07 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Menakar Kegelisahan SBY

Menakar Kegelisahan SBY

PANITIA Khusus (Pansus) Hak Angket Bank Century pada Jumat pekan lalu membutuhkan lebih dari 10 jam hanya untuk menentukan siapa yang memimpin. Sidang yang begitu alot dan bertele-tele mengindikasikan betapa pentingnya posisi ketua dan karena itu pula sejumlah fraksi berjuang all out untuk merebut posisi ketua.


Pertanyaannya adalah ada apa? Untuk menjawab kita perlu menyimak proses pembentukan pansus tersebut. Sejak kali pertama wacana pembentukan angket bergulir di Senayan (gedung DPR), tantangan dari partai berkuasa (Partai Demokrat) sudah tampak. Mereka mengatakan hak angket tersebut terlalu dini; harus menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebab audit itu memang ditugaskan oleh DPR.

Dalam rapat paripurna 17 Nopember lalu, usulan hak angket tidak dibacakan. Alasan Ketua DPR, Marzuki Alie, usulan angket sebaiknya dibahas dulu pada tataran pimpinan DPR. Setelah dihantam hujan interupsi dan skorsing, pimpinan DPR ahirnya membacakan usulan angket tersebut. Sikap Fraksi Demokrat (FD) berubah total setelah mendapat sinyal positif dari pemimpin tertinggi mereka: SBY.

Dalam sebuah kesempatan, Presiden mempersilakan pihak mana pun membuka kotak pandora bank hasil merger tersebut. Setelah itu, ramai pula wacana siapa figur yang layak memimpin pansus. Partai Demokrat ngotot mendudukkan kadernya di kursi ketua, dengan dalih FPD  fraksi terbesar.

Lagi-lagi mereka menghadapi resistensi keras dari publik, tidak hanya dari internal DPR. Lalu di mana etika politik partai yang sejak awal menentang keras pembentukan pansus tapi akhirnya berambisi memimpin?

Setelah orang-orang PD mengaku tidak lagi berambisi menjadi ketua, bola pun digulirkan ke Partai Golkar, mitra koalisi terbesar. Mereka tidak rela jika posisi ketua jatuh ke PDIP. Kenapa? Kamis, 5 November 2009, terbetik berita bahwa SBY mengumpulkan petinggi partai politik mitra koalisi pemerintah. Agenda yang dibahas: angket Bank Century. Pada forum itu disepakati strategi yang diterapkan koalisi menghadapi angket, termasuk mencari figur ketua yang paling”layak”.

Kenapa seorang kepala negara perlu turun tangan? Kenapa tidak dibiarkan bergulir apa adanya di floor Senayan? Sederetan pertanyaan”mengapa?” mengindikasikan bahwa  penguasa mulai gerah, gelisah, bahkan mungkin takut kalau-kalau”bola angket” bergulir liar. Supaya jangan liar maka bola itu harus diamankan. Benarkah Idrus Marham dipilih untuk mengamankan angket tersebut?

Empat hari sebelum pemilihan ketua, nama Idrus sebetulnya sudah beredar. Banyak yang terheran-heran karena tokoh itu  tidak pernah sekali pun muncul dalam perdebatan pembentukan pansus. Dari Golkar, yang banyak berkiprah dalam pembentukan angket adalah Bambang Soesatyo. Di kubu PDIP, Maruarar Sirait paling gigih berjuang. Oleh sebab itu, munculnya nama Idrus di”tikungan jalan” mengundang kecurigaan. Jika kita membaca berita-berita di media massa setelah pemilihan Idrus, semua bernada miring.

Dan Idrus ñ sesuai kesepakatan sebelumnya yang dicapai antara pimpinan Partai Demokrat dan Golkar — akhirnya  terpilih lewat voting. Selisih perolehan suaranya dengan Prof Gayus Lumbuun dari PDIP sangat jauh, yaitu 19:7.
Gelisah Sejumlah kalangan muda yang tergabung dalam Koalisi  Masyarakat Sipil Anti Korupsi (Kompak) berkesimpulan bahwa terpilihnya Idrus berarti matinya pansus. Pemerintah gelisah? Presiden pun gelisah?

Bola liar angket tersebut dikhawatirkan menabrak siapa saja tanpa pandang bulu yang diindikaskan terlibat dalam kucuran dana Rp 6,7 triliun November tahun lalu. Kasus Century memang layak dicap megaskandal. Segudang misteri, sedikit demi sedikit terkuak setelah BPK mengumumkan hasil auditnya.
Indikasi tindak pidana dari tindakan bail-out semakin jelas. Indikasi ngawurnya kesimpulan”dampak sistemik” juga semakin terkuat. Ternyata, dalam rapat terakhir yang berlangsung sampai pukul 05.00, tiga instansi menentang atau meminta pemerintah berpikir ulang tentang kebenaran”dampak sistemik”.

Tiga instansi itu adalah Badan Kebijakan Fiskal (yang notabene adalah bawahan Menteri Keuangan), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Bapepam-LK. Toh, Gubernur BI bersiteguh pada kesimpulannya untuk secepatnya menolong Century sebab situasi keuangan bank papan bawah itu sudah masuk dalam kategori”merah total”.

Idrus bisa saja mengemban”misi rahasia” dari pihak-pihak yang cemas kalau-kalau angket itu memukul sana dan sini. SBY pun tampaknya waswas. Kegelisahannya terlihat dari pernyataannya ketika membuka sidang kabinet Jumat pekan lalu. Presiden mencurigai bahwa sebagian elemen masyarakat yang ikut dalam aksi sosial memperingati Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2009 mempunyai motif politik tertentu, bukan semata-mata untuk pemberantasan korupsi. Sebagian partai politik yang ikut dalam pansus pun dicurigai mempunyai motif tertentu.    

Pada 9 Desember 2009 itu, Kompak berencana berunjuk rasa dan mengklaim sekitar 100 ribu orang akan turut serta dalam aksi damai jalan kaki di sepanjang Jalan Thamrin, tepatnya dari Tugu Monas menuju Bundaran Hotel Indonesia.

Aksi serupa juga akan dilakukan di sejumlah kota besar. Presiden rupanya, gelisah mendengar angka 100 ribu padahal agka itu bisa saja semata-mata bagian dari strategi blackmail LSM itu pada pemerintah.

Presiden mestinya tidak usah gelisah. Biarkan pansus bekerja secara jujur. Skandal bank tersebut memang harus dibuka. Kalau Menkeu dan Boediono selaku Gubernur Bank Indonesia berkelit keputusan yang diambil ketika itu sudah benar, silakan berargumenasi. Siapa pun tidak usah takut selama  dirinya bersih.

Wakil rakyat yang duduk dalam pansus harus senantiasa ingat bahwa kerja mereka diawasi secara ketat oleh rakyat. Jika mereka main-main, apalagi dengan upaya cover up, rakyat pasti marah. Kalau Presiden merasa bersih kenapa harus gelisah? Mestinya dia berteriak meminta pansus untuk membuka semua data supaya rakyat tahu siapa yang makan sebagian uang haram itu, siapa pula yang benar-benar bersih. (10)

— Tjipta Lesmana, pengamat politik, tinggal di Jakarta
Wacana Suara Merdeka 8 Desember 2009