31 Mei 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Pancasila, Mengapa Dilupakan?

Pancasila, Mengapa Dilupakan?

Oleh Suharizal
Pancasila yang dijadikan pijakan paling dasar, sekaligus menjadi identitas kebangsaan Indonesia selama ini, sepertinya makin hilang dari ingatan publik. Mengapa Pancasila sudah (mulai) dilupakan? Apakah Pancasila tidak lagi bisa disebut sebagai ideologi negara yang dapat dijadikan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia? Apakah "ideologi" semacam Pancasila masih relevan dalam masa globalisasi dan demokratisasi yang nyaris tanpa batas dewasa ini?
Masih segar dalam ingatan kita, Maret 2009, diselenggarakan seminar nasional tentang Pancasila yang dilaksanakan Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Hasil seminar tersebut kemudian dituangkan dalam naskah yang disebut sebagai "Deklarasi Bandung tentang Pancasila". Poin penting (dari delapan poin) deklarasi tersebut menegaskan distorsi terhadap Pancasila yang terjadi selama ini disebabkan di era reformasi kedudukan Pancasila kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak, ada semacam kekhawatiran mengangkat Pancasila dapat dianggap tidak reformis.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Pancasila menjadi marginal. Pertama, Pancasila terlanjur "tercemar" oleh kebijakan politik di masa lalu. Pancasila dijadikan alat politik untuk mempertahankan status quo. Kedua, diberlakukannya liberalisasi politik dengan penghapusan Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Ketiga, desentralisasi dan otonomi daerah yang mendorong penguatan sentimen kedaerahan yang memunculkan local nationalism. Keempat, semakin derasnya arus globalisasi yang menggerus nilai jati diri dan identitas nasional.
Marginalisasi Pancasila
Ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI mengeluarkan Ketetapan (Tap) MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), yang terjadi sebenarnya bukan memperlemah Pancasila, tetapi justru mengembalikan dan memperkuat Pancasila sebagai dasar negara dan tidak lagi menjadi alat indoktrinasi. Sejak itulah mestinya Pancasila ditunjang dan dikokohkan dengan pendidikan Pancasila sebagai pendidikan kebangsaan.
Namun pro dan kontra atas pemberlakuan Ketetapan MPR tersebut masih belum pudar sampai sekarang. Yang lebih menyedihkan, hampir tujuh puluh persen perguruan tinggi menanggalkan mata kuliah Pancasila sebagai bahan ajarnya. Ini adalah preseden buruk bagi Pancasila. Semakin Pancasila terpinggirkan, bangsa Indonesia terancam krisis ideologi dan mudah tersusupi ideologi lain yang kental sektarian.
Setelah runtuhnya Orde Baru, gelombang keterbukaan membuka kemungkinan masyarakat untuk memaknai ulang Pancasila sebagai dasar negara. Sejumlah kelompok menerjemahkan Pancasila bukan sebagai ideologi, melainkan kontrak sosial yang dirumuskan founding fathers saat mendirikan negara ini. Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun ternyata tidak banyak menyentuh pemahaman publik atas dasar negara Indonesia itu. Pemaknaan baru selama Orde Reformasi, di satu sisi, juga memperlemah memori publik soal dasar negara ini.
"Vision of state"
Pancasila memang bukan agama, karena Pancasila merupakan kumpulan nilai dan visi yang hendak diraih dan diwujudkan bangsa Indonesia saat berikhtiar mendirikan negara. Jadi Pancasila adalah vision of state. Inilah yang sering kali tidak dipahami para penentang Pancasila sebagai ideologi transnasional bangsa Indonesia.
Ke depan, guna menguatkan pancasila sebagai vision of state, paling tidak ada dua persoalan yang penting menjadi agenda bersama. Pertama, membumikan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Membumikan Pancasila berarti menjadikan nilai-nilai Pancasila menjadi nilai-nilai yang hidup dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila yang sesungguhnya berada dalam tataran filsafat harus diturunkan ke dalam hal-hal yang sifatnya dapat diimplementasikan. Sebagai ilustrasi, nilai sila kedua Pancasila harus diimplementasikan melalui penegakan hukum yang adil dan tegas. Contoh, aparat penegak hukum harus tegas dan tanpa kompromi menindak pelaku kejahatan, termasuk koruptor. Tanpa penegakan hukum yang tegas, Pancasila hanya rangkaian kata-kata tanpa makna dan nilai serta tidak mempunyai kekuatan apa-apa.
Kedua, internalisasi nilai-nilai Pancasila, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal (masyarakat). Pada tataran pendidikan formal, perlu revitalisasi mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (dulu pendidikan moral pancasila) di sekolah. Pembelajaran pendidikan kewarganegaraan selama ini dianggap banyak kalangan "gagal" sebagai media penanaman nilai-nilai Pancasila. Pembelajaran pendidikan kewarganegaraan sekadar menyampaikan sejumlah pengetahuan (ranah kognitif), sedangkan ranah afektif dan psikomotorik masih kurang diperhatikan. Ini berakibat pembelajaran pendidikan kewarganegaraan cenderung menjenuhkan siswa. Hal ini diperparah dengan adanya anomali antara nilai positif di kelas yang tidak sesuai dengan apa yang terjadi dalam realitas sehari-hari.
Di samping itu, tiga kepemimpinan nasional setelah Soeharto, sejak dari Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, sampai Presiden Megawati Soekarnoputri, gagal membawa Pancasila ke dalam wacana dan kesadaran publik. Gejala ini juga terlihat dalam kepemimpinan nasional sekarang. Baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Wapres Boediono jarang sekali berbicara tentang pentingnya Pancasila dan urgensi untuk melakukan rejuvenasi Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Sudah waktunya kepemimpinan nasional sekarang memberikan perhatian khusus kepada ideologi pemersatu ini, jika mereka betul-betul peduli pada identitas nasional dan integrasi negara-bangsa Indonesia. Ini merupakan renungan penting tanggal 1 Juni ini. Mudah-mudahan.***
Penulis, kandidat doktor Hukum Tata Negara Unpad.
opini pikiran rakkyat 01 juni 2010