21 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Mafia di Mana-Mana

Mafia di Mana-Mana

Skandal nasional tentang perselingkuhan seorang pejabat yang berujung pada tewasnya saingan, dan kemungkinan dijatuhkannya hukuman mati pada beberapa orang lainnya, membuat kita bertanya-tanya: apakah ini perselingkuhan biasa, atau ada skenario besar di baliknya? Kebetulan pejabat tersebut mantan petinggi KPK dan pembunuhan terhadap saingannya bergaya mafia--melibatkan beberapa dalang dan sejumlah pembunuh. Kalau hanya karena cinta segitiga, mungkin yang terjadi satu lawan satu, dan 'dor', habis perkara.


Gaya mafia juga tercium di dua skandal nasional lain. Yang satu soal kecurigaan penyuapan yang melibatkan tokoh-tokoh KPK Bibit-Chandra. Yang lain tentang Bank Century yang mengakibatkan kebocoran uang negara triliunan rupiah. Proses pengungkapannya berlarut-larut sampai sekarang, yang mendatangkan komentar 'melelahkan' dari banyak pihak.

Dalam semua skandal tersebut, yang menarik adalah berperannya mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI, Komisaris Jenderal Susno Duadji. Penelusuran lebih lanjut diharapkan memperjelas bagaimana duduk perkara sebenarnya semua persoalan itu.

Siapa menjadi korban?

Tepat sekali ketika Metro TV baru-baru ini membuat acara bincang-bincang dijuduli Mafia di Mana-mana. Konsep atau pengertian 'mafia' sebenarnya adalah sikap yang bertentangan atau memusuhi hukum dan pemerintahan. Kelompok mafia biasanya bersifat eksklusif dan mendominasi. Dalam hal skandal-skandal nasional akhir-akhir ini, siapa yang dimusuhi atau dipecundangi? Siapa yang menjadi korban atau dikorbankan? Ini patut direnungkan.

Pernah ada artikel menarik di majalah Time tentang pengakuan Nicholas Caramandi, bekas anggota mafia Philadelphia yang kemudian menyeberang ke pihak pemerintah. Berdasarkan pengalaman dia, mafia adalah persekongkolan yang membuat anggota-anggotanya merasa tidak tenang dan saling curiga, tetapi merasa bangga karena luar biasa ditakuti banyak orang. Di kelompok itu sang bos berkuasa secara mutlak. Satu-satunya aturan main yang harus dijaga ditentukan oleh sang bos yang paranoid, yang tidak rela melihat orang lain berambisi, dan yang pendendam. Dia tidak akan melupakan orang yang bersikap sembrono terhadap dirinya, sekalipun kejadian itu berlangsung bertahun-tahun sebelumnya. "Saya seperti kura-kura. Akhirnya saya toh sampai di sana," ungkapnya tentang saat pembalasan dendam. Siapa yang tidak miris menghadapi kelompok macam itu? Mengerikan.

Pencanangan program 'ganyang mafia hukum' oleh pemerintah menunjukkan gejala-gejala itu ada. Korbannya sudah banyak, terutama di kalangan rakyat kecil yang sering harus menebus kesalahan yang relatif kecil dengan hukuman tidak sepadan. Sebaliknya, seperti terungkap akhir-akhir ini, betapa tidak sepadannya penebusan yang relatif ringan oleh tokoh-tokoh kakap yang melakukan pelanggaran hukum yang berat. Rakyat akan terus menjadi saksi, berapa jauh program pemberantasan mafia itu akan bergulir.

Apakah kebenaran selalu menang?

Sungguh ironis dan tragis bagaimana sekelompok orang dalam masyarakat demokratis dapat bertindak sewenang-wenang, mau menang sendiri, untuk kepentingan sendiri. Paling aman adalah menghindar, jangan sampai berurusan dengan orang-orang itu, siapa pun mereka itu. Sistem mafia ada di mana-mana; di kalangan ibu-ibu, mahasiswa, politik, bisnis... sebut apa saja di kalangan pemerintahan maupun swasta. Yang beda hanya cara menjalankan sistemnya.

Yang mempersulit situasi, di dunia modern yang serbakompleks ini tidak ada yang murni hitam-putih. Malahan barangkali lebih banyak yang abu-abu. Siapa bilang kebenaran tidak mengandung kesalahan? Atau sebaliknya? Misalnya, perhatikan ketika cerita silat atau wayang ditayangkan dan ditonton bersama oleh majikan dan para pembantunya, baik majikan maupun pembantu sama-sama menangis ketika melihat orang baik yang sedang menjadi lakon kena cobaan. Walaupun para pembantu seumur hidup merasa tertindas, dan majikan ditakdirkan untuk seumur hidup menindas, dua-duanya membayangkan diri menjadi orang baik yang sedang kena cobaan.

Kata Plato, filsuf Yunani (427-347 SM), kuda mengangankan Tuhan seperti dirinya. Pesan yang disampaikannya, setiap orang membuat penilaian sesuai dengan pikiran dan pribadinya. To each his own. Karena itu, orang mencari kecocokan masing-masing. Misalnya, dalam tiga skandal nasional, yang berkembang menjadi tontonan TV menarik, khususnya sidang-sidang Pansus Century, kita masing-masing sejauh ini menentukan keberpihakan sendiri. Itulah indahnya kebebasan dalam alam demokrasi.

Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 22 Januari 2010