31 Mei 2010

» Home » Media Indonesia » Nasionalisme, Kewargaan, dan Pancasila

Nasionalisme, Kewargaan, dan Pancasila

Fakta memperlihatkan bahwa kredibilitas Pancasila memang sedang merosot, dan pendidikan kewargaan tidak lagi populer. Sebab musababnya bisa macam-macam. Namun, satu hal yang patut kita pertanyakan, apakah fenomena ini mengindikasikan bahwa masa depan berbangsa kita sedang terancam?


Sejak reformasi, masyarakat kita memang mengalami perubahan radikal. Reformasi telah mengantarkan bangsa kita pada dunia baru yang sama sekali lain, terbuka dan liberal di tengah sebuah arus yang disebut globalisasi. Globalisasi tidak hanya mengubah selera dan gaya hidup satu masyarakat bangsa menjadi sama dengan bangsa lain, tetapi juga menyatukan orientasi dan budaya menuju satu budaya dunia (world culture).

Perkembangan dan pengaruh kapitalisme transnasional pun menjadi kian kokoh dan meluas menggantikan kapitalisme negara.

Situasi di atas tentu menimbulkan berbagai konsekuensi, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun berbangsa, melahirkan sebuah masyarakat baru dengan penuh penghayatan dan kesadaran berbangsa yang lain pula.

Perubahan corak nasionalisme di antaranya merupakan yang paling nyata dan penting. Saya menyaksikan tanda-tanda nasionalisme ala negara sedang digantikan oleh sebuah nasionalisme baru yang bercorak massa. Nasionalisme ini lebih subtil, setiap individu berperan sebagai penafsirnya sendiri. Pada nasionalisme ala negara, aktor yang berperan sebagai penafsir nasionalisme adalah negara itu sendiri karena orientasinya adalah kekuasaan. Semangatnya pun terus terjaga melalui lagu-lagu kebangsaan yang diperdengarkan setiap jam di radio dan televisi. Oleh karena itu, ekspresinya lebih heroik.

Nasionalisme ala massa berbasis bukan pada mitos tentang ancaman, utopia, atau kedigdayaan masa lalu, yang dapat mengorbankan patriotisme dan heroisme. Namun sebaliknya, pada sesuatu yang lebih dekat, konkret, dan memiliki makna pragmatis sebagai identitas diri, yakni bangsa. Singkatnya, konstruksinya mengalami penyederhanaan, tidak lagi bersifat romantis dan hegemonik seperti dulu; cenderung praktis, terbuka dan mengandung etos menuju harmoni. Ekspresinya tidak meluap-luap, tapi cenderung rasional.

Patriotisme pada nasionalisme ala massa memiliki definisinya sendiri, yang bebas dari imajinasi-imjinasi masa lalu yang heroik dan romantis. Konstruksinya lebih berorientasi ke masa depan pada nilai-nilai universal dan kemodernan. Bentuk ekspresinya pun tidak tunggal, bahkan di sana-sini mencerminkan pengaruh budaya massa sehingga tampak pragmatis. Kegiatan pengembangan oleh LSM, para pemuda dengan group-group musiknya, usaha mendorong demokrasi, good and clean governance, dan lain sebagainya, adalah manifestasi paling nyata dari patriotisme baru ini. Semua aktivitas itu terangkum dalam suatu komitmen, yakni keterikatan pada semangat membangun negeri, tanah harapan yang menjadi identitas mereka. Inilah imajinasi dasar materi nasionalisme era globalisasi ini. Jadi, meski konstruksinya mengalami penyederhanaan, tetap tidak kehilangan rohnya.

Saya tidak bisa menilai, apakah nasionalisme ini lebih baik atau lebih buruk. Yang pasti setiap zaman dan generasi memiliki warna dan imajinasinya sendiri. Bahwa ketika lingkungan sosial berubah dan berkembang, peran sejarah dan kesadaran kolektif juga berubah dan berkembang.

Masyarakat itu terus berkembang dan berubah. Demikian pula bangsa, panta rhei, demikian kata Heraclius. Adapun globalisasi merupakan bentuk dari perkembangan dan perubahan itu. Oleh sebab itu, kita tidak perlu memandangnya sebagai horor yang membahayakan, terutama terhadap kohesivitas dan keutuhan bangsa. Rasa khawatir adalah wajar. Namun, sepanjang kita dapat mengelola kehidupan kewargaan dan kewarganegaraan yang baik, kekhawatiran itu insya Allah tidak akan terjadi.

