20 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Pilkada Kendal Sangga Stabilitas

Pilkada Kendal Sangga Stabilitas

BEBERAPA waktu setelah Pilkada Kota Semarang digelar, segera menyusul pilkada di beberapa kabupaten seputarnya.  Dalam waktu dekat digelar pilkada di Kabupaten Kendal, Kabupaten Semarang, dan Demak. Tiga kabupaten itu merupakan daerah penyangga bagi Kota Semarang.

Kehidupan Kota Semarang sangat dipengaruhi oleh kondisi tiga kabupaten satelit itu. Kondisi ekologis Kabupaten Kendal, Semarang, dan Demak akan berpengaruh bagi lingkungan Kota Semarang. Demikian pula Kota Semarang sebagai sentra ekonomi sektor jasa, industri dan perdagangan, memiliki hubungan timbal-balik dengan ketiga daerah penyangga itu.

Saking eratnya Kota Semarang dengan Kendal, Ungaran, dan Demak, sering muncul seloroh bahwa penduduk Kota Semarang siang lebih banyak ketimbang penduduk malam, ini karena banyak warga sekitar menggantungkan penghidupannya di Kota Semarang pada siang hari, dan malamnya mereka kembali ke daerahnya masing-masing. Seorang kawan menyebut Mranggen dan Pucanggading itu Demak rasa Semarang lebih karena kedekatan sosio-kultural daerah itu dengan Semarang.


Stabilitas politik Kota Semarang selama dan setelah pilkada 2010 menjadi barometer bagi daerah-daerah seputarnya. Kestabilan politik Semarang setidaknya akan menjadi tolok ukur bagaimana politik itu semestinya dimainkan.

Dalam beberapa pekan ke depan Kabupaten Kendal akan menyelenggarakan pilkada. Ada lima pasangan calon bupati dan wakilnya. Mereka adalah pasangan Widya Kandi Susanti dan M Mustamsikin dicalonkan oleh koalisi PDIP, PKB, Gerindra, PNBKI, PNIM, Republikan, PKPI, Pelopor, PPD, PDK, PPI, dan PBR;  Sugiyono dan HM Abdullah diusung koalisi Partai Demokrat dan Hanura; Siti Nurmakesi dan Indar Wimbono diajukan oleh Partai Golkar; Supriyono dan Nasikhin merupakan pasangan calon perseorangan; dan Nur Hadziq dan HR Mastur Darori dicalonkan koalisi PAN, PPP, dan PKS.
Variasi Koalisi Paket pasangan calon bupati dan wakil bupati memperlihatkan variasi koalisi partai politik. Ini menunjukkan bahwa persaingan politik tidak pernah abadi. Partai-partai politik itu pada Pemilu 2009 saling bertarung memperebutkan kursi DPRD. Namun kini mereka bersedia bergandeng tangan dalam persaingan politik yang lain, yaitu dalam rangka memperbutkan kursi bupati dan wakil bupati.

Kesadaran elite politik bahwa tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, setidaknya menjadi modal awal yang baik untuk membangun persaingan sehat. Mengapa? Karena realitas politik menunjukkan bahwa kemenangan dalam pemilu legislatif tidak selalu berkorelasi positif dengan kemenangan dalam pilkada. Kota Semarang menjadi contoh yang baik dalam hal ini. Karena itu, kerja sama dalam bangunan koalisi, apakah itu koalisi di parlemen maupun koalisi dalam memperebutkan kursi eksekutif, merupakan keharusan.

Ada beberapa pelajaran berharga dari pilkada di Kota Semarang yang patut dicermati bagi Kendal. Pertama, tidak ada pemenang mutlak di Kota Semarang yang diikuti 5 pasangan calon.

Berdasarkan hasil akhir menunjukkan bahwa antara pemenang rangking 1 dan rangking 2 masing-masing berada di angka 34% dan 31%. Kondisi ini juga potensial akan terjadi di Kendal, mengingat sama-sama terdapat 5 pasangan calon dengan kekuatan politik yang cukup berimbang.

Kedua, hasil di Kota Semarang menunjukkan variasi antara pemenang pemilu legislatif dan pemenang pilkada. Kursi DPRD Kota Semarang dikuasai oleh Partai Demokrat, namun pilkada dimenangi oleh PDIP. Variasi pemenang pemilu legislatif dan pilkada juga potensial terjadi di Kendal, mengingat hitungan kursi partai-partai pendukung masing-masing pasangan calon cukup berimbang.

Koalisi PDIP, PKB dan Gerindra di atas kertas memiliki 17 kursi DPRD, koalisi PAN, PPP dan PKS memiliki 14 kursi, Partai Golkar memiliki 10 kursi, dan koalisi Partai Demokrat dan Hanura memiliki 8 kursi. Namun harus diingat sekali lagi, penguasaan kursi parlemen tidak selalu identik dengan kemenangan dalam pilkada.

Ketiga, setelah pilkada Kota Semarang ditandai dengan gugatan hasil ke Mahkamah Konstitusi. Ini menunjukkan bahwa aktor politik memiliki kedewasaan untuk menyelesaikan konflik politik melalui jalur hukum. Pelajaran ini nampaknya patut pula diikuti oleh elite politik Kendal yang saat ini sedang ancang-ancang mental untuk menjadi pemenang atau pecundang.

Pada akhirnya stabilitas politik seusai pilkada di Kota Semarang akan memiliki daya tarik magnetik bagi daerah-daerah di sekelilingnya. Demikian pula sebaliknya, stabilitas politik selama pilkada di Kendal akan menjadi penyangga stabilitas politik kawasan seputar Semarang, dan tentu saja stabilitas politik di Jateng, di antaranya ditentukan oleh Kendal sebagai salah satu penyangga. (10)

— Hasyim Asy’ari, dosen Fakultas Hukum Undip

Wacana Suara Merdeka 21 Mei 2010