19 Mei 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Menanti Reformasi Jilid II

Menanti Reformasi Jilid II

Oleh CECEP DARMAWAN
Dalam pidato kenegaraan memperingati hari ulang tahun kemerdekaan RI tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan perlunya menggulirkan reformasi gelombang kedua untuk menuntaskan agenda bangsa yang belum usai. Menurut dia, reformasi gelombang kedua hakikatnya untuk membebaskan Indonesia dari dampak dan ekor krisis yang terjadi sepuluh tahun lalu. Kemudian, pada 2025, negara kita dalam fase untuk benar-benar bergerak menuju negara maju.
Reformasi yang terjadi pada 1998, memiliki sayap perubahan yang sangat terbuka. Ide-ide yang hadir dan tumbuh kembang dalam diri warga Indonesia, seluas dan seterbuka kawasan Indonesia itu sendiri. Warga Indonesia, pascareformasi, seolah hadir dalam pribadi yang jauh berbeda dengan pribadi bangsa Indonesia dalam 32 tahun sebelumnya. Apa yang bisa diharapkan dari reformasi kedua bangsa kali ini? Akankah melahirkan satu gerakan baru atau spirit nasional yang baru bagi bangsa Indonesia? Ataukah, sekadar melahirkan pembalikan politik sejarah ke model sejarah masa silam? Akankah anggota legislatif negara ini kembali diisi penjual rakyat, penjual aset nasional demi kepentingan kelompok, atau diisi pemeras APBN demi kepuasan kapitalnya sendiri?
Penulis meyakini, perubahan sosial politik akan terjadi atau reformasi kedua akan terjadi apabila ada kesamaan pikiran dan kesamaan perasaan tentang tengah terjadi krisis. Artinya, jika saat ini, kondisi bangsa ini, kondisi ekonomi, serta kondisi politik, belum dianggap sebagai krisis, tidak akan terjadi perubahan yang berarti bagi masa depan Indonesia.
Seolah kita melihat ada kecenderungan melemahnya rasa nasionalisme pada era reformasi ini karena muncul semangat individualisme dan liberalisme. Benedic Anderson menemukan adanya anomali nasionalisme manakala ideologi individualis dan liberalis hadir dalam konteks masyarakat. Bahkan, A. Djadja Saefullah (2007) menduga gejala baru nasionalisme, yakni kepentingan globalisasi membonceng nasionalisme.
Untuk melengkapi pemikiran Yudhoyono, diperlukan reformasi budaya. Bila ada orang berpandangan, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya, hari ini harus dapat ditunjukkan dengan cara melestarikan dan menjunjung kehormatan budaya. Patut diakui, perlindungan terhadap eksistensi budaya daerah masih jauh dari yang diharapkan. Budaya daerah dan atau kearifan lokal belum dijadikan modal sosial bagi pembangunan bangsa Indonesia pada masa depan.
Begitu pula dengan pendidikan, kita perlu mereformasi pendidikan. Pendidikan karakter bangsa menjadi sangat penting dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia masa depan. Berbagai anomali semangat nasionalisme bisa jadi adalah bentuk akhir dari gagalnya pendidikan karakter bangsa. Padahal, pendidikan adalah kekuatan strategis dalam memotret masa depan bangsa. Pendidikan kesadaran nasional dan kesadaran berbangsa merupakan modal utama dalam membangun keutuhan NKRI. Berbagai kasus yang menimpa bangsa kita, termasuk separatis, adalah contoh kecil tantangan kita dalam pendidikan kewarganegaraan.
Bangsa Indonesia membutuhkan perangkat aturan yang jelas dan tegas, serta mampu menjadi pedoman gerak reformasi jilid II sehingga penyelewengan kekuasaan tidak terjadi kembali. Rakyat sudah bosan dengan permainan hukum, permainan pengadilan, akalan-akalan eksekutif, legislatif, dan kalangan elite dalam mempermainkan hukum. Hukum bukan satu "kitab suci", tetapi mempermainkan hukum atau mengacak-acak hukum, jelas-jelas pelanggaran terhadap cita hukum itu sendiri. Kita butuh pendidikan karakter bangsa untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia masa depan. Pendidikan karakter adalah kekuatan strategis warga bangsa untuk memperkuat jati diri dan harga diri di tengah percaturan global.
Meminjam istilah Presiden Seokarno "revolusi belum usai", kita pun dapat menyatakan bahwa reformasi masih terus berlanjut sampai cita-citanya secara ideal tercapai. Kita masih memiliki kebutuhan untuk mentransformasikan kesadaran kebangsaan yang lebih maju, dinamis, unggul, mandiri, dan berjiwa NKRI. Kesamaan mindset atau titik pijak mengenai apa dan bagaimana masa depan reformasi jilid II, hendaknya dapat dijadikan momentum agar Indonesia bangkit.
Sekali lagi, jika bangsa ini tidak memiliki kesadaran terhadap krisis yang sedang terjadi dan tidak adanya keteladanan dari para pemimpin di negeri ini, harapan terjadinya reformasi jilid II akan sulit diwujudkan. Jika mayoritas bangsa merasakan hal serupa, adakah sesuatu hal yang masih bisa diharapkan dari gerakan reformasi dua belas tahun lalu yang diusung para mahasiswa pemilik sah negeri ini? Wallahu a’lam.***
Penulis, dosen Politik Pascasarjana dan Direktur pada Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan Universitas Pendidikan Indonesia, serta penerima penghargaan Setya Lencana Dwidya Sistha dari Panglima TNI. 
opini pikiran rakyat 20 mei 2010