19 Mei 2010

» Home » Media Indonesia » Kerja Sama Internasional dalam Mengatasi Kejahatan ATM

Kerja Sama Internasional dalam Mengatasi Kejahatan ATM

Kerja sama internasional merupakan keharusan dalam era globalisasi. Namun kerja sama internasional dalam mengatasi kejahatan ATM masih bersifat ad hoc hingga saat ini. Sementara itu penggunaan ATM terus meningkat seiring dengan berjalannya globalisasi yang didukung moda transportasi dan teknologi informasi. Seyogianya negara-negara ASEAN membentuk forum kerja sama antarnegara ASEAN untuk membahas masalah kejahatan ATM di ASEAN. Hal ini perlu dilakukan karena intervensi publik bagi masalah keamanan berbisnis mutlak diperlukan. Keamanan dalam berbisnis adalah barang publik sehingga economies of scale menjadi mutlak diperlukan. Dengan demikian kerja sama antarnegara termasuk negara-negara ASEAN harus berorientasi menciptakan biaya keamanan marginal yang lebih rendah daripada biaya keamanan rata-rata.
Dengan program kerja sama antarnegara yang efisien, pemerintah negara-negara ASEAN seyogianya menciptakan subsidi sehingga biaya keamanan bertransaksi ATM di ASEAN besarnya sesuai dengan biaya keamanan marginal. Schumpeter yang juga peraih Hadiah Nobel mengatakan kecil itu indah.

Namun dalam konteks ATM (automated teller machine) ternyata besar itu indah. Boeschoten (1998) telah membuktikan pentingnya transaksi besar bagi bisnis ATM termasuk bisnis jaringan ATM tersebut. Bounie and François (2006) melakukan studi empiris dari faktor-faktor penentu terhadap penggunaan dari instrumen pembayaran pada point of sales. Hasil penelitian itu sangat mencengangkan karena berlawanan dengan anggapan Schumpeter. Mereka menemukan bukti yang sangat kuat dari efek terhadap besarnya transaksi kepada pemilihan instrumen pembayaran.

Semakin besar transaksinya, semakin besar potensi penggunaan ATM sebagai instrumen pembayaran. Dengan demikian struktur pasar pembayaran melalui ATM bersifat monopoli alamiah. Pada titik biaya rata-rata pada envelope average cost jangka panjang yang paling minimum merupakan posisi tempat kebijakan publik dan privat diarahkan. Dengan melakukan superimposed kebijakan, khususnya dengan kebijakan keamanan publik, subsidi keamanan berpotensi membuat shifting dari kurva biaya rata-rata jangka panjang transaksi ATM di ASEAN ke arah yang lebih efisien.

Dengan demikian kerja sama internasional bukan saja diperlukan melainkan juga berpotensi untuk membuat biaya transaksi ATM di ASEAN menjadi lebih kompetitif ketimbang di negara-negara lainnya termasuk misalnya di Eropa. Dengan semakin efisiennya biaya transaksi melalui ATM, peran ASEAN sebagai pasaran bersama yang bersaing dengan wilayah-wilayah ekonomi lainnya dapat menciptakan kebijakan perdagangan luar negeri dan dalam negeri yang bersifat trade creation, bukan trade diversion. Trade creation akan tercipta di dalam ASEAN dan antara ASEAN dan negara-negara di luar ASEAN. Dengan adanya perdagangan bebas antara ASEAN dan negara non-ASEAN seperti misalnya China, diharapkan dengan semakin efisiennya sistem pembayaran melalui ATM di ASEAN akan menciptakan keunggulan kompetitif berusaha di ASEAN secara relatif ketimbang di China. Matutes dan Padilla (1994) mengatakan, "The role of interchange fees in ATM networks is to provide competing banks with incentives to share their ATMs." Artinya kerja sama di antara negara-negara ASEAN akan terjadi penurunan biaya overhead cost dari proses produksi transaksi ATM di ASEAN yang pada gilirannya memengaruhi harga relatif antara ASEAN dan non-ASEAN. Harga relatif yang terbentuk diharapkan meninggikan daya saing produk-produk ASEAN. Untuk itu subsidi publik atau negara terhadap keamanan dan juga infrastruktur ATM di masing-masing negara ATM seharusnya sudah menjadi agenda ASEAN. Seyogianya pemerintah Indonesia memberikan dukungan insentif yang serius bagi perbankan nasional yang berkonsentrasi pada pelayanan transaksi ATM seperti Bank BCA agar dapat semakin menurunkan biaya rata-rata jangka panjangnya melalui kekuatan monopoli alamiah dan shifting biaya rata-rata jangka panjang tersebut melalui penerapan teknologi yang semakin tepat. Peran pemerintah Indonesia yang serius dapat mempercepat bank seperti BCA melebarkan pelayanan ATM-nya di seantero Indonesia, bahkan ke luar negeri sehingga menciptakan keunggulan kompetitif dalam size of business. Social welfare di ASEAN hanya akan terbentuk jika efisiensi dapat tercapai. Sinyal harga yang diterima konsumen seharusnya juga merupakan biaya sosial. Tidak match-nya antara harga dan biaya sosial merupakan agenda lain yang juga wajib diperhatikan oleh kerja sama internasional dalam bisnis ATM. ASEAN harus mampu menciptakan lembaga pengawas bisnis ATM di ASEAN yang memantau agar harga yang terbentuk merupakan refleksi dari biaya sosialnya. Langkah ini juga penting untuk dilakukan agar bad ATM provider does not drive out good ATM provider. Rambu-rambu yang dibuat harus mendukung tidak terjadinya informasi asimetris.

