07 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Sensitivitas HAM dalam Perda

Sensitivitas HAM dalam Perda

Semua ketentuan dalam UU itu mestinya mengilhami semua kebijakan politik dan penegakan hukum termasuk perdanya agar  tidak ada kebijakan pemerintahan, di pusat, dan daerah yang melanggar HAM

TANGGAL 10 Desember 2009 atau 61 tahun silam, di planet kita, tepatnya di Paris, ada deklarasi universal hak-hak asasi manusia (HAM) atau universal declaration of human rights. Sejak itu PBB menetapkan sebagai Hari HAM Internasional. Pascadeklarasi itu, tampaknya sejarah pelanggaran (violance) HAM dalam peradaban manusia terus berlangsung tiada henti hingga kini.


Dalam berbagai model panorama kekejian dan ketidakadilan, dalam konteks kekinian seiring dengan perubahan pendulum kekuasaan politik di negeri kita dari sentralisasi ke desentralisasi (otonomi daerah) tahun 2001-2009 ini.

Sejumlah penelitian menyatakan, bahwa sistem otonomi daerah telah memberi manfaat yang luar biasa bagi proses percepatan pembangunan daerah. Namun sesungguhnya di dalamnya juga mengandung sejumlah potensi ketidakadilan dan pelanggaran HAM yang kian lama kian sulit ditoleransi.
Perda dan HAM Salah satunya adalah lemahnya daya sensitivitas terhadap asas dan kaidah aspek HAM dalam penyusunan aneka peraturan daerah (perda) yang merupakan payung bagi penyelenggaraan otonomi daerah (otda). Baik di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya (ekosobud) di daerah. Terlihat pada tahun 2001-2009 ribuan perda diprotes oleh rakyat di daerah karena telah menjerat dan memperberat beban sosial dan ekonomi.

Tak pelak, ribuan perda di berbagai daerah dinyatakan oleh Depdagri tidak layak diberlakukan karena content draft-nya tak memenuhi kualifikasi filosofis dan standar baku dalam asas dan kaidah penyusunan peraturan perundang-undangan. Baik yang diatur dalam UU No.10/2004 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan maupun tidak sebangun dengan hierarki peraturan perundang-undangan, bahkan tidak senapas dengan UUD 1945.

Lihatlah, belakangan ini sejumlah daerah (provinsi/kabupaten/kota) ramai-ramai membuat perda untuk mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) tanpa mengindahkan beban sosial ekonomi rakyat di tengah terpaan krisis. Seperti, perda tentang retribusi, pajak, dan aneka pungutan dari kendaraan, usaha, radio, sepeda, bahkan sampai soal kematian dan izin keramaian (hajatan).

Begitu pula maraknya perda-Perda yang mengatur tentang maksiat, lokalisasi, dan pelaksanaan hukum agama tertentu. Biasanya perda jenis ini cenderung mendiskriminasikan kaum perempuan dan anak-anak, pemihakan pada agama tertentu dan diskriminasi pada agama minoritas. Ini adalah cermin dari keragaman perda yang kian ìmenjauhî dari norma dan asas-asas hukum di negara demokrasi yang berpihak pada pluralitas dan insklusivitas masyarakat.

Semua jenis perda model ini mencerminkan betapa lemahnya tingkat sensitivitas pembuat perda, yakni DPRD dan kepala daerah terhadap penempatan perspektif HAM dan proses perancangan perda (legal drafting). Akibatnya perda-perda di era kebebasan otonomi daerah ini cenderung melupakan aspek HAM dan berpotensi mengeliminasi keadilan substansial.

Padahal Indonesia telah memiliki perundang-undangan tentang HAM cukup lengkap. Pada 28 Oktober 2005, pemerintah telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR). Kedua kovenan PBB itu telah menjadi produk hukum yakni UU No 12 Tahun 2005 untuk ICCPR dan UU No 11 Tahun 2005 untuk ICESCR.

Disyahkannya kedua kovenan tersebut menjadi UU, maka secara de jure mestinya setiap warga negara dan anggota masyarakat lebih terjamin hak-hak asasinya. ICCPR mengatur perlindungan hak-hak warga di bidang sipil dan  politik, sedangkan ICESCR menjamin hak-hak warga di bidang ekonomi sosial dan budaya. ICCPR dan ICESCR melengkapi ketentuan HAM dalam UUD 1945 seperti Pasal 28A sampai dengan 28J tentang HAM.

Pasal 29 tentang Agama, Pasal 31 dan Pasal 32 tentang Pendidikan dan Kebudayaan, Pasal 33 dan 34 UUD 1945 tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial dengan UU No 39/1999 tentang HAM serta UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Tak pelak lagi, semua ketentuan dalam undang-undang HAM itu mestinya mengilhami semua kebijakan politik dan penegakan hukum termasuk perda untuk melindungi hak asasi (HAM) setiap warganya. Sehingga tidak ada kebijakan pemerintahan, di pusat ,dan daerah yang melanggar HAM.

Karena itu, saatnya perancang perda (DPRD dan kepala daerah) memiliki pemahaman dan sensitivitas terhadap implementasi HAM dalam kebijakan pembuatan perda. Jadi, produk hukum perda tidak dirancang sebebas-bebasnya tanpa memperhatikan aspek hak ekonomi dan sosial masyarakat daerah. Karena sesungguhnya perda dibuat untuk menjadi garis kebijakan daerah dalam mengimplementasikan kemakmuran dan kesejahteraan secara ekonomi dan sosial-politik masyarakat daerah otonom.

Di titik ini diperlukan kearifan pada para perancang perda, misalnya terkait dengan perda ekonomi tidak boleh hanya semata-mata mengejar PAD tanpa mengindahkan hak-hak ekonomi masyarakat daerah. Begitu pula, perda terkait dengan pengaturan sosial, politik, dan budaya agar tidak hanya berpihak pada suara mayoritas partai politik di parlemen daerah (DPRD) tanpa mengindahkan nurani minoritas masyarakat.

Pembiaran terhadap berlakunya perda-perda di daerah yang memuat aturan tentang aspek ekonomi, sosial, politik dan budaya yang mengabaikan hak-hak asasi masyarakat daerah jelas merupakan pelanggaran HAM secara terselubung, karena dibungkus dengan prosedur yang demokratis di tingkat DPRD. (10)

— Agus Riewanto SAg SH MA, pengajar politik dan ketatanegaraan dan mahasiswa S3 Ilmu Hukum UNS 
Wacana Suara Merdeka 8 Desember 2009