21 Januari 2010

» Home » Solo Pos » Gejala otoritarianisme dalam fatwa

Gejala otoritarianisme dalam fatwa

Pengajar Ilmu FikihJurusan Dakwah & Komunikasi STAIN Surakarta.Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jatim dalam bahtsul masail, Kamis (14/1) malam, bertempat di Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo, Kediri, Jatim mengeluarkan beberapa butir “fatwa” yang kontroversial.

Dalam kegiatan yang diikuti 248 perwakilan dari 46 Ponpes putri se-Jatim itu, FPM3 mengharamkan 6 permasalahan yang mengemuka di tengah masyarakat.


Enam permasalahan itu adalah pekerjaan ojek dan naik ojek untuk seorang wanita, rebonding rambut bagi wanita belum bersuami, peran sebagai orang Nasrani untuk aktris muslimah, pembuatan foto prewedding, pembuatan foto mempelai yang dilakukan dengan ikhtilat (percampuran laki-laki dan perempuan), khalwat (berduaan) dan kasyful aurat (membuka aurat) dan pekerjaan fotografer prewedding.
Meskipun penyelenggara telah menegaskan bahwa pengharaman persoalan tersebut bukan merupakan fatwa, tapi tidak lebih hanya sebagai saran dan semua keputusan dikembalikan kepada masyarakat dalam menyikapinya, tetap saja akan berdampak luas. Terlebih “fatwa” itu tidak hanya ditujukan untuk kalangan sendiri. Terbukti pihak penyelenggara tidak keberatan materi “fatwa” itu diekspos oleh media massa.
Mencermati materi butir-butir “fatwa” tersebut, apa pun alasan dan latar belakangnya, tampaknya hal itu didasari oleh pola pemahaman agama yang masih bersifat eksklusif. Jika benar, ini tidak hanya meresahkan masyarakat, tapi dapat membahayakan kelangsungan kehidupan berbangsa.
Bagi saya, suatu forum musyawarah mengadakan kegiatan musyawarah kemudian menghasilkan sejumlah keputusan, apa pun namanya: rekomendasi, saran, atau fatwa adalah suatu kelaziman. Tetapi jika keputusan itu akan dipublikasikan ke khalayak umum memang memerlukan pertimbangan lebih lanjut. Apalagi jika menimbulkan kekhawatiran, seperti kemungkinan disalahpahami atau disalahgunakan.
Kesewenang-wenangan
Melalui tulisan ini, saya mengusulkan kepada pihak-pihak yang merasa berkompeten menerbitkan suatu fatwa, baik individu, kelompok, lebih-lebih organisasi keagamaan, hendaknya mempertimbangkan pemikiran-pemikiran yang berkembang, baik klasik maupun kontemporer, kitab kuning maupun kitab putih.
Jika tidak, maka suatu keputusan yang dikeluarkan atas dasar pemahaman agama yang eksklusif sangat potensial menjadi suatu fatwa yang otoriter, yang pada gilirannya akan menggiring kepada paham yang disebut Khaled M Abou el-Fadl (Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women, Oxford: 2003), sebagai authoritarianism, the act of “locking” or captivating the Will of Divine or the will of the tex into the spesific determination, and then presenting this determination as inevitable, final, and conclusive (otoritarianisme, tindakan “mengunci” atau mengurung kehendak Tuhan atau kehendak teks, dalam sebuah penetapan tertentu, dan kemudian menyajikan penutupan tersebut sebagai sesuatu yang pasti, absolut dan menentukan).
Untuk mencegah dan menghindarkan diri, kelompok, dan lebih-lebih organisasi keagamaan, dari tindakan sewenang-wenang yang secara tergesa-gesa mengatasnamakan sebagai penerima perintah Tuhan, Khaled mengusulkan lima persyaratan sebagai katup pengaman supaya tidak dengan mudah melakukan tindak sewenang-wenang dalam menentukan fatwa keagamaan. Syarat itu berupa kemampuan dan keharusan seseorang, kelompok, organisasi, atau lembaga untuk mengontrol dan mengendalikan dirinya; sungguh-sungguh; mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait; mendahulukan tindakan yang masuk akal dan kejujuran.
Kelima syarat itu acuan parameter uji sahih untuk meneliti berbagai kemungkinan pemaknaan teks sebelum pada akhirnya harus memutuskan dan merasa yakin bahwa dirinya memang mengemban sebagian perintah Tuhan. Menurut Amin Abdullah (Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta, 2006), setidaknya ada tiga poin permasalahan terkait kajian hermeneutik yang diusulkan oleh Khaled.
