19 September 2010

» Home » Suara Merdeka » Belum Final, Rabu Kelabu Persibat

Belum Final, Rabu Kelabu Persibat

Dengan memperhatikan sumber pendapatan asli, didukung potensi sumber daya alam, masih ada celah bagi suatu daerah mengalokasikan dana APBD untuk olahraga

RABU, 15 September lalu menjadi hari kelabu bagi Persibat Batang. Pada hari itu, ketua umum klub tersebut, yang juga Bupati Batang H Bambang Bintoro, dalam pertemuan pengurus mengumumkan bahwa sebagai tim sepak bola kebanggaan warga Kabupaten Batang,  Persibat memutuskan untuk mundur dari kompetisi Liga Divisi I PSSI Tahun 2010.


Pertimbangan mundurnya tim yang dibanggakan oleh Roban Mania (suporter fanatik Persibat) itu adalah karena ketidakmampuan pemkab untuk membiayai kesebelasan yang juga berjuluk Banteng Alas Roban. Dana yang dianggarkan untuk mengikuti Kompetisi Liga Indonesia 2010 Rp 1 miliar bersumber dari APBD akan digunakan untuk membiayai pembangunan.

Ironisnya, keputusan itu dikeluarkan pada saat tim Persibat dalam kondisi sangat siap dan fit. Bahkan menurut pelatih Edy Sutrisno, beberapa pemain sudah menandatangani kontrak. Tentu bagi penggemar Persibat, kabar ini sangat mengejutkan sekaligus mengecewakan. Mengapa?

Bila ditelisik ke belakang, perjuangan Persibat bertengger di Divisi I Nasional  tidaklah enteng, melalui proses jatuh bangun, merangkak dari divisi paling bawah. Animo besar penonton  dan juga penggemar terlihat pada setiap pertandingan yang digelar di Stadion GOR Sarengat Batang.

Hampir dipastikan stadion akan dipenuhi oleh Roban Mania dan Suporter Rewo-rewo, bahkan warga dari kota tetangga Pekalongan, Kajen, ataupun Kendal.

Bahkan tidak jarang, Roban Mania ngeluruk ke luar kota tempat Persibat bertanding. Gambaran tersebut tentunya bisa dikatakan sebagai dukungan imaterial yang luar biasa bagi sebuah tim sepak bola. Pada sisi lain, kesiapan tim sendiri sudah matang dan siap untuk turun lapangan dengan tekad memberikan hasil terbaik untuk dipersembahkan bagi masyarakat Batang dan sekitarnya.

Kebanggaan yang hendak dicapai ini menjadi sebuah tekad, mengingat dari faktor historis, Batang pernah mencatat kebanggaan dengan tercatatnya salah seorang warga Batang, yaitu Sarengat sebagai atlet nasional yang berprestasi di tingkat internasional.

Namun dengan keputusan yang mengejutkan tersebut, seakan-akan jejak untuk menapaki prestasi Sarengat menjadi redup. Apa daya. Semua berbenturan dengan dana. Organisasi tanpa didukung dana, ibarat mobil tanpa bensin. Ini adalah kenyataan pahit bagi Persibat dan seluruh penggemar sepak bola bola di Batang.

Keputusan hari Rabu tersebut tidaklah salah karena bagaimana pun kepentingan pembangunan bagi masyarakat Kabupaten Batang juga harus diperhatikan. Bagi pengurus Persibat, sebelum mengambil keputusan pahit tersebut, tentulah sudah mengkajinya lewat berbagai pertimbangan.

Jadi, meskipun sudah menjadi sebuah keputusan, bila ada solusi lain berkaitan dengan pendanaan secara mandiri, tetap bisa teratasi, sebelum pengurus melayangkan pemberitahuan secara resmi ke PSSI: masih ada celah bagi Persibat berlaga di Liga Divisi I. Namun hal itu sepertinya pungguk merindukan bulan.
Masa Transisi Berpijak pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, sebenarnya daerah memiliki kesempatan yang luas dalam mengembangkan pola pembangunan dengan memperhatikan kearifan lokal.

Artinya dengan memperhatikan sumber pendapatan asli yang ada, dan didukung dengan potensi sumber daya yang maksimal, tidak tertutup celah bagi suatu daerah untuk tetap mengalokasikan APBD pada bidang olahraga, dalam konteks ini sepak bola.

Hal ini didasari regulasi berkaitan dengan dana APBD untuk olahraga masih kontroversi. Kapan batas akhir penggunaan dana tersebut belum diatur, sehingga sekarang masih dalam masa transisi, sebagaimana yang dikatakan Felix Wanggai, Staf Ahli Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah.

Sebagai gambaran, dari 18 klub yang ikut kompetisi Liga Indonesia, baru 3 klub yang bisa mandiri dan mengatasi biaya sendiri, yaitu Persib Bandung, Arema Malang, dan Pelita Jaya. Artinya, klub lain masih bertumpu pada subsidi APBD.    

Solusi ke depan, pengurus Persibat harus mampu memformulasikan penggalian dana bukan bertumpu pada APBD saja. Memang tidaklah mudah, menumpukan sumber dana dari warga, penggemar, ataupun fans, bahkan donatur. Dibutuhkan kepiawaian pengelolaan dan aspek managerial yang mumpuni. Namun kita optimistis, suatu saat pasti ada warga Batang yang mampu melakukannya. Semoga. (10)  
  
— Herie Purwanto, fans Persibat, tinggal di Batang
Wacana Suara Merdeka 20 September 2010