19 Mei 2010

» Home » Republika » Amok

Amok

Tidak lama sesu dah Priok, peristiw aamuk massa ter jadi di Batam. Tampak dalam kedua peristiwa itu begitu mu dahnya masalah diselesaikan dengan amarah, adu fisik, vandalisme, bahkan meng habisi nyawa sekalipun.

Tentu, amuk dipicu penyebab yang membuat manusia menjadi kalap dan gelap mata akibat tersinggung, terhina harga diri dan kehormatannya yang diinjak-injak. Maka itu, amuk merupakan fenomena ke jiwaan individual dan komunal manusia yang bersifat alamiah dan spon tan. Dan, kejiwaan ini su dah sejak lama dikenal sebagai: amok, yang mana banyak didapati dalam rekaman sejarah di Asia Tenggara. Sebagaimana kesaksian pelancong Portugis, Tomes Pires, yang menanggapi tradisi amok di Jawa tahun 1515. Pires mengatakan, “Orang mengamuk adalah sat ria bagi mereka, orang yang ber sedia mati, dan melaksa na kan keputusan untuk mati tersebut.” Anthony Reid (1992) yang menelaah kesaksian Pires ini menyimpulkan amok seba gai kata kerja (mengamok), yang mana dalam kronik Me layu berarti sematamata menyerang deng an sen–jata demi menewaskan musuh, meski harus mengorbankan nyawa nya sekalipun. Pada masa kerajaan, amok lekat dengan sikap membela kharisma dan ke kuasaan raja melalui jalan pengorbanan nyawa. Misalnya saja di Bali, mengamok untuk ber korban demi kehormatan raja dan tanah airnya disimbo li sasi kan rakyat dengan mengena kan pakaian putih. Hingga awal abad ke-20, kisah pengor banan macam ini masih hidup di Bali. Dalam kisah Pu putan (perang habishabisan) Klung kung tahun 1908, demi mem pertahankan tanah airnya dari kolonialisme, rakyat Bali mulai dari kaum pria, wanita, hingga anak-anak dengan persenjataan tradisional bahkan tangan kosong turun mengha dapi mon cong senjata serdadu kol onial. Membela raja me reka adalah tugas mulia.

Tidak seperti kronik sebelumnya, pada abad ke-19, citra amok kian je las terungkap melalui pencatatan perinci peristiwa dan cerita seputar amok sebagai wa tak kejiwaan orang Melayu. Da lam kisah perja lan an seorang warga Bengal ke turunan Inggris bernama Char les Walter Kinloch pada 1852, yang dibukukan dalam Ram bles in Java and the Straits in 1852 menyinggung pengamatan dan penilaiannya ten tang amok di Penang, Malaysia, sepulangnya ia te tirah di Pulau Jawa.

Dengan mengutip berita dalam Penang Gazette, Kin loch menuturkan kisah kriminal di wilayah Bayan Lepas yang dilakukan seorang Me layu bernama Jusoh. Dikisah kan, ketika pulang ke rumahnya, Jusoh mendapati istrinya tengah mengadakan pesta be sar dengan mengundang orangorang tanpa sepengetahuan dirinya. Percekcokan Jusoh dengan sang istri dan para tamu terjadi. Dalam ke tersing gungan dan amarah, Jusoh pergi me ninggalkan ru mah lalu kembali dengan mem bawa se bilah pi sau. Dalam keadaan gelap mata, ia membunuh dan me lukai beberapa orang dalam rumah nya. Jusoh pun ditahan .

Petikan cerita kriminal dalam surat kabar itu dika takan Kinloch sebagai amôk (sic!). Istilah ini kemudian men jadi kosakata dalam ba hasa Inggris (amok), dan diplesetkan juga dengan istilah a muck (kotoran). Amok dipakai untuk menerangkan keadaan gelap mata manusia yang ren tan terjadi en tah karena pera sa an ber salah, tersinggung, dan terdesak. Kinloch sendiri me ni lai fenome na gelap mata da lam alam kejiwaan manusia itu banyak di lingkungan orang Melayu (rumpun di Asia Tenggara).

Apakah ini benar sebentuk karakter kolektif kejiwaan bangsa Melayu? Tentu taklah benar memukul rata hal tersebut. Tidak semua begitu. Tapi, dalam membaca persoalan karakter itu, pernyataan se orang Belanda bernama Johanes Olivier (1789–1858) menarik disimak. Bahwa dikatakannya, mut lak perlu untuk selalu ramah-tamah terhadap orangorang pribumi, selalu sopan dan sekali-kali tidak boleh lekas marah ataupun bersikap menghina. Jika pernyataan Oli vier dihubungkan dengan penilaian Kinloch akan memunculkan pertanyaan: apa yang terjadi jika mereka tersinggung? Terkait dengan pengamatan sezaman mereka, gejala amoklah yang umum terjadi.

Hakikat amok pada abad ke-19 sebenarnya bergeser dari citranya sebagai sikap satria, sebagaimana dalam kronik kerajaan pada masa sebe lumnya. Citranya tak lebih di nilai Kinloch sebagai tindakan brutal dan kriminal. Memu dar nya kekuasaan raja-raja beri kut monarkinya pada abad 19 yang digantikan kekuasaan politik Hindia Belanda, mem buat watak amok lepas kendali. Tidak adanya lagi ke pen tingan membela harga diri pat ron, membuat amok beroperasi dalam kasus gerakan sosial atau mem bela harga diri individu, seperti halnya kisah Ju soh yang gelap mata itu.

Hingga masa alam kemerdeka an pun, fenomena amok masih terjadi. Atas na ma identitas, aksi amok dike san kan sebagai ekspresi mem bela bang sa dan negara. Misal nya, masa revolusi kemerdeka an (1945–1949) ketika bagai mana dekolonialisasi ditandai kebencian terhadap orang asing Eropa (xenophobia). Ini terbaca dari ki sah repatriasi orang Eropa ke ne geri asalnya, peristiwa pe rusakan properti, dan penganiayaan juga mewarnai masa-masa akhir mereka di Indonesia. Rakyat pribumi yang dicitrakan peramah, berubah menjadi pemarah.

Amok lain juga terjadi tahun 1965 hingga masa sesudah nya. Membaca Palu Arit di La dang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966) karya Hermawan Sulistyo, terungkap betapa kegelapan mata menghasilkan genosida tak terduga yang dipicu persoalan sentimen ideologi antara nak bangsa. Juga, tengok kejatuhan Orde Baru pada 1998; bagaimana amuk massa. Tidak se perti heroisme puputan di Bali, amok-amok macam itu begitu menakutkan, jauh dari sifat satria; sejenis ‘kotoran’ yang mengotori sejarah bangsa. Vandalisme, sebagaimana peristiwa di Priok dan Batam menandakan masih lestarinya amok dalam alam ‘modern’ dan ‘beradab’ ini. Memang, semestinya semua bisa dihadapi dengan kepala dingin.

Opini Republika 19 Mei 2010