20 Mei 2010

» Home » Kompas » Problem Gigantisme Demokrat

Problem Gigantisme Demokrat

Sulit bagi kita untuk tidak mengatakan bahwa faktor utama kemenangan Partai Demokrat di Pemilu 2009 lebih disebabkan kuatnya daya magnet personalitas Susilo Bambang Yudhoyono ketimbang faktor kinerja pengorganisasian mesin partai.
Padahal, partai yang kelahirannya dibidani SBY ini belum genap berusia delapan tahun, tetapi berhasil meraih prestasi elektoral secara gemilang: menjadi pemenang pemilu legislatif—memperoleh suara 20,8 persen dan 148 kursi DPR— sekaligus memenangi pemilihan presiden dalam satu putaran.
Kemenangan spektakuler ini menjadi berita gembira, sekaligus kabar buruk bagi Partai Demokrat karena akan menjadi ”ancaman” bagi masa depan partai. Pasalnya, postur politik elektoral—dukungan suara di pemilu—yang bongsor itu menyebabkan Partai Demokrat mengidap ”politik gigantisme”, suatu kondisi di mana postur elektoral partai sangat besar dalam waktu cepat, tetapi kondisi organisasi kurang sehat.

 

Hal itu disebabkan bobot politik elektoral ”meraksasa” dalam rentang usia yang relatif pendek, sementara postur kelembagaan—infrastruktur, jaringan, dan sumber daya organisasi—tidak sanggup mengimbanginya.
Efek gigantisme
Seperti halnya manusia yang mengalami gigantisme—kondisi kelebihan pertumbuhan, dengan besar dan tinggi tubuh di atas normal—berisiko mengidap berbagai macam penyakit. Politik gigantisme —imbas dari popularitas dan elektabilitas SBY—yang dialami Partai Demokrat, tentu juga mengandung beberapa risiko komplikasi politik secara bervariasi: problem kepemimpinan akibat ketergantungan pada SBY, ancaman faksionalisme (konflik internal), krisis pengakaran partai, serta problem identitas partai.
Problem kepemimpinan partai muncul akibat ketergantungan Partai Demokrat pada nama besar SBY. Hal ini memang menjadi ”berkah politik”, tetapi sekaligus akan menjadi ”bencana”. Menjadi berkah karena popularitas SBY berkontribusi ”meraksasakan” bobot elektoral partai.
Menjadi bencana karena secara kelembagaan partai jadi sangat bergantung pada SBY. Jika dilihat dari perspektif institusionalisasi partai, ini jelas tak sehat. Kepemimpinan dan pola pengambilan keputusan terpusat pada ”keinginan” SBY sebagai pemilik ”veto” di partai. Problem ini akan menjadi kendala terbesar bagi Partai Demokrat untuk bertransformasi menjadi partai modern dan demokratis.
Ketergantungan terhadap sosok dan karisma SBY juga menyimpan potensi konflik dan faksionalisme internal. Posisi SBY sebagai ”Bapak” bagi semua ”kelompok” dan faksi politik di internal Partai Demokrat menyebabkan elite partai tidak terbiasa menyelesaikan persoalan internal secara mandiri dan terlembaga. Kelemahan penyelesaian secara ”adat”—pendekatan politik patron—menyebabkan sumber konflik itu sendiri tidak pernah tuntas. Kondisi seperti ini akan menjadi ancaman serius bagi Partai Demokrat ketika SBY tidak lagi memiliki kekuatan karisma dan kekuasaan.
Kemunculan problem pengakaran partai juga disebabkan faktor utama kemenangan partai lebih disebabkan kuatnya popularitas dan elektabilitas figur SBY ketimbang prestasi pengorganisasian jaringan struktur partai. Hal ini menunjukkan bahwa Partai Demokrat sesungguhnya didukung mayoritas massa mengambang (swing voters) sehingga basis konstituennya sangat cair, dan akar partai di masyarakat amat rapuh. Partai seperti ini akan lebih mudah menjadi partai mengambang dan cepat mengalami degradasi kekuatan elektoral.
Problem identitas partai juga dialami Partai Demokrat sejak kelahirannya hingga menjadi pemenang Pemilu 2009 karena terpersonalisasi oleh sosok SBY. Sejak berdiri, partai ini sangat identik dengan SBY ketimbang identitas ideologis dan orientasi program. Wacana ”nasionalis-religus” dan ”partai tengah” yang diusung partai, tenggelam oleh persepsi bahwa ”Partai Demokrat adalah partainya SBY”. Lagi-lagi, dalam jangka pendek persepsi seperti ini memang menguntungkan, tetapi jadi ancaman dalam perspektif masa depan partai.
Institusionalisasi
Keempat problem internal inilah menyebabkan Partai Demokrat tidak kunjung terlembaga sebagai partai yang kuat dan modern, sementara postur politik elektoralnya telanjur mengalami gigantisme. Pada titik inilah, politik gigantisme menjadi problematik bagi masa depan Partai Demokrat. Oleh karena itu, kongres seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat kelembagaan dan memodernisasi sistem internal partai.
Paling tidak ada beberapa agenda institusionalisasi organisasi (memperkuat postur kelembagaan) untuk mengimbangi postur elektoral partai. Pertama, melakukan modernisasi organisasi dengan melembagakan sistem kepemimpinan kolektif-kolegial (modern party), sembari perlahan melepaskan diri dari ketergantungan pada figur SBY. Kedua, mengakarkan partai di masyarakat melalui pengakaran program dan ideologi partai agar dapat diterima masyarakat, serta mengintensifkan hubungan antara partai dan konstituen (party rooting).
Ketiga, menegaskan identitas partai melalui revitalisasi ideologi dan platform partai. Strategi ”menjual” popularitas SBY mulai ditransformasikan dengan strategi menawarkan platform dan program yang menarik dan inovatif (bertransformasi menjadi partai berorientasi program dan kinerja). Keempat, reformasi dan demokratisasi sistem internal, terutama memperbaiki sistem kaderisasi dan mekanisme perekrutan. Hal itu terkait dengan sejauh mana partai mampu menciptakan prosedur internal yang demokratis dan memerhatikan faktor meritokrasi dalam sistem kaderisasi dan penjaringan.
Jika merujuk peta politik menjelang Kongres Partai Demokrat II, kandidat ketua umum tampaknya telah mengerucut pada Andi Mallarangeng (47) dan Anas Urbaningrum (41). Seandainya kedua ”darah muda” di Partai Demokrat ini berduet —sebagai ketua umum dan sekjen—maka dengan segala keunggulan dan potensi yang dimiliki keduanya akan menjadi angin segar bagi proses transisi dan transformasi Partai Demokrat menjadi partai modern yang berbasis pada sistem kelembagaan yang demokratis itu.
Akhirnya, semua berpulang kepada SBY dan elite Partai Demokrat. Apakah kongres akan menjadi momentum untuk keluar dari problematik politik gigantisme— memperkuat kelembagaan partai—atau hanya sekadar ajang suksesi kepengurusan? Selamat berkongres!
Hanta Yuda AR Analis Politik The Indonesian Institute

Opini Kompas 21 Mei 2010