Oleh Mahi M. Hikmat 
Tradisi paternalistis yang menjadi fenomena umum dalam kehidupan partai  politik di Indonesia, berlaku juga bagi Partai Demokrat. Tidak bedanya  dengan PDI Perjuangan yang sulit melepaskan diri dari Megawati trah Bung  Karno. Partai Golkar yang hingga kini masih ”mencari” sosok pemimpin  yang dapat membawa kejayaan, seperti zaman Soeharto. Partai Kebangkitan  Bangsa yang sempat besar karena Gus Dur. Partai Amanat Nasional yang  memiliki Amien Rais. Bahkan, partai baru, seperti Partai Gerindra dan  Partai Hanura, pun karena figur Prabowo dan Wiranto. Kebesaran Partai  Demokrat hingga bertengger di puncak kemenangan Pemilu 2009 pun sangat  bergantung pada kebesaran nama Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, rezim Yudhoyono bukan rezim Soeharto yang dapat ”melanggengkan”  kekuasaan hingga lebih kurang 32 tahun sehingga selama itu pula Partai  Golkar dapat mereguk manisnya kemenangan. Tinggal hitungan tahun, rezim  Yudhoyono akan berakhir. Hal itu merupakan lampu kuning bagi Partai  Demokrat ke depan. Jika Partai Demokrat tetap bertahan dengan  mengibarkan kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono, tinggal hitungan tahun  pula eksistensi Demokrat sebagai partai besar.
Masuknya Partai Demokrat pada lingkaran lima besar pada Pemilu 2004 dan  ”merajai” Pemilu 2009 tidak terlepas dari kungkungan paternalistis  kekuasaan Yudhoyono. Pemilu 2004, Yudhoyono berada pada puncak  keterpilihan sehingga ia terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia  kendati Partai Demokrat hanya membekali suara 7,45 persen. 
Lima tahun kemudian, Partai Demokrat melonjak menjadi partai pemenang  Pemilu 2009, sekaligus mengantarkan Yudhoyono kembali menjadi presiden.  Oleh karena itu, tahun 2009 merupakan kemenangan gemilang bagi Partai  Demokrat. Ketua dewan penasihatnya menjadi presiden, sekjennya menjadi  Ketua DPR, dan merengkuh koalisi kabinet yang didukung lima partai besar  (Partai Golkar, PAN, PKS, PKB, dan PPP). Bahkan, kalau hasil Pemilu  2009 dipetakan, nyaris semua daerah dimenangi oleh Partai Demokrat. Hal  itu merealitas dengan duduknya sejumlah kader Partai Demokrat menjadi  Ketua DPRD, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Pada Pemilu 2009, Partai Demokrat sangat diuntungkan dengan kekuasaan  Susilo Bambang Yudhoyono. Apa pun takarannya, incumbent dipastikan dapat  memberikan kontribusi besar terhadap partainya, baik secara moril  maupun materiil. Setidaknya, prestasi Yudhoyono selama 2004-2009  memberikan kontribusi terhadap tingkat kepercayaan rakyat terhadap  Partai Demokrat. 
Secara umum, dalam benak rakyat tertumpu harapan jika Partai Demokrat  besar, Yudhoyono pun akan terpilih lagi menjadi presiden dan semoga  dapat meningkatkan prestasinya pada 2009-2014. Namun, pada Pemilu 2014,  apa lagi yang dapat diharapkan dari Partai Demokrat, sedangkan Yudhoyono  pun tidak mungkin mencalonkan lagi menjadi presiden.
Hal inilah yang di antaranya harus menjadi pertanyaan besar bagi Partai  Demokrat pada Kongres II di Bandung.
Setidaknya terdapat dua hal yang harus diperbincangkan para petinggi  Partai Demokrat pada Kongres II dalam kerangka ”melanggengkan”  kemenangan, terutama dalam konteks Pemilu 2014 mendatang. Pertama,  haruskah Partai Demokrat tetap terkungkung pada paternalistis Susilo  Bambang Yudhoyono.  Kedua, haruskah Partai Demokrat mulai melepaskan  diri dari bayang-bayang Yudhoyono dan mengokohkan diri menjadi partai  yang mandiri.
