serupa terbentuk sejak 17 Juni 2008 di Jakarta atas fasilitasi BKKBN Pusat.

Struktur kepengurusan forum itu terdiri atas dewan pembina, badan pelaksana, dan dua divisi, yaitu divisi kemitraan dan advokasi, serta divisi pemberdayaan dan pelayanan. Kpengurusannya melibatkan tokoh dan aktivis lintas agama, yang berkomitmen meletakkan visi terwujudnya masyarakat sejahtera berdasarkan nilai-nilai agama. 

Misinya adalah meningkatkan kualitas insan Indonesia yang memiliki kepribadian sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama serta meningkatkan kesadaran terhadap kependudukan demi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Dalam perspektif Islam, Alquran juga mengingatkan warga muslim untuk mengutamakan pembentukan keluarga berkualitas, dengan tidak tidak meninggalkan keluarga yang lemah. 

Kualitas Kehidupan

Mengapa harus melibatkan tokoh-tokoh agama? Selain karena fakta sejarah, dalam berbagai fakta tokoh agama terbukti berperan positif dalam peningkatan kualitas kependudukan dan keluarga berencana. Hal itu juga mendasarkan pada pendekatan antropologis bahwa masyarakat memandang keberadaan tokoh agama. 

Masyarakat membutuhkan pencerahan dan informasi yang jelas, bagaimana agama memberikan panduan dalam soal kependudukan dan keluarga berencana. Hingga saat ini sebagian masyarakat masih menganggap persoalan KB adalah wewenang dan hak prerogatif sehingga tidak boleh diganggu gugat.

Kuatnya pendapat bahwa banyak anak banyak rezeki saat ini juga perlu diletakkan secara proporsional dan rasional. Allah menciptakan hamba-Nya, pasti menyediakan rezekinya. Namun Allah juga memerintah hamba-Nya bekerja keras, dengan ilmu memadai agar rezeki lancar dan halal. Untuk bisa meraih rezeki dengan lancar dan berkah, perlu kerja keras, dilandasi pengetahuan atau keterampilan, kecerdasan dan ketakwaan kepada Allah.

Dalam konteks ini, Islam mewajibkan pemeluknya menuntut ilmu, baik ilmu dunia maupun akhirat, dilandasi iman dan takwa, serta semua itu memerlukan biaya, kesungguhan, dan kesabaran. Demikian juga, agama-agama yang ada di bumi, sangat peduli dan prihatin, bahwa orang yang beragama, apa pun agamanya, bisa dibanggakan bila memiliki kemampuan ilmu dan keterampilan. 

Keluarga adalah komunitas terkecil dalam masyarakat, dan apabila keluarga itu berkualitas maka dapat merencanakan hidup dan kehidupan yang lebih baik. (10) 

— Prof Dr H Ahmad Rofiq MA,  Ketua Badan Pelaksana Forum Antarumat Beragama Peduli Keluarga Sejahtera dan Kependudukan (Fapsedu) Jateng, Sekretaris Umum MUI Jateng
wacana Suara Merdeka 12 Desember 2012