19 Mei 2010

» Home » Jawa Pos » Keniscayaan Islah Politisi NU

Keniscayaan Islah Politisi NU

SAYA sangat bahagia dengan dihidupkannya lagi upaya islah di PKB dan partai-partai lain yang masih terkait erat dengan NU, seperti PKNU (Jawa Pos, 17/5). Semoga islah itu tak hanya terjadi di lingkungan NU, melainkan juga menyentuh rumah besar umat bernama Nahdlatul Ulama.

Dalam konteks ke-NU-an mutakhir (termasuk di dalamnya PKB, PKNU, dan NU sebagai organisasi), islah sangat dibutuhkan. Sebab, PKB dan PKNU sebagai partai yang notabene digerakkan oleh tokoh-tokoh NU sarat dengan suasana konflik yang membuat kedua partai tersebut seperti macan ompong.

Bahkan, suasana konflik belakangan juga terjadi di NU sebagai organisasi, terutama pascamuktamar ke-32. Perbedaan-perbedaan yang menggantung hingga hari ini tidak jarang disikapi dengan cara-cara politis, seperti upaya pelaksanaan muktamar luar biasa (MLB), penolakan terhadap pengurus besar NU (PB NU), dan pembekuan.

Islah Menyeluruh

Semua keadaan yang dijelaskan sebelumnya membutuhkan islah secara menyeluruh. Setidak-tidaknya, islah menyeluruh harus dilakukan dalam tiga hal sebagaimana berikut. Pertama, islah dalam konteks kekuatan politik NU, seperti PKB dan PKNU. Diakui atau tidak, PKB dan PKNU tetap dianggap publik sebagai partai orang-orang NU. Sebab, dua partai tersebut didirikan dan dibesarkan oleh tokoh-tokoh NU.

Sangat disayangkan, PKB sebagai rumah politik NU mati-hidup dengan berkonflik dan sangat tidak kondusif. Perpecahan pun terjadi di mana-mana. Hingga akhirnya, tokoh-tokoh politik NU membangun rumah politik baru yang dikenal dengan nama PKNU.

Akibat dari semua yang sudah terjadi sama-sama bisa dilihat saat ini. Perolehan suara PKB merosot tajam dalam Pemilu 2009 dan saat ini hanya menjadi partai "benalu" yang tak sanggup hidup di luar pemerintahan. PKNU mengalami nasib yang jauh lebih mengenaskan.

Semua akibat buruk rusaknya rumah politik NU tidak berhenti sampai di situ. Sebab, penghuni rumah rusak itu secara perlahan mulai kembali ke lingkungan NU sebagai organisasi keagamaan yang asri dan tenang.

Mungkin mereka datang ke NU dengan maksud baik (tidak bermaksud merusak NU dengan cara-cara yang bersifat politis). Namun demikian, mereka kembali ke NU dengan membawa serta kebiasaan berpolitik yang ada (termasuk, berpolitik di rumah rusak). Hingga akhirnya, NU yang asri pun mulai bergejolak dan menyikapi dengan cara-cara politis.

Singkat kata, rusaknya rumah politik NU berdampak buruk kepada NU sebagai organisasi keagamaan. Akibatnya, NU mengalami suasana bernuansa konflik seperti sekarang.

Karena itu, islah di rumah politik NU menjadi harga mati ke depan. Tokoh-tokoh politik NU harus menyatukan barisan dan berada dalam satu rumah, entah itu PKB, PKNU, ataupun partai lain. Dengan demikian, kekuatan poplitik NU tetap solid. Yang tak kalah penting, suasana dalam NU (sebagai ormas keagamaan) tetap tenang, asri, dan jauh dari hiruk pikuk perpolitikan.

Kedua, islah dalam konteks NU sebagai jamiah (organisasi). NU hadir dengan membawa cita-cita moral yang sangat luhur, yaitu memberdayakan umat melalui keteladanan para ulama dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka, yang pertama dan terutama bagi NU adalah umat dan bangsa.

Karena itu, islah menjadi harga mati bagi perjuangan NU ke depan. Tepatnya islah dalam rangka mengembalikan NU kepada cita-cita dan visi perjuangannya, yakni memberdayakan kehidupan umat dan menjaga keutuhan bangsa.

Pada umumnya, warga NU berada di pedesaan dan pedalaman. Adalah kewajiban perjuangan NU selalu hadir bersama mereka dan menghadapi persoalan-persoalan riil hingga mereka terberdayakan secara ekonomi dan tercerahkan secara kebangsaan.

Ketiga, islah dalam konteks NU sebagai jamaah (komunitas). NU selama ini dikenal sebagai komunitas santri dan kiai. Tentu sebutan itu tidak harfiah (benar-benar kiai dan santri). Faktanya, tidak sedikit orang NU yang tidak berasal dari kalangan kiai maupun berlatar belakang santri (pernah menempuh pendidikan di pesantren).

Sebutan komunitas santri dan kiai merujuk kepada sejumlah nilai dan tradisi agung yang senantiasa dijadikan pedoman di lingkungan NU, yaitu tradisi kesantunan, kepatuhan, keilmuan, kealiman, kerendahan hati, dan saling menghormati satu sama lain. Sejumlah nilai dan tradisi tersebut senantiasa dilakukan di kalangan pesantren, baik antara santri dan santri, santri dan kiai, ataupun antara sesama kiai.

Karena itu, NU dikenal sebagai pesantren besar dan pesantren dikenal sebagai NU kecil. Penyebabnya, tak lain, NU sebagai jamaah menganut sistem nilai dan tradisi di pesantren, tempat berkumpulnya para santri dan kiai. Karena itu, NU dikenal sebagai komunitas santri dan kiai.

Sangat disayangkan, suasana mutakhir di lingkungan NU perlahan mulai terasing dari nilai-nilai dan tradisi tersebut. Akibatnya, terjadi berbagai bid'ah sayyi`ah (perilaku buruk dan mengada-ada), seperti pembangkangan terhadap kiai sepuh dan lain sebagainya.

Keniscayaan ke Depan

Islah adalah keniscayaan bagi NU ke depan. Baik NU dalam arti organisasi (jamiah), komunitas (jamaah), ataupun kekuatan politik. Tanpa islah, NU dalam arti organisasi akan diacuhkan oleh umatnya sejauh NU mengacuhkan nasib mereka. Tanpa islah, NU dalam arti komunitas akan mengalami krisis identitas bila melepaskan diri dari nilai-nilai dan tradisi di pesantren. Lalu, tanpa islah, NU dalam arti kekuatan politik bakal semakin lemah dan tidak dianggap dalam kancah perpolitikan nasional.

NU harus kembali menjadi jamiah (organisasi) yang bervisi keumatan dan kebangsaan dengan mengacu ke tata nilai dan tradisi yang berlaku di kalangan pesantren. Yakni, tata nilai yang lebih mengutamakan islah daripada firqah (perpecahan), lebih mengutamakan kejamaahan (kebersamaan) daripada mu'aradhah (percekcokan), dan lebih mengutamakan tabayun daripada MLB ataupun pembekuan.

*) Hasibullah Satrawi, alumnus Al Azhar Kairo, Mesir, kini aktif sebagai peneliti di Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta.

Opini Jawa Pos 19 Mei 2010