Pertama, permasalahan teks. Suatu kenyataan yang tidak terbantah adalah bahwa perintah-perintah Tuhan selalu bertumpu pada “teks” (kitabah; qauliyyah), sedang teks itu sendiri sepenuhnya bersandar pada alat perantara “bahasa”. Bahasa inilah yang menjadi sumber silang pendapat sepanjang masa, karena ia tidak lain dan tidak bukan adalah hasil kesepakatan komunitas dan ciptaan budaya manusia. Huruf, kata, kalimat, anak kalimat, kata sifat, sangat tergantung pada sistem simbol. Sedang simbol itu sendiri memerlukan bantuan dan dukungan asosiasi-asosiasi tertentu, gambaran-gambaran, juga emosi para pendengar, yang sangat bisa jadi berubah dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu, proses pencarian makna akan tetap terus terbuka lebar sampai kapan pun, dan tidak ada finalitas yang berujung pada kesewenang-wenangan. Inilah sesungguhnya makna terdalam dari ungkapan hukum Islam bahwa “setiap mujtahid adalah benar”. Jika kemungkinan munculnya pemahaman baru tertutup, maka adagium tadi tidak ada gunanya.
Kedua, permasalahan hubungan antara pengarang dan pembaca. Ketika proses pemahaman teks yang sesungguhnya bersifat interpretatif ditutup maka seseorang atau kelompok telah memasuki wilayah tindakan yang bersifat sewenang-wenang. Jika seorang pembaca mencoba menutup rapat-rapat teks dalam pengakuan makna tertentu atau memaksa tafsiran tunggal, maka tindakan ini berisiko tinggi untuk melanggar integritas pengarang dan bahkan integritas teks itu sendiri.
Ketiga, menghidupkan kembali peran yang berimbang antara teks, pengarang, dan pembaca. Dalam studi kritik literer, diperoleh penjelasan bahwa pengarang teks harus selalu mempertimbangkan apakah ia akan tetap berada pada kebiasaan tertentu ataukah harus melampaui kebiasaan-kebiasaan tersebut sehingga harus berani menghadapi berbagai konsekuensi yang ditimbulkan. Sesungguhnya begitu sebuah teks dilahirkan, ia memiliki dunia kehidupan, hak-hak, dan integritasnya sendiri.
Perimbangan makna
Dengan demikian, makna tidak boleh digenggam, dicengkeram, dan ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh salah satu atau beberapa aktor yang membelakanginya. Perimbangan kekuasaan dalam penentuan makna perlu terus-menerus dijaga dan dipelihara antara pengarang, pembaca, dan teks. Dominasi atau kekuasaan yang berlebih pada salah satu pihak akan menyebabkan kebuntuan intelektual. Menurut Khaled, kebuntuan intelektual seperti itulah yang dipertontonkan dengan begitu jelas oleh fatwa-fatwa keagamaan Islam tentang wanita, semisal yang dikeluarkan oleh CSRLO (Council for Scientific Research and Legal Opinions, sebuah lembaga resmi di Arab Saudi yang diberikan kepercayaan untuk mengeluarkan fatwa) dalam menentukan makna teks secara sepihak.
Fatwa-fatwa keagamaan Islam tentang wanita yang dianggap sangat problematis oleh Khaled antara lain fatwa keagamaan Islam tentang pelarangan wanita mengunjungi makam suami, wanita mengeraskan suara dalam berdoa, wanita mengendarai atau mengemudikan mobil sendiri, wanita harus didampingi seorang pria mahramnya.
Begitu juga fatwa keagamaan yang mengatakan bahwa wanita harus berdoa atau melakukan salat di suatu tempat yang paling tersembunyi, tak tampak oleh pandangan, atau wanita harus menyerahkan seluruh jiwa-raganya kepada suami kapan pun suami menghendakinya, atau keselamatan wanita sangat tergantung pada kepuasan atau keinginan suami, atau wanita akan mengisi sebagian besar tempat yang tersedia bagi penduduk neraka. Kesemuanya ini dianggap oleh Khaled sebagai tindakan ofensif-opresif dan merendahkan wanita yang tidak berdasar secara moral.
Sungguh bijak apa yang dilakukan oleh Imam Malik ketika beliau menolak dengan halus permohonan pemerintah, Khalifah Harun al-Rasyid, untuk menjadikan fatwa-fatwanya sebagai kebijakan resmi negara. Beliau beralasan bahwa telah tersebar luas di seantero negeri berbagai macam pendapat yang disampaikan oleh para sahabat dalam setiap persoalan yang berkembang. Beliau lebih memilih menahan diri dan membiarkan kebebasan berpikir dan berekspresi berjalan secara alami dari pada berbangga diri dengan egoismenya. - Oleh : Abdul Aziz Rahman

Opini SOlo Pos 22 Januari 2010