19 September 2010

» Home » Kompas » Kriminal dan Kebebasan Beragama

Kriminal dan Kebebasan Beragama

Kebebasan beragama atau berkeyakinan masih menemui kerikil untuk berjalan mulus di negeri kita yang asal-usulnya sudah beraneka ragam. Itu karena tindak-tanduk suatu golongan tanpa tenggang rasa atau intoleran terhadap golongan lain maupun praktik diskriminatif oleh negara tak sepenuhnya terhapus.
Persoalan itu bukan saja dapat mendorong timbulnya pelanggaran hak atas kebebasan yang bertalian dengan aktivitas keagamaan atau keyakinan orang atau golongan, tetapi juga suatu tindak kriminal.


Negara, baik melalui pemerintah maupun melalui aparat kepolisian, bukan saja mengemban kewajiban untuk menghormati (to respect), tetapi juga melindungi (to protect) hak atas kebebasan bagi setiap orang, terutama kebebasan dasar (fundamental freedom) seperti kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Dengan kewajiban itu, negara tak boleh campur tangan terhadap kebebasan setiap orang dalam beragama atau berkeyakinan dan menjalankan ibadah. Negara juga berkewajiban menghormati orang yang melaksanakan ibadah secara kolektif dengan damai.
Bagaimana pelanggaran berlangsung?
Lalai dan abai
Pertama, ketika campur tangan pemerintah atau polisi berupa tindakan sewenang-wenang berlangsung terhadap kegiatan beribadah, maka saat itulah terjadi pelanggaran.
Kedua, pelanggaran pasti lebih kokoh jika kebebasan beragama atau berkeyakinan dipecundangi oleh hukum atau UU seperti UU No 1/PNPS/1965 yang dikeluarkan rezim otoriter. Apalagi jika undang-undang ini justru memecundangi konstitusi atau UUD 1945 yang menghormati kebebasan beribadah secara damai.
Ketiga, UU itu juga dapat menjadi sumber kebijakan diskriminatif dalam pembangunan atau pendirian rumah ibadah bagi golongan minoritas sehingga tak heran jika mereka pun menjadikan rumah pribadi atau ruko sebagai rumah ibadah. Kebijakan dan praktik pemerintah yang berkarakter diskriminatif atas suatu golongan agama atau keyakinan dapat dituduhkan sebagai pelanggaran terhadap kebebasan beribadah.
Keempat, tentu saja aparat kepolisian wajib melindungi suatu golongan menjalankan ibadah secara kolektif secara damai agar tidak diganggu atau dirusak oleh golongan lain yang tak bertenggang rasa. Jika keberadaan polisi tak mencegah gangguan atau perusakan, maka polisi dapat dituduh melanggar kebebasan beribadah: lalai atau abai.
Pemerintah, terutama pemerintah daerah—provinsi, kabupaten, dan kota—wajib menghormati dan melindungi orang beribadah secara kolektif dan damai. Sebaliknya, menghapus praktik diskriminasi.
Memang, perilaku dan praktik tak bertenggang rasa dan diskriminatif bersumber dari pandangan sempit dan eksklusif mengenai golongan sehingga dapat menimbulkan sikap penolakan atau kebencian atas golongan lain. Dan pada umumnya, golongan minoritas menjadi sasaran praktik penolakan dan kebencian.
Secara ekstrem, seolah-olah hanya ada satu golongan saja di muka Bumi. Sebaliknya, golongan lain diabaikan hanya karena mereka berlainan warna kulit, pandangan, agama atau keyakinan, dan bukan karena perbuatan buruk atau kesalahan yang dilakukan. Inilah diskriminasi dan intoleransi yang terjadi dalam realitas keberagaman.
Eksklusivisme, penolakan atau kebencian atas dasar perbedaan ras atau agama, bisa memicu seseorang atau segolongan orang untuk bertindak brutal atas golongan lain yang tak bersalah. Ekspresi eksklusivisme itu bisa dimulai dengan propaganda yang meneriakkan yel-yel kebencian atas suatu golongan, kemudian disusul dengan aksi mengganggu dan intimidasi aktivitas beribadah, perusakan harta benda, bahkan melakukan penganiayaan, atau bentuk perbuatan keji lainnya.
Penganiayaan seperti pemukulan dan penusukan atas orang dari suatu golongan agama atau keyakinan jelas sebagai tindakan yang merusak keutuhan tubuh/ pribadi orang (personal integrity) dan termasuk sebagai perbuatan kriminal. Norma ini berlaku dalam semua masyarakat beradab. Namun, kejadian seperti itu tak pernah sebagai ”kriminal murni” seperti mencuri. Apalagi jika dilatari dengan propaganda dengan menyebarkan kebencian.
Setiap perbuatan kriminal harus dipertanggungjawabkan secara pribadi sesuai norma hukum yang berlaku. Polisi sebagai penegak hukum wajib memproses hukum mereka yang disangka berbuat kriminal. Dalam menjalankan fungsi dan tugas ini polisi tak boleh pandang bulu. Tak hanya itu, polisi juga tak boleh dikesankan kecut atau tunduk kepada segelintir orang sehingga merusak citra sebagai pengayom masyarakat, dengan membiarkan orang yang bertanggung jawab justru bebas berkeliaran untuk mengulangi perbuatannya tanpa pertanggungjawaban hukum.
HENDARDI  Ketua Badan Pengurus Setara Institute
Opini KOmpas 20 September 2010