20 Mei 2010

» Home » Kompas » Gerakan Semesta Antiteror

Gerakan Semesta Antiteror

Tewasnya beberapa orang terduga teroris, pekan lalu, memperlihatkan, sel-sel terorisme masih sangat aktif di sekitar kita. Dari Februari sampai awal Mei 2010, tidak kurang dari 72 terduga teroris ditangkap dan 13 tewas di Tanah Air.
Pasca-Bom Bali I (Oktober 2002), polisi telah menangkap 466 orang; di antaranya 126 masih menjalani hukuman penjara dan 198 sudah bebas (Kompas 18/5/10; 15/5/10). Berikutnya operasi terakhir Densus 88, gembong teroris Abdullah Sunata yang pernah ditahan dan dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara pada 2006, tetapi dibebaskan awal Maret 2009, kembali gentayangan memimpin sel dan aksi terorisme. Dia kini salah satu ”musuh publik” selain Umar Patek dan Zulkarnain yang jadi target utama Densus 88.
Densus 88 perlu mendapat apresiasi meski kita tetap perlu menyampaikan pesan agar Densus 88 lebih berusaha maksimal menangkap hidup-hidup mereka yang terduga sebagai teroris. Tewasnya gembong-gembong teroris semacam Azahari, Noordin M Top, Dulmatin, dan seterusnya dalam penggerebekan menyulitkan pengungkapan jaringan dan sel-sel teroris yang masih aktif. Lebih jauh lagi, ”penewasan” bukan tidak mungkin menciptakan ”lingkaran terorisme” (circle of terrorism) yang sulit diakhiri seperti di beberapa negara Timur Tengah dan Asia Selatan.


