20 Mei 2010

» Home » Media Indonesia » Menangkal Radikalisme

Menangkal Radikalisme

KERUSUHAN mencekam di Thailand akhir-akhir ini semoga tidak menular. Perebutan kekuasaan antarelite telah mengorbankan kedamaian rakyat. Karena itu, penjelasan SBY awal minggu ini tentang Sekber Partai Koalisi dan penggalangan kekuatan untuk menangkal terorisme tentunya bertujuan menurunkan suhu panas politik yang membuat semua orang gerah. Kita belum puas membahas mafia hukum, Susno Duadji, Bank Century, dan Sri Mulyani; belum pula selesai terkaget-kaget oleh rencana kepergian Sri Mulyani; tiba-tiba datang shock bertubi-tubi, termasuk meruaknya ancaman terorisme yang berpotensi merusak segala-galanya yang kita bangun selama ini.


Tang/b>

Ada iklan produk minuman berbunyi, 'Tangkal Radikal Bebas'. Iklan itu bisa menginspirasi gerakan menangkal radikalisme: 'Tangkal Radikalisme Bebas'. Radikalisme adalah ideologi yang menolak sebagian besar premis yang melandasi lembaga-lembaga yang sudah ada dalam masyarakat, selain juga menganggap pemerintahan sebagai sarana pemasung dan/atau penindas rakyat. Penganjur radikalisme berpendapat, harus ada perubahan revolusioner dengan cara-cara tidak ortodoks, yang mengarah ke kekerasan. Singkat kata, radikalisme bersifat merusak. Tidak beda dengan terorisme. Dia terus hidup bila diberi kesempatan. Paham itu perlu kita camkan agar jangan ada pikiran revolusioner yang membenarkan terorisme. Sejak proklamasi kemerdekaan, sebenarnya sudah ada bibit-bibit penolakan terhadap landasan NKRI. DI-TII dengan tegas membuktikannya. Sampai sekarang pun semangat untuk membangun bentuk negara dengan landasan lain belum mati total. Dalam hal terorisme nasional, itu alasan utama yang kita ketahui. Terorisme internasional yang bercita-cita segaris membuat hasrat mereka makin berkobar. Karena itu, yang kita perangi jangan terbatas pada para pelaku teror. Yang paling membahayakan justru pemberi inspirasi/gagasan terorisme yang sekarang masih bergerak bebas dan liar. Mereka ibarat radikal bebas. Benar sekali saran-saran para pengamat agar jangan hanya kepolisian yang dibebani tugas. Masyarakat pun perlu mewaspadai dan berpartisipasi. Partisipasi TNI, khususnya, mutlak diandalkan. Dia mampu memasang jejaring intelijen komprehensif yang, menurut Hendropriyono dalam bincang-bincang Metro TV, sampai sekarang pun belum ada. Gawe mahabesar ini selain membutuhkan strategi intelijen, juga membutuhkan pagar legislasi untuk menjamin agar operasi membasmi terorisme tidak menyeleweng dari tujuan.

Sarang teroris

Mengapa Indonesia yang berpenduduk muslim terbesar di dunia menjadi sasaran serangan terorisme yang mengatasnamakan agama? Ini memang paradoksal. Kepolosan para teroris kita dengan mudah ditunggangi para inspirator teror yang memiliki tujuan politik global, yang mengakomodasi anasir-anasir terorisme dari sejumlah negara tetangga. Malahan sejumlah gembong terorisme datang dari sana. Semoga mereka tidak berhasil membuat negeri ini menjadi ajang kegiatan dan latihan siasat serta taktik-taktik teror mereka, yang dengan sewenang-wenang menjadikan Indonesia dan penduduknya sebagai korban. Bisa juga masyarakat kita yang naif dianggap lahan subur untuk penyemaian unsur-unsur terorisme. Kenyataan pahit yang perlu kita renungkan bersama.

Kemiskinan merangsang teror

Kalau diadakan pengumpulan pendapat umum, mungkin kurang dari 35% penduduk kita akan mengatakan keadaan Indonesia sudah memadai. Selebihnya akan mengatakan keadaannya belum memuaskan atau bahkan mengecewakan. Sejumlah 40% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan atau di seputar itu. Inilah yang mendorong mereka mau mendukung pemerintahan alternatif, termasuk yang berlandaskasn keyakinan agama. Mereka membutuhkan perlindungan sosial maupun spiritual.

Demokrasi memang menuntut pengorbanan. Sulit bagi kita untuk mencapai kesepakatan dalam semua hal. Malahan yang terjadi adalah perselisihan pendapat yang tidak henti-hentinya mengenai tujuan-tujuan yang ingin kita capai, cara-caranya, dan standar perilaku individu pemimpin maupun masyarakat. Secara psikologis masyarakat lebih terbebani daripada hidup di bawah pemerintahan otoriter. Dalam pemerintahan otoriter, tanggung jawab pengaturan ada di tangan autokrat. Sebaliknya demokrasi memungkinkan partisipasi semua pihak, yang membuat proses ketatanegaraan menjadi lamban karena mencari kesepakatan tentang banyak hal tidak gampang. Belum lagi ada orang-orang penting yang tega mengail di air keruh.

Alhasil, janji yang terngiang-ngiang tentang kesejahteraan untuk semua lambat datang atau bahkan tak kunjung datang. Saling tuduh dan saling lempar tanggung jawab menjadi ritual. Sosiolog Prancis Alexis de Tocqueville yang mengadakan pengamatan terhadap demokrasi di Amerika pada 1830 sudah menyimpulkan persamaan kesempatan tidak mungkin bisa berjalan seiring dengan kebebasan individu. Mereka yang berbicara tentang persamaan hak ternyata menginginkan lebih daripada persamaan kesempatan. Akibatnya, timbul ketimpangan. Selain ada yang miliknya berlebihan, ada yang kekurangan. Ketimpangan berlebihan merangsang radikalisme dan membuka jalan bagi terorisme.

Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group 

opini media indonesia 21 mei 2010