31 Mei 2010

» Home » Kompas » Empat Tahun Bersama Racun Lapindo

Empat Tahun Bersama Racun Lapindo

Awal Januari 2010 gelembung-gelembung gas mulai menyeruak dari halaman rumah Irsyad. Mantan petani dari Besuki Timur ini terkaget-kaget.
Ia sangat cemas karena gas ini menyala saat tersulut api. Meski hanya berlangsung beberapa hari, kejadian ini bisa menunjukkan betapa ia dan warga Besuki Timur, Ketapang, Mindi, Jatirejo Barat, Siring Barat, Gedang, dan desa-desa di sekitar pusat semburan hidup sangat tidak aman. Selama empat tahun, tak kurang dari 180 semburan dan gelembung gas dijumpai. Kondisinya dibiarkan, beberapa ditangani, selebihnya hanya ditandai papan bertulis berbahaya.


Emisi gas hidrokarbon pada semburan dan gelembung yang ditemukan di Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi mencapai 441.200 ppm, delapan puluh kali lipat lebih di atas ambang baku yang hanya 5.000 ppm (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 129 Tahun 2003). Adapun batas ambien pada udara 0,24 ppm dilampaui dengan adanya temuan hingga 55.000 ppm, yang berarti 229.100 kali lipat dari ambang baku. Temuan tim pelaksana pemantauan permukiman bentukan Gubernur Jawa Timur tahun 2008 ini ditindaklanjuti dengan surat rekomendasi kepada Presiden.
Apa lacur, Presiden mengeluarkan Perpres No 48/2008 yang justru menunjuk daerah lain sebagai prioritas terdampak. Baru tahun 2009 dikeluarkan Perpres No 40/2009 yang mengatur evakuasi melalui bantuan sosial bagi warga di wilayah Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi (tiga RT).
Dengan pembiaran kondisi sejak lumpur menyembur pada 29 Mei 2006, tidak mengherankan jika ditemukan peningkatan jumlah penderita ISPA di Porong. Berdasar data puskesmas setempat, penderita ISPA tahun 2007 tercatat 46.652 warga, meningkat dua kali lipat dari tahun 2006 yang hanya sekitar 23.000. Buruknya kualitas air juga menunjukkan dampak peningkatan pasien perempuan dengan gangguan kesehatan reproduksi. Tren ini tahun 2008 tercatat pada pos layanan kesehatan Puskesmas Jabon yang pernah ada di wilayah pengungsian eks Tol Besuki.
Bahaya logam berat
Temuan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim melalui riset kandungan logam berat dan polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) juga menunjukkan dilampauinya ambang batas kelayakan. Logam berat jenis kadmium (Cd) dan timbal (Pb) ditemukan melebihi baku mutu pada seluruh 20 titik sampel pada 2007/2008 dengan jumlah rata-rata mencapai 0,3063 miligram per liter (mg/l), atau 100 kali lipat lebih di atas ambang baku mutu yang ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan No 907/2002 yang hanya 0,003 mg/l. Adapun kandungan kromium (Cr) dan tembaga (Cu) masih di bawah ambang baku.
PAH jenis crysene juga ditemukan melebihi baku hampir di seluruh titik sampel di area lumpur dan kawasan sekitarnya, sedangkan Ben(z)anthracene ditemukan di tiga titik sampel. PAH merupakan senyawa organik yang berbahaya dan bersifat karsinogenik. Tidak menyebabkan terbentuknya tumor ataupun kanker secara langsung, tetapi dalam sistem metabolisme tubuh akan diubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan sangat berpotensi menyebabkan timbulnya tumor dan risiko kanker (UNEP, 2001). Dampaknya juga tidak bisa dilihat seketika. Butuh waktu 5 hingga 10 tahun untuk menemukan potensi kanker paru-paru; kanker kulit; dan kanker kandung kemih bagi manusia yang pernah terpapar dalam waktu lebih dari delapan jam.