Neo-Khawarij
Dari berbagai keterangan dan bukti sejak penggerebekan di Aceh sampai di Cawang, Cikampek, dan Sukoharjo periode Februari-Mei, terlihat ada pergeseran orientasi dan modus terorisme terkait dengan Dulmatin dan Abdullah Sunata. Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya tidak lagi menjadi target utama. Target utamanya adalah Presiden dan pejabat-pejabat tinggi negara Indonesia. Modus operandi juga diperkirakan berubah; dari bom bunuh diri ke operasi pembunuhan konvensional (assasination) dengan senapan mesin.
Kita tidak tahu pasti penyebab pergeseran ini. Bisa jadi karena bom bunuh diri menjatuhkan banyak korban tidak berdosa. Aksi teror model itu tidak punya dampak dan reperkusi politik apa-apa, hanya menguatkan kemarahan publik kepada para pelaku terorisme. Sebaliknya, jika mereka menyasar pimpinan negara dan pejabat-pejabat tinggi, reperkusi politiknya bisa sangat besar: menciptakan keguncangan dan instabilitas politik sehingga bisa untuk mencapai tujuan, seperti membangun dawlah Islamiyyah (negara Islam).
Dengan gejala dan pola seperti itu, kita kini menyaksikan kembalinya ideologi Khawarij—dalam kasus terorisme Abdullah Sunata dan kawan-kawan dapat disebut ”neo-Khawarij”.
Khawarij sebagai kelompok ekstrem dan radikal muncul pada masa pasca-Nabi Muhammad ketika terjadi al-fitnah al-kubra’, perang saudara pada tahun 657 di antara pengikut Khalifah Utsman bin Affan di bawah pimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dengan ’Ali bin Abi Thalib dan para pendukungnya.
Perdamaian (tahkim) menggunakan Al Quran di antara kedua belah pihak ditolak sebagian pendukung ’Ali, yang kemudian menyatakan diri sebagai orang-orang yang keluar (khawarij) dari jemaah umat Islam.
Selanjutnya adalah cerita tentang radikalisme dan ekstremisme Khawarij dengan berbagai aksi subversif dan pembunuhan terhadap para pemimpin negara yang menurut mereka tidak lagi melaksanakan kedaulatan (hakimiyyah) Tuhan.
Dalam ideologi Khawarij, para pemimpin ini telah murtad dan kafir sehingga mesti diperangi dengan cara apa pun. Kelompok dan sel-sel terorisme Abdullah Sunata ”pas” sebagai ”neo-Khawarij” kontemporer dengan aksi takfir (pengkafiran) dan pembunuhan yang mereka adopsi.
Gerakan semesta
Dengan ideologi ”neo-Khawarij” tampak kompleksitas terorisme di Tanah Air. Ideologi ”neo- Khawarij” pada dasarnya tidak memiliki tempat dalam paham dan tradisi Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah yang diikuti hampir seluruh umat Islam Indonesia. Dari sudut ini, ideologi dan praksis neo-Khawarij berpeluang amat kecil untuk berkembang. Meski demikian, kalangan awam agama sangat mungkin jadi pengikut neo-Khawarij lewat proses rekrutmen dan cuci otak.
Kenapa terorisme terus bertahan dan para teroris masih gentayangan di Tanah Air? Hal ini antara lain karena sampai saat ini gerakan anti-terorisme masih dilakukan—terutama oleh Polri khususnya Densus 88—dengan memburu orang-orang yang terduga sebagai pimpinan kelompok atau sel terorisme.
Akan tetapi, pada saat yang sama Densus 88 juga melakukan deradikalisasi dengan menjadikan ”mantan” teroris atau terduga teroris sebagai ”teman”; menyantuni kebutuhan ekonomi keluarga mereka, mencarikan lapangan kerja, dan lain-lain.
Jelaslah deradikalisasi Densus 88 jauh daripada memadai untuk menginsyafkan mereka yang terlibat. Cukup banyak yang kembali ke kelompok dan sel terorisme begitu mereka bebas.
Oleh karena itu, jika terorisme hendak diberantas di Tanah Air, jelas memerlukan apa yang saya sebut sebagai ”gerakan semesta melawan terorisme”. Ini adalah usaha terpadu secara menyeluruh dan komprehensif dari seluruh elemen bangsa, baik pemerintah, ormas, masyarakat, maupun keluarga. Semua mesti dilakukan tak hanya di tingkat lokal dan nasional, tetapi juga regional dan internasional lebih luas.
Instansi pemerintah semacam Kementerian Agama sepatutnya memberikan perhatian khusus pada program pencegahan dan rehabilitasi melalui penyuluhan agama guna menjelaskan berbagai aspek agama secara benar, khususnya tentang jihad.
Ajaran dan konsep agama ini oleh kelompok dan sel terorisme telah dipahami secara menyimpang. Untuk mencegah lebih lanjut, Kementerian Agama dapat bekerja sama dengan ormas-ormas Islam untuk membantu penyiapan para penyuluh agama bergerak di penjara ataupun masyarakat luas.
Penyuluhan
Pada saat yang sama, Kementerian Agama bisa bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Nasional guna menyelenggarakan penyuluhan di sekolah-sekolah, madrasah, pesantren, dan bahkan perguruan tinggi agar remaja, mahasiswa, dan pemuda kita dapat waspada serta terjaga dari paham radikal dan ekstrem.
Tidak kurang pentingnya adalah penyantunan sosial bagi para terduga teroris yang telah bebas dari tahanan dan kembali ke masyarakat. Jangan biarkan mereka tanpa pekerjaan: situasi yang dapat menggiring mereka kembali ke jalur kekerasan dan terorisme. Di sinilah peran Kementerian Sosial dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menjadi sangat dibutuhkan.
Terakhir, masyarakat dan keluarga semestinya lebih memberikan perhatian kepada gejala-gejala sikap keagamaan anak-anak mereka. Jika sang anak, misalnya, tidak mau lagi menjawab ”salam” orangtuanya, inilah saat yang mendesak untuk memantau lebih dekat dan sekaligus berdialog lebih intens dengan mereka.
Pendekatan personal dan empati sangat penting diterapkan dalam dialog-dialog tersebut sehingga bisa membuka ruang lebih besar bagi internalisasi pemahaman dan praktik agama yang baik dan benar.
Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; Anggota Advisory Board, International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm

Opini Kompas 21 mei 2010