Andaikan Partai Demokrat tetap mengibarkan Susilo Bambang Yudhoyono  sebagai ”Bapak Demokrat”  dan masih menjadi tumpuan kemenangan Pemilu  2014, tentu diperlukan strategi dramaturgis Erving Goffmen (1956).  Susilo Bambang Yudhoyono harus selalu tampil sebagai pemeran utama dalam  front stage yang dibuat Partai Demokrat. Realitas pasca-Pemilu 2014,  Yudhoyono akan kehilangan panggung, tetapi rakyat harus dibuat selalu  mengenang peran-peran yang dimainkan Yudhoyono. Dalam konteks inilah,  pada sisa periode 2009-2014, Yudhoyono harus menunjukkan prestasinya  sebagai Presiden RI yang sukses dengan kebijakan-kebijakannya yang  cerdas yang ”disenangi” rakyat.
Dengan berbekal kenangan indah bersama Presiden Susilo Bambang  Yudhoyono, Partai Demokrat pun harus membangun panggung baru yang  strategis dan dapat dijadikan front stage bagi Yudhoyono bernostalgia  bersama rakyat pendukungnya. Kendati dalam sistem pemerintahan Indonesia  tidak dikenal lembaga yang lebih tinggi serta lebih populer dari  presiden, kehausan rakyat Indonesia akan figur pimpinan yang mumpuni  dapat menjadi peluang untuk lahirnya pemimpin ”oposisi” yang lebih  cerdas, lebih baik, dan lebih sayang sekaligus lebih disayangi rakyat.
Dalam satu sisi, strategi ini dapat membenamkan nama besar para petinggi  Partai Demokrat karena mereka harus selalu dalam bayang-bayang  Yudhoyono. Ketua Umum yang harus terpilih dalam Kongres II pun harus  yang mendapat ”restu” Yudhoyono, bahkan mungkin keluarga atau kerabat  dekatnya. Oleh karena itu, lahirlah kelompok-kelompok yang dalam teori  politik Pareto (1848) dikenal dengan kelompok elite politik; kekuasaan  hanya beredar di antara elite atau yang menentukan hanya elite tersebut.  Kejayaan partai pun akan bertumpu pada kelompok elite tersebut sehingga  bukan hal yang tidak mungkin masa keemasan Partai Demokrat akan  tercapai jika Ketua Umum dari trah Susilo Bambang Yudhoyono sebagaimana  PDI Perjuangan dengan trah Bung Karnonya.
Namun, jika Partai Demokrat memiliki visi untuk menjadi partai besar  yang mandiri; tanpa bayang-bayang elite politik mana pun, saatnya dalam  Kongres II ini bangkit. Partai Demokrat perlahan harus melepaskan diri  dari bayang-bayang Yudhoyono. Langkah nyata dapat dilakukan, misalnya,  dengan memilih ketua umum bukan yang ”direstui” Yudhoyono. 
Kemudian, dalam panggung-panggung berikutnya, ia harus banyak tampil  menggantikan peran-peran Yudhoyono sembari mulai menanamkan ideologi  kedemokratan yang berangkat dari ideologi sevisi, setujuan, dan  sekeinginan di antara kader dan simpatisan. Dalam teori basis  kelompoknya, Arthur F. Bentley (1908) menguatkan bahwa salah satu yang  dapat menjadi perekat kelompok adalah adanya kesamaan ideologis.
Kendati pilihan ini pun bukan tanpa risiko, bahkan risiko terbesar bisa  saja Partai Demokrat dengan serta-merta ditinggalkan kadernya, terutama  kader pencinta Susilo Bambang Yudhoyono. Walaupun masih harus dibuktikan  melalui kajian yang akurat, prediksi berbagai pihak menyatakan bahwa  besarnya pemilih Partai Demokrat dalam Pemilu 2009 tidak karena  partainya dan tidak pula karena calon anggota DPR dan DPRD-nya, tetapi  karena Yudhoyono pemimpinnya.
Apa pun pilihan Partai Demokrat pasti mengandung risiko. Namun, semua  rakyat Indonesia tentu berharap, risiko itu tidak berdampak pada makin  terpuruknya nasib rakyat. Apa pun pilihan Partai Demokrat, semua rakyat  Indonesia tetap harus yang paling diuntungkan.***
Penulis, dosen tetap UIN Sunan Gunung Djati, FISIP Unpas, dan FISIP  Unikom Bandung, serta Ketua DPP Jaringan Masyarakat Peduli Demokrasi  Jawa Barat.
opini pikiran rakyat 21 mei 2010