19 September 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Menilai Moralitas Politisi

Menilai Moralitas Politisi

Oleh Ahmad Rafsanjani
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) genap berusia 65 tahun pada 29 Agustus kemarin. Alih-alih menunjukkan kematangan dan kearifan, secara institusi ataupun personalitas sebagian besar anggota lembaga legislasi ini justru memiliki kredibilitas dan tingkat kepercayaan publik yang dinilai rendah oleh masyarakat.

 
Di tengah kritik mengenai absensi dan dedikasi dalam bekerja untuk masyarakat, rapat pleno memperingati HUT ke-65 DPR hanya dihadiri oleh 337 dari 560 anggota DPR. Sebagian masyarakat mungkin semakin apatis, ketika wacana pembangunan gedung DPR baru senilai Rp 1,2 triliun mengemuka, juga inisiatif mengadakan rumah aspirasi per anggota dewan yang menggunakan dana negara tetap dilaksanakan.
Dalam beberapa hal, kehidupan politik di Indonesia merepresentasikan dengan jelas gagasan pragmatisme politik yang diperkenalkan oleh Niccolo Machiavelli lima abad lalu. Sebagai salah seorang pakar politik terkemuka, ia berjasa dalam membantu kita memahami mengapa politisi kerap lupa dengan janji-janjinya selama kampanye, atau mengapa politisi menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuannya.
Dalam buku Il Principe (1513), Machiavelli memperkenalkan konsepsi virtu: sebuah keutamaan, berbentuk kemampuan berpikir dan bertindak yang tepat, pada waktu yang tepat. Virtu milik Machiavelli ini tidak terikat dengan moral, melainkan kemampuan untuk bertindak demi tujuan-tujuan politik dan kekuasaan.
Rangkaian tindakan yang "harus" dilakukan inilah, meski secara moral salah, dinamakan sebagai necessita. Tindakan semisal mengenyampingkan kebutuhan masyarakat demi mengakomodasi kepentingan pribadi dan kelompok, penipuan publik, janji-janji kampanye yang tidak realistis, kebohongan sejarah, memperlakukan lawan-lawan politik secara represif, ataupun mereduksi paksa perbedaan adalah tindakan-tindakan necessita yang kerap digunakan, demi mendekatkan diri dengan tujuan politik, yakni berkuasa.
Dengan menjadikan pragmatisme politik sebagai nilai utama, hal pertama yang dipikirkan setiap orang ketika memasuki arena politik adalah necessita, melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan agar dapat berkuasa. Persoalan apakah tindakan itu benar secara moral, terkadang menjadi pertimbangan yang ke sekian. Perpaduan antara "keutamaan pragmatisme politik" dan hasrat berkuasa partai politik yang berlebihan adalah derivasi dari krisis kepercayaan masyarakat terhadap kehidupan politik di negeri ini. Politisi yang sibuk berkutat dengan kekuasaan dapat menciptakan masyarakat yang fatalistik; yang tidak peduli dan merasa tidak memiliki peran apa-apa terhadap arah kehidupan politik.
Kesadaran politisi
Jika kita menginginkan adanya gerakan moralitas baru yang lahir dari rahim kesadaran politisi dan partai politik, juga demi memerangi pragmatisme politik, tantangan apokaliptik terbesar adalah memperlihatkan perubahan empiris, dan nyata terlihat oleh masyarakat, dari produksi dan kebiasaan sosial yang berdimensi pragmatisme politik.
Karakteristik virtu akan termanifestasi pada neccesita dari politisi dan partai politik. Dari premis ini, kita dapat menilai apakah tindakan-tindakan yang ditampilkan merupakan terjemahan dari tujuan-tujuan tertinggi politik, yakni kesejahteraan dan keadilan masyarakat, atau lebih sebagai stimulan bagi pencapaian kekuasaan semata.
Hibrida terpenting dari be-kerjanya rasionalitas individu adalah mengenali diri sendiri. Dengan mengenali diri sendiri, politisi akan memiliki seperangkat keyakinan mengenai diri mereka sendiri dan dapat mengintegrasikan dimensi-dimensi kualitas dari diri mereka dengan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan tertinggi yang diakui masyarakat. Melalui pe-ngenalan diri yang baik, politisi semestinya dapat lebih mengontrol dan mengarahkan tingkah lakunya. Dalam kajian psikologi sosial, kualitas ini dinamakan regulasi diri, dengan aspek terpentingnya terdiri atas kesadaran diri dan bekerjanya konsep diri dengan konsisten.
Fungsi set mental ini pada hakikatnya akan mendorong individu untuk senantiasa membandingkan tindakan-tindakan dirinya dengan standar kebaikan moral tertentu yang berlaku di masyarakat. Suatu realitas yang membuat cita-cita perubahan tadi tidak akan berhasil tanpa adanya kesadaran diri dari individu-individu yang terlibat aktif dalam partai politik.
Kefasihan analitis
Karena kita hidup berdasarkan sistem politik saat "kekuatan seharusnya berada di tangan masyarakat", perubahan virtu, dan lebih dari itu adalah bekerjanya kedewasaan individu dalam dunia politik Indonesia, hanya dapat dievaluasi dari penilaian etis masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat harus terus didorong untuk memiliki kefasihan analitis dalam menilai perubahan-perubahan yang ditampilkan oleh politisi dan partai politik.
Di sisi lain, kelompok intelektual, yang lazimnya terbebas dari kepentingan politik tertentu, dapat menjadi minoritas kreatif yang mendorong dan menyebarluaskan pendidikan politik bagi masyarakat. Proses edukasi politik ini tidak saja mempersiapkan masyarakat untuk cerdas berpartisipasi pada pemilu, tetapi juga berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan pembangunan. Karena kebijakan pembangunan justru melulu berbicara mengenai kesejahteraan masyarakat, bukan soal kebaikan penguasa atau pemilik modal seperti yang kerap terjadi.
Bagaimanapun, ketidakpastian global sekarang memerlukan tipikal politisi dan pemimpin dengan moralitas politik yang baik. Terutama untuk menjamin bahwa kekuasaan dijalankan bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, melainkan untuk kesejahteraan masyarakat banyak.
Juga pemimpin yang berkomitmen untuk mendorong gerakan tranformasi (budaya), yang memuat pembaruan moral dan etika politisi, dilengkapi dengan revitalisasi (menyadari kebutuhan untuk berubah), memiliki abilitas dalam menginspirasi orang lain untuk berubah, dan melembagakan perubahan tersebut.***
Penulis, peminat masalah sosial dan politik.
Opini Pikiran Rakyat 20 September 2010