21 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Negeri Para Bedebah ?

Negeri Para Bedebah ?

Oleh Soeroso Dasar

Di tepi jalan si miskin menjerit
Hidup meminta dan menerima
Yang kaya tertawa berpesta pora
Hidup penuh mandi kecurangan
Sadarlah kau jalan hidupmu
Yang selalu menelan korban yang lain
Bintang jatuh hari kiamat
Pengadilan yang penghabisan......


Di atas adalah penggalan syair lagu yang dinyanyikan oleh Black Brothers. Musisi ternama dari Papua, yang pada akhirnya Henky dkk. terpaksa harus hengkang terusir dari negeri sendiri ke negeri kincir angin akibat kritik-kritik sosialnya di masa Orde Baru. Ketimpangan pembangunan yang terjadi dikemas Black Brothers dalam hitnya ”Hari Kiamat”. Itu baru kisah kecil bagaimana sekelompok orang mengemukakan pendapatnya tentang negeri ini. Karena tidak sedikit kelompok, individu lain yang dengan caranya sendiri berusaha ”mengingatkan” perjalanan panjang proses pembangunan bangsa di atas trek yang benar. Ada yang diancam harus keluar dari pegawai negeri, meringkuk di tahanan, bahkan nyawa melayang, dan lainnya. Surutkah kelompok orang  yang meneriakkan kebenaran itu?

Ternyata tidak. Patah tumbuh hilang berganti. Sekalipun pemerintahan, partai politik yang berkuasa terus berganti, ternyata kebenaran tetap harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh. Karena agama mengajarkan kita : ammar makruf nahi mungkar. Pantaskah negeri ini dijuluki surga untuk para bedebah? (Meminjam istilah Adhi M. Marshadi). Penggarong uang rakyat yang sebagian besar melata kelaparan begitu datang silih berganti. Dana BLBI yang hingga kini menjadi beban berat APBN, Bank Century yang debatnya di parlemen belum putus, dan lainnya mewarnai biadabnya para bedebah menggarong uang rakyat. Begitu pula dengan para koruptor yang sudah divonis, yang bahkan masih dapat menikmati ”surga” di balik jeruji besi, dengan berbagai fasilitas yang mengiurkan? Sementara di ruangan sebelah berdesakan para narapidana lain bak ikan sardencis? Sungguh tidak adil negeri ini. 

Ada satu tulisan yang mampu mengetuk hati manusia, yakni kemiskinan adalah kekayaan teragung. Di dalam kemiskinan, terdapat silau tersembunyi dari suatu yang autentik, sejati, polos, dan sebenarnya. Oleh karena itu, kekayaan tidak selalu sejalan dengan kemiskinan. Bila manusia tidak kehilangan kemurnian cipta mula, maka kita pun akan berjalan dengan ketelanjangan dan kebugilan suci. Kenapa? Karena nenek moyang kita Adam sewaktu di Taman Firdaus pun ”telanjang”. Untuk menutupi ketelanjangan itulah kita membutuhkan papan, pakaian, dan segala wujud lahiriah. Di sinilah ”kekayaan dan kepalsuan” menjadi sinonim. Akan tetapi, tidak sedikit manusia menganggap kekayaan merupakan bagian hidupnya. Kalau manusia sudah dirasuki nafsu untuk menguasai sehektare dari alam ini, maka ia harus berhenti menjadi pemilik jagat ini. Akan tetapi, bila manusia bebas dari pemilikan, maka ia akan miskin.

Dalam perspektif tadi, kemiskinan adalah kekayaan teragung. Walaupun kemiskinan merupakan kekayaan teragung, Islam justru memuji kekayaan dengan mengatakan tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Bahkan kemiskinan dapat mendekatkan diri seseorang dengan kekufuran. Persoalan harta semakin strategis, sebab di kemudian hari akan ditanya dari mana harta diperoleh dan ke mana dinafkahkan. Islam lebih menonjolkan keseimbangan dalam menempatkan posisi harta di dunia.

Rasul pernah bersabda, ”Kamu boleh cemburu hanya pada dua kelompok. Pertama mereka yang berilmu dan mengabdikan ilmunya kepada orang lain tanpa pamrih. Kedua, orang yang kaya namun tidak pernah berhenti memberikan sedekah, infak, dan kebaikan lainnya.” Jadi memperoleh harta dengan baik dan dinafkahkan ke jalan yang baik pula, merupakan semangat dan nilai ilahiah yang harus ditegakkan. 