Diabaikannya faktor keamanan juga akan menyebabkan biaya sosial menjadi lebih tinggi ketimbang harga yang dibayar oleh konsumen. Pada akhirnya surplus konsumen akan tergerus secara sistematis, secara makro tergerusnya surplus konsumen akan menyebabkan dead weight loss perekonomian. Dalam model general ekuilibriumnya Arrow dan Debrue maka dead weight loss dalam perekonomian juga berpotensi mengurangi surplus produser. Dengan demikian tepatlah apa yang dikemukakan Massoud dan Bernhardt (2002) atau Donze dan Dubec (2006) yaitu, "The payment card transaction fee is equal to the issuer's marginal cost minus a subsidy that reflects the costs of cash for the bank." Untuk menjamin akan adanya subsidi maka ASEAN seharusnya melakukan perencanaan dan target-target dalam memberikan subsidi dari setiap negara ASEAN untuk meninggikan daya saing bisnis ATM di ASEAN. Bukan hanya itu, kerja sama seperti ASEAN juga harus berupaya untuk meninggikan nilai positif dari eksternalitas sebagaimana yang dikemukakan Baxter (1983) yaitu bahwa, "Interchange fees in payment card systems solve the usage externalities that arise when the consumers make the optimal choice of a payment instrument at the POS." Kerja sama internasional untuk mengatasi kejahatan ATM antarnegara wajib menjadi agenda ASEAN. Dengan demikian ASEAN berani melakukan terobosan baru dalam konteks memperbaiki daya saing sistem pembayaran di ASEAN. Untuk itu bisnis ATM di ASEAN harus bebas dari kejahatan. Jika kejahatan ATM dapat ditekan, marginal benefit dari bank akan meningkat bukan hanya di dalam negeri melainkan juga akibat dari adanya foreign withdrawals. Seperti yang diteliti Donze dan Dubec (2006) yaitu, "A higher interchange fee on withdrawals increases the incentives to invest in ATM deployment, as it increases the marginal benefit that banks can earn from foreign withdrawals (if second-order effects are neglected)." Di negara Eropa, dengan adanya Uni Eropa, ternyata juga mengalami hal yang sama.

Chakravorti, Carbo-Valverde, dan Rodriguez (2009) memberikan catatan bahwa "Surcharges for foreign ATM withdrawals have been increasing for Spain, during a period in which interchange fees on card payments have been regulated". Untuk itu regulasi dari kerja sama ATM internasional khususnya ASEAN harus juga berorientasi kepada cost based pricing for payment artinya biaya keamanan sudah termasuk di dalamnya sehingga kebijakan subsidi silang yang justru selama ini menjadi dasar dari biaya transaksi pembayaran di banyak negara sebaiknya tidak lagi digunakan. Subsidi silang merupakan kebijakan semu untuk mengatasi masalah keamanan ATM. Van Hove (2004)) pernah mengatakan harga harus sesuai dengan biaya, yaitu, "Rather than concentrating on the introduction of charges for services that are currently cross-subsidized, policy makers might also try to remove the sources of this cross-subsidization". Jika itu segera diterapkan, kerja sama internasional akan efektif menciptakan kesejahteraan masyarakat khususnya di ASEAN!

Oleh Achmad Deni Daruri President Director Center for Banking Crisis
opini media indonesia 20 mei 2010