19 September 2010

» Home » Suara Merdeka » Penanganan Partisipatif Sanitasi

Penanganan Partisipatif Sanitasi

PEMKOT Semarang di bawah Wali Kota Soemarmo HS dan Wakil Wali Kota Hendi Hendrar Prihadi tampak serius berbenah. Satu langkah pembenahan yang mulai dilakukan dan menarik diapresiasi adalah perbaikan saluran drainase kota.

Pembenahan drainase ini tentu saja menarik mengingat masalah rob dan banjir sesungguhnya disebabkan karena buruknya drainase, baik drainase mikro (saluran di lingkungan perkampung-an/perumahan) maupun makro (sungai).


Jika kita lihat kondisi drainase saat ini dapat dikatakan hampir 100 persen menjadi jalur pembuangan segala jenis limbah. Mulai limbah padat (sampah) maupun limbah cair (tinja, air buangan mandi, cuci dan sebagainya). Akibatnya adalah drainase mikro dan makro mengalami pendangkalan (sedimentasi) dan pencemaran dalam tingkatan parah.

Jika dirunut akar masalahnya, ada dua hal mendasar yang memperparah kondisi drainase yang menyebabkan banjir dan rob di Kota Semarang. Pertama; menyangkut kesadaran masyarakat akan pentingnya drainase, dan kedua; tidak tegasnya sikap Pemkot terhadap penyalahgunaan drainase.

Menyangkut kesadaran warga, sedikit banyak terkait dengan budaya setempat yang belum sepenuhnya bisa dihilangkan. Misalnya kebiasaan buang air besar (BAB) dan membuang sampah di drainase lingkungan ataupun sungai. Pemandangan ini masih bisa dengan mudah ditemukan di hampir seluruh kawasan perkampungan yang memiliki drainase lingkungan.

Ketidaktegasan Pemkot terlihat dari dibiarkannya sebagianmasyarakat menutup permanen saluran drainase di depan rumah atau tempat usahanya. Di banyak wilayah kita bisa melihat banyaknya bangunan permanen di atas drainase. Ketidaktegasan Pemkot alah satunya karena belum adanya perda yang khusus mengatur drainase.

Dalam kondisi seperti itu, tak aneh jika Semarang kemudian identik sebagai kota genangan, baik yang disebabkan banjir ataupun rob. Data terakhir menyebutkan, sekarang 70% wajah kota bagian bawah dilanda genangan air. Dampak susulan drainase buruk selain banjir dan rob adalah lingkungan menjadi kumuh. Kekumuhan tidak saja memperburuk wajah kota, namun juga menyebabkan sanitasi buruk dan timbulnya penyakit. Bahkan seperti diberitakan media beberapa waktu lalu, saat ini Kota Semarang berada di peringkat kedua di Jawa Tengah untuk kategori kota dengan sanitasi terburuk.

Hubungan kausalitas antara genangan rob dan banjir (sebagai akibat drainase buruk) dengan sanitasi buruk dapat dilihat dari pemetaan wilayah risiko sanitasi yang disusun oleh Kelompok Kerja (Pokja) Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) Kota Semarang. Hasil pemetaan menyebutkan, dari 53 kelurahan yang menjadi sampel pemetaan, 13 kelurahan di antaranya berisiko tinggi sanitasi atau sanitasinya sudah di atas ambang batas alias gawat.
Pelibatan Partisipasi Ke-13 kelurahan itu berada di Kecamatan Semarang Tengah, Semarang Utara, Genuk, Gayamsari ,dan Kecamatan Tugu. Kecamatan itu selama ini identik sebagai wilayah banjir dan rob. Pemetaan area berisiko sanitasi itu didasarkan pada indikator akses pada jamban, air bersih, jumlah warga miskin, dan kepadatan penduduk, serta persepsi SKPD/dinas anggota Pokja AMPL. 

Sanitasi buruk kemudian juga berbanding lurus dengan penyakit yang timbul. Hal ini juga terjadi di wilayah-wilayah langganan banjir. Jumlah penderita diare terbanyak tahun 2009 di Kota Semarang banyak terdapat di puskesmas di wilayah banjir tersebut, yaitu Puskemas Kedungmundu 2.028 penderita, Puskesmas Bandarharjo (1.986), Genuk (1.456) serta Puskesmas Bangetayu 1.300 penderita.

Tampak jelas sudah rentetan dampak dari akar persoalan buruknya drainase. Sekarang persoalannya adalah, apa langkah yang harus diambil untuk meminimalisasi atau jika mungkin menghilangkan genangan. Jika persoalannya adalah kesadaran warga, maka mau tak mau mereka harus dilibatkan dalam pengelolaan drainase.

Pelibatan partisipasi bisa dimulai dari upaya perbaikan dari kondisi sekarang maupun pengelolaan dan pemeliharaan pada masa mendatang. Ini memang kerja tak mudah, butuh waktu panjang dan dana besar. Tapi harus dimulai sejak sekarang. Minimal dalam 5 tahun pertama pemerintahan Soemarmo-Hendi mengingat hal itu menjadi janji keduanya ketika kampanye. Alangkah bijak bila tidak sekedar menagih janji tapi terlibat dan berpartisipasi di dalamnya. (10)

— Yudi Wijanarko, Fasilitator Kota Semarang pada Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP)
Wacana Suara MErdeka 20 September 2010