19 Mei 2010

» Home » Okezone » Pilihan Publik Atau Cendekia?

Pilihan Publik Atau Cendekia?

Hasil survei Cirus Surveyors Group terhadap masyarakat pemilih pada bulan Maret 2010 menunjukkan bahwa dari tiga orang Calon Ketua Umum Partai Demokrat, Andi Mallarangeng mendapatkan dukungan publik paling tinggi, yaitu sebesar 35%.


Anas Urbaningrum di tempat kedua dengan dukungan publik sekira 22%, dan Marzuki Ali berada di posisi ketiga dengan dukungan publik sebesar 3%. Hasil survei ini pernah diiklankan dan sudah menjadi pengetahuan umum. Dua bulan berikutnya, lembaga yang sama mengeluarkan hasil survei terhadap 150 orang cerdikcendekia, atau tokoh-tokoh rujukan opini publik (opinion leader) yang menunjukkan bahwa dari sisi kualifikasi dan karakter kepemimpinan, Anas Urbaningrum lebih unggul dibandingkan Andi Mallarangeng dan Marzuki Alie. Dari 11 kategori kualifikasi kepemimpinan, Anas Urbaningrum unggul dalam 10 kategori.

Satu-satunya keunggulan Andi Mallarangeng adalah untuk kategori physical appearance (penampilan fisik). Penilaian para opinion leader bisa dikatakan semacam hasil penjurian terhadap kualitas kepemimpinan tiga orang tersebut. Dengan rentang angka 1 sampai 10, Anas Urbaningrum memperoleh rata-rata leadership performance sebesar 7,2, Andi Mallarangeng dengan rata-rata nilai 6,7,dan Marzuki Alie memiliki rata-rata 5,9. Dari dua hasil survei yang berbeda itu kemudian muncul banyak pertanyaan.Yang paling sering ditanyakan, bahkan dengan sedikit sinis adalah; “Lembaga survei bersangkutan sebenarnya memihak siapa? Siapa sebenarnya calon terbaik menurut lembaga survei? Atau bahkan, siapa sebenarnya yang akan menang dalam kongres Partai Demokrat nanti?”

Perlu ditegaskan bahwa lembaga survei tidak bisa memihak dan sengaja mengunggulkan salah satu calon yang sedang berkompetisi. Selain soal etik, ini juga demi kepentingan pragmatis lembaga survei itu sendiri. Sebab, kehidupan lembaga survei bersumber dari kepercayaan publik. Sederhananya, survei bisa dipesan tetapi hasilnya tidak. Artinya, orang yang berkepentingan bisa saja memesan dan membiayai survei tetapi tidak diperkenankan ikut campur apalagi mengatur hasilnya. Hasilnya bisa manis, bisa juga pahit bagi orang yang memesan survei.***

Data yang dikeluarkan di atas memang begitu keadaannya.Target responden yang berbeda tentu bisa pula memunculkan hasil yang berbeda. Jika ingin mengetahui Calon Ketua Umum Partai Demokrat yang paling diterima oleh publik, maka jawabannya adalah Andi Mallarangeng. Bukan berarti calon lainnya tidak diterima publik, hanya tingkat penerimaan Andi Mallarangeng di mata konstituen memang lebih baik. Namun, jika ingin mengetahui kualifikasi dan kemampuan masing-masing tokoh untuk memimpin organisasi sebesar Partai Demokrat, tentu tidak bisa ditanyakan kepada masyarakat awam. Masyarakat awam akan sangat kesulitan untuk memberi nilai dalam soal-soal yang membutuhkan pengetahuan mendalam seperti visioner, keterampilan memimpin, kemampuan komunikasi politik, stabilitas emosi, dan lain sebagainya.

Diperlukan bantuan kaum cerdik-cendekia untuk memberikan nilai untuk aspek-aspek kepemimpinan tersebut. Dan dari penilaian kaum Cendekia, Anas Urbaningrum dianggap memiliki performance kepemimpinan yang lebih baik dibanding calon lain. Kemudian muncul pula perdebatan baru dengan menyitir adagium klasik dalam ilmu politik, yaitu vox populi vox dei, suara rakyat (pemilih) adalah suara Tuhan. Kalau rakyat sudah berkehendak, seharusnya itulah yang diwujudkan oleh para elite politik. Dengan demikian, elite partai yang demokratis harus mendengarkan suara dari bawah dan memilih orang seperti yang diinginkan konstituen. Benar bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan di dalam masyarakat yang sudah rasional. Ketika menentukan dan memberi pilihan, mereka melakukannya berdasarkan pertimbangan akal sehat.

Dalam masyarakat seperti ini disparitas pengetahuan politik tidak lagi menjadi kendala. Wajar jika kehendak rakyat dimaknai sebagai kehendak Tuhan. Tetapi, di masyarakat pecinta sinetron vox populi vox dei harus diberi catatan serius. Sebab, di negeri seperti ini, sinetron yang sama sekali tak berkualitas justru sangat digandrungi. Kita bisa memeriksa rating acara televisi tertinggi di republik ini, dan tidak ada satu pun acara berkualitas yang bertengger di peringkat atas. Dalam kondisi masyarakat yang seperti ini, kualitas dan soal-soal substansi kurang diperhatikan.

