31 Mei 2010

» Home » Kompas » Tantangan Palestina Merdeka

Tantangan Palestina Merdeka

Sabtu (29/5), Presiden Palestina Mahmoud Abbas melakukan kunjungan bilateral ke Indonesia. Indonesia konsisten mendukung penuh berdirinya negara Palestina merdeka (Kompas, 30/5).
Bahkan, Indonesia secara aktif melatih aparat pemerintahan Palestina guna menyambut saatnya tiba bagi berdirinya negara Palestina merdeka.
Bagi Abbas, ini merupakan kunjungan kedua ke Indonesia (walaupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum sekali pun berkunjung ke Palestina). Maklum, Indonesia adalah salah satu negara berpenduduk Muslim yang sangat mendukung penuh perjuangan Palestina menuju kemerdekaan.
Apalagi otoritas Palestina telah menetapkan target waktu bagi berdirinya negara Palestina, yaitu dalam dua tahun ke depan. Kunjungan Abbas dan dukungan Indonesia jadi sangat penting guna mewujudkan target ini.
Di samping meningkatkan jadwal kunjungan ke luar negeri untuk menggalang dukungan politik, otoritas Palestina juga telah ”memaksakan diri” memulai perundingan ”setengah hati” dengan pihak Israel. Perundingan tak langsung ini dimulai sejak 9 Mei lalu dan diperkirakan berlangsung empat bulan sebelum kedua belah pihak memulai perundingan secara langsung.

 

Dikatakan ”memaksakan diri” karena perundingan tidak didukung secara bulat oleh semua kekuatan politik di Palestina. Disebut setengah hati karena ketidakkompakan dalam berunding terjadi di kedua belah pihak, Palestina dan Israel. Hal ini terlihat jelas dari maraknya aksi penolakan atas perundingan.
Faksi Hamas dan Jihad Islam, contohnya, terang-terangan menolak perundingan. Bagi dua faksi politik radikal ini, perundingan ini tak lebih sekadar tabir Israel untuk meneruskan politik penjajahan dan pendudukan tanah-tanah Palestina. Mereka menganggap perundingan tidak merepresentasikan aspirasi rakyat Palestina. Bahkan, penolakan terdengar keras dari faksi Fatah. Padahal, faksi Fatah dan pihak terkait (seperti otoritas Palestina dan PLO) merupakan sponsor utama perundingan kali ini.
Penolakan juga datang dari pihak Israel, terutama kelompok ekstrem yang jadi basis kekuatan utama pemerintahan Israel kini.
Tantangan 
Setidaknya ada tiga tantangan bagi perdamaian dan terwujudnya negara Palestina merdeka. Pertama, sikap Israel yang keras dan cenderung militeristik dalam menyelesaikan persoalan yang ada. Sejauh ini, Israel tak menampakkan kehendak tulus dan kuat untuk mewujudkan perdamaian di bumi Para Nabi ini.
Israel sudah sering kali menghujani Palestina dengan pelbagai macam peluru. Relawan asing yang bermaksud membantu rakyat Palestina pun dipersulit Israel dengan pelbagai macam dalih.
Kedua, sikap otoritas Palestina terkesan partisan. Mereka sejauh ini gagal menjadikan dirinya payung besar yang menaungi segenap warga Palestina untuk memperjuangkan dan mewujudkan cita-cita bersama. Otoritas Palestina acap kali hanya ”memanjakan” Fatah sebagai faksi politik basis kekuatan Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Dari perspektif sebab-akibat, sikap otoritas Palestina mungkin masih bisa dibenarkan. Mereka bersikap demikian setelah faksi lain (terutama Hamas) cenderung liar dan punya agenda politik tersendiri. Bahkan, Hamas tidak mau mengikuti kedaulatan otoritas Palestina, sebagaimana telah dimaklumi bersama.
Namun, dari perspektif kebangsaan, sikap partisan otoritas Palestina tak dapat dibenarkan. Hal ini hanya memperlemah posisi Palestina, terutama di mata Israel dan komunitas global. Dari perspektif kebangsaan, perpecahan di tubuh politik Palestina merupakan tanggung jawab dan kesalahan otoritas yang berwewenang.
Ketiga, perpecahan yang tak kunjung selesai di tubuh Palestina, terutama antara faksi Fatah dan Hamas. Perpecahan sudah sangat mengkhawatirkan. Bukan hanya karena upaya-upaya untuk menyatukan kekuatan politik Palestina selalu gagal, perpecahan tidak jarang mengorbankan rakyat Palestina. Perpecahan internal ini semakin memupuskan cita-cita terwujudnya negara Palestina pada masa mendatang.
Palestina dan Israel, faktor utama terwujudnya perdamaian antarkeduanya. Pihak luar, seperti dunia Arab, dunia Islam, AS, Eropa, dan yang lain hanyalah penopang. Sebesar apa pun upaya dan dukungan perdamaian dari pihak luar takkan menghasilkan apa pun bila Israel-Palestina tak menghendaki adanya perdamaian.
Faksi politik dan kekuatan lain adalah faktor utama berdirinya negara Palestina merdeka. Sejauh mana kekuatan politik Palestina bisa bersatu-padu, sejauh itu pula harapan berdirinya negara Palestina merdeka bisa terwujud.
Hal yang sangat mengkhawatirkan sekaligus menyedihkan adalah, yang terjadi di Palestina sejauh ini justru perpecahan, konflik internal, saling menafikan dan saling mengorbankan rakyat Palestina sendiri.
Hasibullah Satrawi Pemerhati Politik Timur Tengah dan Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir. Kini Aktif di Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta

Opini Kompas 1 Juni 2010