19 September 2010

» Home » Suara Merdeka » Tiga Jembatan Dialog Teologi

Tiga Jembatan Dialog Teologi

BAGAIMANA membangun dialog kehidupan dalam masyarakat dengan latar belakang identitas yang beragam? Itulah persoalan pelik yang kerap menghinggapi masyarakat modern. Dengan kata lain, problem mengelola kemajemukan sebagai modal sosial itulah yang seringkali mendapatkan tantangan. 

Konflik yang melibatkan jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Ciketing, Bekasi, Jabar,  adalah realitas yang menantang itu. Penusukan terhadap anggota Majelis HKBP Hasian Sihombing dan pemukulan terhadap Pdt Luspida Simanjuntak menjadi cermin betapa rapuhnya bangunan kerukunan itu.


Banyak yang mengatakan bahwa kasus ini sama sekali tidak terkait dengan ajaran salah satu agama. Artinya, ini persoalan kriminal murni. Argumen ini yang juga dikemukakan Kapolri Bambang Hendarso Danuri saat mengomentari kasus ini pada kali pertama peristiwa ini mencuat. Tapi, akhir-akhir ini, keterlibatan oknum tertentu dari salah satu kelompok masyarakat ternyata bukan hanya dugaan.

Untuk mencapai cita manusia yang menghargai sesamanya, maka beberapa cara dikembangkan. Salah satunya dipaparkan oleh Paul F Knitter dalam pengantar buku The Myth of Christian Uniqueness.

Knitter mengatakan bahwa ada tiga jembatan yang dapat menghubungkan memori umat beragama ke dalam satu sikap yang mendukung teologi pluralis di antara umat beragama. Pertama; jembatan historis-kultural. Dengan cara ini, titik tekan dari pembahasan mengenai agama-agama adalah sifat kebenarannya yang relatif. Dengan melihat bahwa semua agama hidup dalam sebuah keterbatasan budaya, maka ia tidak bisa menjadi standar untuk melihat kebenaran agama lain. 

Kedua; jembatan teologis-mistis. Ini diartikan bahwa isi pengalaman keagamaan yang otentik itu tidak terbatas, dan melampaui segala bentuk untuk menggapainya. Misteri Allah yang tidak terbatas itu menuntut pluralisme keagamaan dan melarang agama manapun memiliki firman satu-satunya atau firman terakhir. Wilfred Cantwell Smith, salah seorang pakar studi agama menawarkan upaya untuk melakukan debibliolatry.
 
Ketiga; jembatan etis-praktis. Motivasi dari pendekatan pluralistis bukanlah kesadaran historis, kepercayaan mistis, tetapi perjumpaan dengan penderitaan-penderitaan umat manusia dan kebutuhan untuk mengakhiri keadaan yang membangkitkan kemarahan itu. Kebutuhan mempromosikan keadilan, menjadi kebutuhan umat beragama terhadap kepercayaan lain. Ini merupakan awal dari teologi pembebasan. Kata Knitter dalam One Earth Many Religions, kehidupan yang pluralistik bisa menyandarkan diri pada keprihatinan bersama atau world suffering. 

Berbenturan

Fritjof Schuon, merupakan orang modern yang paling canggih dalam memaparkan mengenai argumentasi kesatuan agama-agama (The Transcendent Unity of Religion). Perbedaan yang utama, kata Schuon dalam agama bukanlah terletak dalam ritus atau upacaranya. Juga bukan dalam hal yang bersifat filsafat ataupun doktrinasi. Yang menonjol dalam perbedaan agama ini adalah beban sejarah yang ditanggung oleh pemeluknya.

Mengapa paparan tentang pentingnya dialog ini sangat urgen?  Meski bukan satu-satunya faktor pemicu tindakan anarkisme, agama tetap saja menjadi alat picu yang kuat menimbulkan kekerasan. Jika kita bertanya kepada mereka yang berhasil mencegah jemaat HKBP beribadah, tentu saja itu adalah bentuk keberhasilan dakwah. 

Semangat jihad dan dakwah yang salah kaprah ini, sudah pasti sangat berbenturan dengan hak orang lain menjalankan keyakinan agamanya. Kegagalan dalam menyemai kultur toleransi ini paling tidak disebabkan oleh dua hal.

Pertama; dalam konteks struktural, sistem politik negara kita yang diskriminatif telah mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan golongan etnis, agama, dan kelas sosial lainnya. Contohnya, SKB 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah dan pengakuan pemerintah terhadap enam agama resmi. Kedua; dalam konteks kultural agen untuk menyosialisasikan gagasan multikultural tidak berhasil menjalankan fungsinya. Keluarga, lembaga agama, dan lembaga pendidikan gagal menumbuhkan sikap toleran-inklusif serta tidak mampu mengajarkan hidup bersama secara harmonis dalam masyarakat plural. (10)

— Tedi Kholiludin, mahasiswa Program Pascasarjana Sosiologi Agama UKSW Salatiga
Wacana Suara Merdeka 20 September 2010