Terkadang begitu menggelikan kita membicarakan orang miskin, karena strategi untuk menurunkan tingkat kemiskinan dibuat oleh orang kaya. Apakah membicarakan orang miskin merupakan ”empati” atau sedekah? Bagaimanapun juga tidak ada suatu kekuatan dan strategi apa pun yang mampu meratakan dan menghapus kemiskinan, kecuali semua orang disamakan dalam kemiskinan. Maukah orang kaya menggantikan posisi orang miskin?

Persoalan membicarakan orang miskin sebenarnya adalah persoalan keadilan dan mengangkat derajat serta peradaban manusia. Bukan menjadi objek dari suatu kegiatan, di mana yang menjadi objek tetap saja miskin. Para bedebah, telah memanfaatkan orang miskin sebagai mata pencahariannya. Berbagai dalih digunakan untuk membela orang mikin. Coba lihat terpidana Artalyta, alasan ia bisa memimpin rapat usahanya di dalam penjara karena ia harus menghidupi sekian banyak karyawan kebun kelapa sawit di Lampung. Bagaimana hukum bisa dipermainkan di negeri ini. Bukankah dengan uang haram itu dia menjalankan usahanya? Pola lama berlaku kembali. Yang dirampok uang rakyat 10 miliar, Rp 200 juta disumbangkan ke panti asuhan dan diliput oleh media. Maka ia dinobatkan sebagai orang baik hati. Pola-pola seperti ini masih terus terjadi, karena pencitaran diri para bedebah tersebut melalui uang secara terus-menerus dimunculkan.

Ada empat kekuatan dalam diri manusia yang terus berinteraksi. Pertama, kekuatan akal (al-quwwah al-a’aqliyyah). Kekuatan ini juga dikenal dengan nama kekuatan al-malakiyyah. Oleh karena itulah manusia bisa naik ke alam para malaikat, kesucian, dan alam kedekatan Ilahi. Kedua, kekuatan syahwat (al-quwwah asy-syahwiyyah), atau disebut juga kekuatan al-bahimiyyah (kebinatangan), karena keberadaannya lebih buruk dari binatang. Ketiga, kekuatan ghadhab (al-quwwah al-ghadhbiyyah), yang kadang-kadang mirip sifat kebinatangan, karena ia merupakan kekuatan yang dibekalkan pada binatang buas dan binatang berbahaya. Kedua kekuatan ini (syahwat dan ghadhab) yang menarik manusia ke alam materi dan ke dunia yang hina. Keempat adalah kekuatan waham (al-quwwah al-wahmiyyah), kekuatan yang memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Kekuatan inilah yang membantu di jalan yang benar atau keliru sehingga ia mendapat berbagai fasilitas untuk merealisasikan apa yang diinginkan dan dipilihnya. (lihat : Syyid Kamal al-Haidari, ”Jihad Akbar: Menempa Jiwa, Membina Ruhani”). 

Dalam kehidupan manusia, kekuatan apa yang akan menghamba pada kekuatan waham? Apabila yang dominan adalah kekuatan syahwat dan ghadhab, maka ia akan menjadi tirani di atas bumi. Dia akan menjadi bedebah-bedebah dalam bentuk Firaun, Ba’lam, Qorun di zaman transparan ini. Namun apabila yang dominan adalah kekuatan akal, maka pribadinya muncul seperti pribadi Nabi, para sahabat, syuhada. Pribadi manakah yang menonjol dalam proses pembangunan bangsa yang terus berlangsung, apakah manusia seperti Firaun atau pribadi manusia duplikat Nabi? 

Dengan mata telanjang kita bisa menebak sendiri. Maka, tidaklah berkelebihan apabila Allah terus-menerus mendera kita dengan berbagai musibah dan cobaan. Untunglah masih ada sekelompok masyarakat yang tetap menyeru kepada kebenaran, dan terus berzikir mengingat Allah, sekalipun dicibirkan di tengah pergaulan masyarakat, atau dianggap sok suci. Kalau tidak, negeri ini pasti sudah ditenggelamkan oleh Yang Mahakuasa. Tidak ada waktu terlambat untuk menata ”otak kanan” manusia Indonesia dengan lebih menekankan pembangunan budi pekerti, budaya, agama, adat istiadat yang adiluhung, harmoni, dan saling menghormati. Bukan yang dibangun manusia-manusia robot yang hedonis dan menghalalkan segala cara, mengumpat, mencaci, dan menjadi raja-raja kecil. Janganlah sampai berlanjut negeri zamrud khatulistiwa yang dihuni banyak para bedebah. Terlalu berat yang harus kita pertanggungjawabkan kepada Ilahi Rabi. Semoga...***

Penulis, pemerhati Masalah sosial. Penasihat majelis Dzikir dan Doa Masjid Nurul Qolbi Kota Bandung. 
Opini Pikiran Rakyat 22 Januari 2010