Dari pengalaman masa lalu, kita memperoleh pelajaran berharga bahwa menjaga keutuhan bangsa dengan pendekatan kekuasaan ternyata tidak baik, bahkan menimbulkan ekses yang kontraproduktif. Yang paling kasatmata adalah munculnya gerakan-gerakan perlawanan dalam berbagai manifestasinya. Mudah dipahami karena dalam sebuah negara yang memiliki lebih dari 400 kelompok etnis dan bahasa, pendekatan kekuasaan akan mudah menjerumuskan dalam kediktatoran.

Menegakkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip kewargaan (citizenship) adalah cara yang paling baik untuk menjaga kohesivitas dan keutuhan bangsa. Mengapa? Karena basis kewargaan adalah bangsa. Seperti kata Ben Anderson, bangsa adalah sebuah komunitas yang dibayangkan dalam keterikatan sebagai comradeship, persaudaraan yang horizontal dan mendalam. Dia lahir bukan atas dasar ras, agama, atau daerah. Tetapi pada persaudaraan dan cita-cita bersama dalam sebuah komunitas yang bernama negara, sebagai tanah harapan (the land of promise). Dengan demikian, kewargaan bukan hanya sekadar gagasan bahwa seseorang menjadi anggota dalam satuan politik yang disebut negara. Pemaknaan sempit sepeti itu telah menimbulkan masalah kemanusiaan karena negara mudah berubah menjadi monster. Kewargaan juga mengandaikan bahwa mereka adalah subjek legal, yang memiliki hak-hak aktif dalam politik, hak mengklaim, hak memiliki identitas kultural, berkesetaraan, dan memperoleh kesejahteraan; dan mereka adalah sumber kedaulatan.

Prinsip-prinsip kewargaan tersebut ibarat nutrisi yang menentukan sehatnya sebuah bangsa, bahkan eksistensinya di mata warga negara. Jika prinsip-prinsip itu kita tegakkan, kohesivitas dan keutuhan bangsa akan terjaga. Mengapa? Karena pelaksanaan prinsip-prinsip itu akan mewujudkan bonum public, sebuah tujuan hakiki negara. Demokrasi yang kita bangun sekarang ini seharusnya diabdikan untuk menegakkan prinsip-prinsip tersebut agar manfaat demokrasi tidak hanya dinikmati sekelompok golongan. Lihat saja, demokrasi kita ternyata hanya mampu mengontrol masalah politik, tidak terhadap masalah ekonomi sehingga keadilan ekonomi tetap menjadi masalah besar bangsa kita. Sebab musababnya adalah, menurut saya, karena kita melalaikan masalah Pancasila.

Padahal sebagai dasar negara, Pancasila adalah barometer moral yang menjadi dasar kerangka kewarganegaraan. Pancasila secara fundamental merupakan kerangka yang kuat untuk pendefinisian konsep kewarganegaraan yang inklusif sebab di dalamnya memiliki komitmen yang kuat terhadap pluralisme dan toleransi. Komitmen inilah yang mampu mempersatukan dan menjaga keutuhan bangsa yang terdiri dari 400 lebih kelompok etnik dan bahasa, tersebar di 3000 dari 17.504 pulau, 177 juta orang beragama Islam dengan berbagai alirannya, 23 juta penganut agama resmi lainnya, dan sekitar setengah juta penganut agama lokal.

Perlu digarisbawahi, ancaman laten yang paling membahayakan bangsa ini adalah disintegrasi sosial kultural. Peningkatan gejala provinsialisme pascareformasi yang tumpang tindih dengan sentimen etnisitas adalah bara api yang dapat membakar disintegrasi sosiokultural tersebut. Bila ini terjadi, akan mengancam disintegrasi politik; selanjutnya, akan mengancam terjadinya disintegrasi bangsa. Tentu ini tidak kita kehendaki.

Barangkali peringatan JS Furnivall perlu selalu kita ingat bahwa bangsa ini akan terjerumus ke dalam anarki jika gagal menemukan formula pluralisme. Inilah pentingnya kita kembali peduli kepada Pancasila, melaksanakan komitmen-komitmennya, dan menegakkan prinsip-prinsip kewargaan.

Oleh As̢۪ad Said Ali Penulis buku Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa
opini media indonesi 01 juni 2010