Kematian Ibu Jumi, Tiyami, Luluk, Sutrisno, Yakub, dan beberapa warga lainnya pada kurun 2008-2009 dengan sebab yang tidak terdiagnosa jelas seharusnya menjadi catatan penting bagi aparatus pemerintah untuk melakukan tindakan khusus dan memonitor secara intensif. Ibu Jumi membesar perutnya setelah setahun semburan lumpur, setahun berikutnya ia meninggal.
Asal lumpur dari kedalaman lebih dari 9.000 kaki juga patut dicurigai membawa segala macam kandungan mineral dan berbagai zat berbahaya lainnya. Ditemukannya logam berat, berbagai jenis hidrokarbon, dan PAH tak menutup kemungkinan masih dapat dijumpai jenis senyawa radioaktif yang memiliki dampak lebih signifikan.
Pengolahan lumpur sebelum digelontor ke laut melalui Sungai Porong juga harus dilakukan. Jika tidak, keseluruhan wilayah Selat Madura akan tercemar (Walhi, 2006). Apalagi tambak-tambak yang menggantungkan pasokan air tawar dari sungai porong dan air laut Selat Madura. Produksi udang organik terbesar dari wilayah timur Sidoarjo, dengan nilai ekspor sekitar Rp 800 miliar per tahun, juga tak mungkin dapat dipertahankan jumlah dan kualitasnya.
Hasil panen bandeng yang telah merosot pada tambak-tambak di Permisan dan sekitarnya merupakan indikator kuat tidak normalnya kualitas air. Bisa dibayangkan, jika kandungan logam berat dan zat-zat berbahaya lainnya terakumulasi secara terus-menerus pada biota yang dikonsumsi, maka dampak lumpur Lapindo akan kian meluas.
Kerusakan ruang hidup dan hilangnya aset warga yang penyelesaiannya hanya dinilai sebatas material tanah dan bangunan adalah penghinaan logika. Sawah milik Irsyad sebagai lahan produksi yang tidak bisa diolah sejak tahun pertama semburan hanyalah satu dari sekian puluh ribu lahan warga yang terdampak lumpur. Sekitar 80-an hektar sawah yang pernah terendam lumpur di desa Besuki tidak menyisakan syarat tumbuh bagi padi. Irsyad dan petani lain pernah sekali mencoba. Meski padi tumbuh hidup, tidak ada bulir padi yang dihasilkan. Pemerintah dan perusahaan setali tiga uang melihat dampak lumpur hanya terkait dengan kerusakan fisik yang ada. Irsyad dan ribuan warga lain yang wilayahnya tidak masuk dalam peta terdampak 22 Maret 2007 tidak pernah dilihat sebagai korban.
Tindakan mendesak
Racun dan kandungan berbahaya tentu tidak bisa diselesaikan dengan papan pengumuman tanda bahaya. Kehancuran ekologis kawasan muara Sungai Porong, pesisir timur Sidoarjo, dan Selat Madura juga tidak bisa disulap dengan melakukan pembangunan fisik sepanjang tepian sungai. Apalagi menutupi bahaya dan risiko lumpur Lapindo dengan program turisme yang dicanangkan atau sulap dengan melakukan pembangunan fisik sepanjang tepian sungai.
Pengalokasian uang rakyat hingga Rp 7,210 triliun sampai tahun 2014 dalam Rencana Tindak Pembangunan Jangka Menengah untuk penanganan lumpur Lapindo tidak akan pernah cukup ketika berhitung dampak-dampak yang kompleks dan meluas. Penanggulangan dan pemulihan yang dilakukan senyatanya hanya untuk pencitraan.
Tindakan untuk mencari tahu zat-zat berbahaya, pemulihan kualitas lingkungan, pemeriksaan medis, dan pemulihan ekonomi sosial warga seharusnya dilakukan tanpa menunggu kondisi lebih buruk. Evakuasi warga dan pembatasan kunjungan pada wilayah berbahaya di sekitar semburan lumpur dan gas mutlak dilakukan.
Bambang Catur Nusantara Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur

Opini Kompas 1 Juni 2010