Mereka lebih tertarik terhadap soalsoal artifisial seperti keindahan kulit dan kecantikan rupa, atau simbol-simbol lain yang mampu membuat penonton terpana. Mungkin juga disebabkan oleh disparitas pengetahuan yang masih sangat tinggi. Oleh karena itu, masyarakat butuh bantuan penilaian kaum cerdik cendekia. Jika masyarakat awam hanya melihat bulan dengan mata telanjang, kaum cerdik-cendekia ini berperan sebagai teropong bintang yang membantu mata melihat benda langit dengan lebih jelas dan detail, sehingga bulan yang indah dengan mata telanjang mungkin bisa terlihat penuh bopeng saat diperhatikan secara seksama menggunakan teropong bintang.***

Lalu mana yang harus dipilih? Apakah harus sesuai keinginan publik, atau harus ikut penilaian kaum cendekia? Perlu dipahami bahwa kedua survei di atas tidak bisa menegaskan satu sama lain sehingga pilihannya harus hitam atau putih. Tidak ada hasil ekstrem yang saling bertolak belakang sehingga keputusan terbaik harus berdasarkan hasil salah satu dari kedua survei itu. Maksudnya, tidak ada tokoh yang kebanjiran dukungan publik tetapi sangat miskin dari sisi kualitas. Atau sebaliknya, tidak ada calon yang sangat berkualitas tetapi di lain pihak ditolak oleh publik. Soal keunggulan relatif dalam masing-masing survei adalah hal yang wajar.

Yang jelas, survei tidak memiliki kemampuan memaksa para pemilik suara di dalam partai dalam menentukan pilihan. Survei tersebut hanya sebagai uji publik terhadap calon pemimpin dan masukan bagi para pemberi suara di dalam kongres partai. Tentu lembaga survei sebagai bagian dari civil society merasa dihargai jika masukan-masukan tersebut menjadi pertimbangan serius dalam memilih pimpinan partai. Tetapi, yang pasti adalah bahwa survei-survei di atas akan kehilangan makna dan sumbangannya bagi peningkatan kualitas demokrasi bila figur sentral di dalam Partai Demokrat menggunakan otoritas untuk meniadakan kompetisi. Segala macam uji publik, masukan, pertimbangan yang ada di kepala para pemberi suara di dalam kongres akan sirna dengan sia-sia begitu ada keharusan untuk memilih pemimpin berdasarkan “arahan” figur sentral di dalam partai.

Untuk urusan restu atau “arahan” figur sentral ini, Cirus Surveyors Group punya data opinion leader yang juga sudah dirilis. Sekira 60% opinion leader menyatakan, sebaiknya figur sentral di dalam Partai Demokrat tidak perlu menggunakan otoritasnya untuk memberi restu kepada salah satu calon. 68% dari opinion leader tersebut menganggap budaya restu tidak konstruktif untuk pembangunan demokrasi dan sistem kepartaian yang sehat. Bertahan dengan budaya “restu” jelas meniadakan kompetisi yang sehat dan berbahaya buat partai. Justru jauh lebih aman membuka ruang kompetisi yang sehat di saat figur sentral masih mampu aktif membina partai. Dengan demikian, apapun hasil kompetisi dalam kongres, soliditas partai bisa tetap dijaga.

Pengalaman persaingan yang sehat ini tentu sangat berharga di masa yang akan datang ketika sang figur sentral sudah tidak memungkinkan untuk secara aktif membina partai. Sebab, generasi penerus di dalam partai sudah dibiasakan untuk kalah dan menang melalui proses kompetisi. Meskipun selalu ada yang kecewa karena kalah, membiasakan kompetisi sejak partai berusia muda jauh lebih baik daripada menyemai benih bom waktu yang bisa meledak memorak-porandakan partai saat mereka kehilangan figur sentral. Lebih baik terserang cacar saat masih belia karena bekasnya masih bisa hilang tak berbekas.

Jika terserang di usia dewasa, bopeng-bopengnya sulit untuk disembuhkan. PDIP dan PAN adalah partai yang segera akan berhadapan dengan bom waktu semacam itu. Terakhir, jika ruang kompetisi sudah dibuka, publik Indonesia juga akan sangat antusias untuk terlibat secara pikiran maupun emosi untuk mengikuti hasil pilihan peserta kongres. Sebab, Partai Demokrat adalah partai terbesar dan sedang berkuasa. Banyak harapan yang digantungkan terhadap Partai Demokrat. Hasilnya bisa saja sesuai dengan suara konstituen, atau sesuai dengan pilihan para cendekia, atau malah bukan keduanya. Selamat berkongres! (*)

Hasan Nasbi A
Research Manager CIRUS Surveyors Group

opini okezone  19 mei 2010