20 Mei 2010

» Home » Solo Pos » Harkitnas tanpa kebangkitan bangsa

Harkitnas tanpa kebangkitan bangsa

Tanggal 20 Mei ini, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).

Satu hari kemudian, bangsa Indonesia memperingati sebelas tahun runtuhnya Orde Baru yang sekaligus menjadi tonggak sejarah dimulainya Orde Reformasi.

Tepat 102 tahun lalu, di sebuah ruang belajar School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen (STOVIA), sebuah sekolah kedokteran yang namanya mengalami beberapa kali perubahan), dr Soetomo mengungkapkan gagasan tentang hari depan bangsa. Tanggal 20 Mei 1908 di gedung STOVIA, dimulailah sebuah organisasi bernama Boedi Oetomo.

Organisasi ini dibangun atas dasar keprihatinan terhadap keadaan bangsa dan banyaknya organisasi kesukuan atau kelompok. Boedi Oetomo melahirkan gagasan kebangsaan. Pada perkembangannya, organisasi ini mulai menanamkan pemahaman tentang Tanah Air Indonesia dan merintis kesadaran membangun relasi yang makin erat di antara suku-suku dan kelompok di Indonesia. Itu sebabnya, ada alur yang nyata antara Boedi Oetomo dan lahirnya Sumpah Pemuda pada 20 tahun setelah itu.

Berdirinya Boedi Oetomo oleh sekelompok pemuda dari sekolah kedokteran ini menandai suatu perubahan penting bagi bangsa Indonesia. Dia seperti penyebar perekat pulau-pulau, suku-suku, dan kelompok-kelompok di Kepulauan Nusantara sebagai suatu bangsa. Kesadaran kebangsaan itu juga yang kemudian menjadi fondasi bagi lahirnya negara kesatuan Republik Indonesia.

Kini, kita memperingati Harkitnas dan 12 tahun reformasi. Dalam keadaan bangsa sekarang, pesan moral apa yang dapat dipetik dari peringatan bersejarah ini? Apa yang telah kita lakukan untuk rakyat, bangsa, dan negara? Apakah kita lebih arif dan bijaksana dari pendahulu? Semua ini merupakan pertanyaan yang penting dikemukakan agar kita sungguh-sungguh dapat melakukan introspeksi dan retrospeksi, terutama dalam upaya penyembuhan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dari krisis. Artinya kita harus bersedia becermin kepada sejarah, melihat bagaimana sosok rupa kita sebenarnya.

Seratus tahun lebih kebangkitan nasional dan 12 tahun reformasi hanya menghasilkan kata-kata yang bersiponggang. Berbagai kebijakan pemerintah sering tidak berpihak pada wong cilik. Pemerintah sibuk dengan dirinya sendiri dan selalu melalaikan masyarakat. Berbagai aset penting negara dijual seenaknya, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Demikian pula dengan KKN yang semakin sering terjadi dengan cara-cara yang lebih halus, untuk menipu pandangan masyarakat.

Penegakan hukum yang semakin lemah adalah tanda dari buruknya kinerja lembaga-lembaga hukum di Indonesia. Hukum sering dinilai dengan uang dan kekuasaan. Hukum diterapkan dengan metode belah bambu: menginjak yang bawah dan mengangkat yang atas. Maka jangan heran di masa reformasi ini, masyarakat semakin apatis terhadap hukum. Dan berkembang luas di dalam pikiran rakyat bahwa berurusan dengan hukum adalah berurusan dengan uang. Siapa kuat dia memiliki imunitas hukum.

Di sisi lain Parpol tidak menjalankan fungsinya untuk mewadahi aspirasi masyarakat. Parpol hanya berpikir untuk merebut kekuasaan, dan dengan demikian memanfaatkan rakyat sebagai obyek. Parpol sering memfungsikan diri sebagai himpunan penguasa-penguasa kecil yang mengklaim representasi rakyat. Parpol telah secara salah mengartikulasikan kepentingan-kepentingan rakyat ke dalam tujuan-tujuan politik tertentu, padahal sebenarnya pandangan-pandangan umum rakyat tidak seperti itu.

Nilai-nilai kejujuran, kesantunan, dan persahabatan tergilas bersama ganasnya dunia politik hitam (black politics). Dan kini politik di negeri ini nampak tak dimaknakan seperti tujuan awalnya yakni sebagai keahlian atau strategi mengatur negara agar rakyat makin tersejahterakan. Sekarang ini, yang ada hanya politik kepentingan untuk diri sendiri dan kelompok. Negara, bangsa, dan Tanah Air, hanya menjadi objek dan yang tak pernah dipikirkan nasibnya. Rakyat yang seharusnya sebagai pemilik sah bangsa, negara, dan Tanah Air ini tetap telantar, kurang mendapat perlindungan, keadilan, serta jaminan kesehatan dan pendidikan yang memadai.

Di tengah budaya yang makin kapitalistik dan materialistik ini, rakyat mencari jalannya sendiri, memecahkan masalahnya sendiri, dan menghidupi dirinya sendiri semampu mungkin. Rakyat tetap melarat di tengah isu demokratisasi, reformasi, debirokratisasi, dan globalisasi. Kesejahteraan yang dijanjikan kepada rakyat tak kunjung tiba, kesejahteraan hanya ada pada para pejabat.

Kebangkitan elite

Kita belum tahu siapa yang harus melindungi rakyat dari persoalan-persoalannya sendiri. Apa pun yang dilakukan oleh para penguasa, sepertinya memang kurang mempertimbangkan keberadaan rakyat miskin. Di negeri ini, hanya ditandai oleh perubahan rezim pemerintah, (Soekarno-Soeharto, BJ Habibie-Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono), serta perubahan kelembagaan negara saja. Tanpa dibarengi oleh kesungguhan dan konsistensi dari pemerintah dalam membawa gerbong bangsa menuju kejayaan dan kemakmuran bangsa yang dapat dirasakan rakyat.

Tak heran bila kebangkitan nasional yang telah berusia seratus tahun lebih, ternyata tanpa disertai kebangkitan bangsa seutuhnya dalam menjamin kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Bahkan, makna kebangkitan nasional saat ini tampaknya semakin memudar. Sebenarnya apa yang dapat dimaknai sebagai kebangkitan nasional saat ini? Apakah kebangkitan korupsi yang semakin merajalela? Kebangkitan kemiskinan yang tidak pernah berhenti? Kebangkitan elite politik saling berebut Parpol dan kekuasaan?

Memang bukan perkara mudah mewujudkan kebangkitan nasional menuju Indonesia yang lebih baik. Persoalan yang harus diselesaikan bangsa ini pun sangat kompleks. Penyelesaiannya tidak bisa dilakukan secara terpisah. Karena antara satu dengan lainnya sangat berkaitan.

Untuk itu, momentum peringatan Harkitnas, rasanya kita perlu introspeksi diri pada tiap-tiap aktor dan peran yang harus dimainkan. Jika setiap individu hanya memuja egonya baik politik, sosial ekonomi, maupun kebudayaan, kita yakini negeri yang kukuh, aman, dan makmur tidak akan benar-benar kita dapatkan. 



Opini Solo Pos 20 Mei 2010