19 Mei 2010

» Home » Kompas » Urgen, Konsolidasi Kebangsaan!

Urgen, Konsolidasi Kebangsaan!

Tidak sekadar diperingati secara seremonial, momentum historis Kebangkitan Nasional 20 Mei patut diperdalam maknanya dengan refleksi kritis-obyektif dan visioner terhadap realitas keindonesiaan kontemporer.
Refleksi kritis disertai pertimbangan langkah strategis perlu dilakukan karena, setelah 65 tahun merdeka, kondisi Indonesia masih amat jauh dari tujuan nasionalnya. Gerak maju kita bahkan tertinggal negara tetangga yang merdeka belakangan, seperti Malaysia dan Vietnam. Pembangunan multi-aspek bangsa yang mengalami turbulensi berat akibat krisis ekonomi beberapa tahun lampau masih tersendat, bahkan ada aspek yang tampak mengalami stagnasi dan disorientasi karena dililit persoalan multidimensional.
Refleksi historis
Pasca-Kebangkitan Nasional 1908, spirit persatuan dan kesatuan bangsa mengalami ”periode emas” karena seluruh anak bangsa digerakkan oleh motivasi nasionalis-patriotis yang sama. Spirit itu memicu gerakan pembebasan dan menggelindingkan bola salju perjuangan semesta Indonesia menuju kemerdekaan, kemudian menemukan ”titik api”-nya tatkala 28 Oktober 1928 Sumpah Pemuda dikumandangkan. Semangat ”kekitaan” berhasil melebur hasrat ”keakuan” dan ”kekamian”, jiwa perjuangan dan persatuan-kesatuan bertambah kokoh-kuat dan berkulminasi pada 17 Agustus 1945.
Namun, pada perjalanan selanjutnya, Pancasila yang diidealkan sebagai common platform RI mulai mengalami ujian serius. Dari era Orde Lama yang secara eksperimental menerapkan Demokrasi Terpimpin dan memaksakan Nasakomisasi, lalu pada era Orde Baru terjadi banyak deviasi implementasi Pancasila karena kepentingan kekuasaan yang sekaligus membelenggu demokrasi. Memasuki era Reformasi dengan menggelar demokratisasi (liberal) disertai kebebasan yang nyaris tanpa batas telah membawa Indonesia ke dalam situasi yang sarat kerawanan.

 

Reformasi tidak mengantarkan kita pada perbaikan, tetapi malah menambah berbagai persoalan mendasar dari perspektif keindonesiaan, seperti lunturnya jati diri bangsa, memudarnya wawasan kebangsaan, terpangkasnya kedaulatan negara-bangsa oleh kekuatan asing yang masuk melalui tangan-tangan neolib dan kapitalisme, serta tergerusnya nilai-nilai luhur budaya bangsa akibat serbuan globalisasi yang belum dikanalisasi dengan baik dan efektif.
Tali-temali persoalan yang membelit tubuh bangsa ini terasa kian sulit diurai dengan rapuhnya kepemimpinan dan krisis keteladanan pada setiap level dan segmen masyarakat serta rendahnya daya kendali pemerintah terhadap aneka problematika. Kondisi ini berpotensi menyesatkan bangsa dalam labirin yang membingungkan—tidak tahu ada di mana, hendak ke mana, dan dengan cara apa—yang kian diruwetkan oleh beragam kepentingan pribadi atau golongan yang bersifat jangka pendek.
Konsolidasi kebangsaan
Menilik kompleksitas persoalan aktual tersebut, betapa urgen melakukan evaluasi dan reorientasi kehidupan bangsa dengan melakukan ”konsolidasi kebangsaan” sebagai berikut.
Pertama, tinjau ulang UUD 1945 hasil amandemen. Pekerjaan akbar ini tak dapat dilakukan secara instan, butuh waktu serta pelibatan masyarakat seluas-luasnya. Hal fundamental-esensial adalah mengembalikan konstitusi kita pada ”roh” mukadimahnya yang secara legal-konstitusional tetap berlaku dan seharusnya dipedomani. Pancasila harus diyakini sebagai pilihan terbaik untuk bangsa Indonesia.
Mengutip Franz Magnis-Suseno, Pancasila merupakan ”masalah kunci”, yakni persoalan pokok yang harus ”dibereskan” sehingga menjadi ideologi payung bagi semua, dan sekaligus sebagai ”kunci masalah”, pintu pembuka solusi untuk beraneka masalah kebangsaan. Kita perlu meremajakan kembali nasionalisme dengan formula utama memerangi kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan.
Kedua, mengangkat budaya sebagai ”leading sector” pembangunan nasional. Keterpurukan bangsa sama sekali bukan karena kurang cerdasnya anak-anak bangsa, terutama para pemimpinnya, melainkan karena buruknya karakter dan rapuhnya jati diri bangsa. Penempatan budaya sebagai leading sector dan ”jiwa” pembangunan nasional akan bermuara pada penguatan karakter dan jati diri bangsa. Karena itu, mutlak dilakukan reformasi sistem pendidikan nasional (formal atau nonformal) dengan mengapresiasi nilai-nilai keindonesiaan selain membuka lebar pintu bagi penyerapan ilmu pengetahuan dari luar.
Ketiga, kanalisasi arus globalisasi. Siapa pun tidak akan mampu membendung arus globalisasi, tetapi memasuki era global tanpa persiapan memadai akan menempatkan Indonesia pada pihak yang kalah, bahkan dapat bermuara pada perpecahan bangsa (berkaca pada pengalaman Rusia dan Yugoslavia). Oleh karenanya, kanalisasi melalui regulasi, renegosiasi, restrukturisasi, dan deliberalisasi secara terukur dan terkontrol merupakan langkah penting yang tidak bisa ditunda. Seiring itu, upaya penguatan otoritas negara yang dalam keadaan lemah karena tersandera otoritas politik dan ekonomi global mesti dilakukan pula. Perlu kepemimpinan nasional yang kuat, tegas, dan berani untuk menganalisasi kepentingan asing.
Keempat, reformasi parpol dan birokrasi. Untuk menciptakan good governance dan mewujudkan kepemimpinan yang kuat, pola perekrutan dan pembinaan kader pemimpin harus dibenahi secara serius melalui reformasi parpol dan birokrasi sebagai wadah pembentukan (formasi) kader pemimpin. Dalam konteks ini, reformasi sektor hukum harus jadi ujung tombak. Langkah strategis di atas perlu dikampanyekan secara luas dan serentak di seluruh Tanah Air oleh pemerintah dengan melibatkan berbagai komponen bangsa, termasuk LSM yang peduli masalah kebangsaan. Kampanye saja tak cukup, bahkan baru merupakan langkah pertama. Perlu langkah-langkah konkret-aktual pada tataran implementatif yang mensyaratkan keberanian, ketegasan, konsistensi, kecerdasan, kebijaksanaan, dan kebesaran jiwa para pemimpin.
Kiki Syahnakri Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI AD; Ketua I Yayasan Jati Diri Bangsa

Opini Kompas 20 Mei 2010