07 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » Kontroversi Pertemuan Perubahan Iklim

Kontroversi Pertemuan Perubahan Iklim

Konferensi internasional tentang perubahan iklim sedang berlangsung di Kopenhagen, Denmark, 6-18 Desember. Pertemuan ini diharapkan dapat menghasilkan satu protokol lagi yang diupayakan untuk mencegah pemanasan global dan perubahan iklim. Artikel berikut ini menyajikan beberapa hal mulai dari adanya polarisasi kalangan ilmuwan dalam menyikapi isu pemanasan global, skandal memalukan climate gate, dan harapan pada delegasi Indonesia dalam menyikapi kontroversi ini.


Terpecahnya kelompok ilmuwan
Isu menghangatnya bumi (baca: suhu udara) telah menjadi fenomena global bahkan kontroversial bagi kalangan ilmuwan. Mereka terpecah menjadi dua kelompok. Ada yang tergolong ke dalam ilmuwan alarmist yang berpendapat bahwa naiknya suhu bumi disebabkan ulah manusia melalui buangan/emisi gas rumah kaca terutama karbon dioksida (fenomena AGW–anthropogenic global warming). Informasi kubu ini rupanya lebih populer dan ia telah menjadi informasi mainstream-–arus utama--masyarakat. Hal ini bisa jadi disebabkan gencarnya promosi ancaman pemanasan global melalui dunia perfilman mulai dari film animasi seperti Ice Age 2 hingga film mantan Wapres Al Gore, Inconvenient Truth. Sebuah koran nasional yang bisa diakses via internet pun telah menyediakan seksi Sains-Global Warming yang berisi kumpulan artikel tentang dampak serius pemanasan global. Sayang, wahana itu tampaknya memberlakukan sensor bagi komentar/perspektif yang ingin menyajikan the other side of the story-– artinya pendapat/komentar yang bernuansa skeptis dijamin tak akan terpublikasi. Beberapa produk yang telah dihasilkan kelompok alarmist di antaranya adalah empat seri assessment report IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tentang perubahan iklim dan beberapa konvensi/protokol mulai dari Montreal (tentang lapisan ozon, 1987), Kyoto (tentang emisi gas rumah kaca, 1997) dan pada Desember tahun ini diharapkan muncul lagi satu protokol dari Kopenhagen (2009).
Selain kelompok alarmist ini, ada pula sekelompok ilmuwan sceptic/deniers yang berpendapat bahwa naik atau turunnya suhu bumi adalah peristiwa alami semata alias bukan ulah manusia. Menurut mereka, fluktuasi suhu ini telah terjadi silih berganti sejak bumi tercipta. Mereka melandasi argumennya dengan data sahih saat menyanggah berbagai isu yang diusung kelompok alarmist. Isu-isu itu meliputi penyebab menghangatnya bumi, tinjauan kritis tentang rekonstruksi suhu udara yang menunjukkan lonjakan suhu sejak era industrialisasi (biasa dikenal dengan fenomena hockey stick), beberapa implikasi pemanasan global seperti mencairnya es di kutub dan di pegunungan Himalaya, terganggunya populasi beruang kutub, katak dan kupu-kupu, naiknya muka laut, dan makin seringnya kejadian cuaca ekstrem seperti badai, bahkan tak ketinggalan pula bagaimana mereka menyebutkan sedikitnya ada 35 kesalahan yang dijumpai pada film Al Gore yang disebutkan di atas. Informasi tentang pendapat kaum skeptis ini bisa dijumpai pada beberapa situs seperti: www.climateaudit.org, www.heartland.org, http://scienceandpublicpolicy.org/, dan http://www.climatesceptics.com.au/.

Skandal climate gate
Selain alasan gencarnya ekspose ancaman pemanasan global melalui media massa, media hiburan dan konferensi yang telah disebutkan, rupanya masih ada alasan lain yang menyebabkan dominasi kaum alarmist. Alasan ini sedikit demi sedikit terkuak melalui skandal terbesar abad ini yang disebut climategate (istilah ini dibuat James Delingpole). Skandal ini terbongkar akibat ulah seorang hacker (atau mungkin juga seorang whistle blower) yang berhasil membobol gudang informasi iklim milik Climate Research Unit di East Anglia University, Inggris. Hasil bobolan hacker yang ternyata berisi komunikasi e-mail para tokoh kaum alarmist ini segera menyebar di internet pada akhir November 2009. Skandal ini amat memalukan di dunia ilmiah karena beberapa hal yang tak lazim dilakukan mereka (C Booker: Climate Change – This is the worst scientific scandal of our generation, SPPI, 2/12/2009). Hal-hal yang tak jamak tersebut di antaranya adalah: (i) taktik untuk mencegah agar pihak outsider--di luar kelompoknya tidak bisa memiliki akses untuk melihat rekaman suhu bahkan ada juga saran untuk menghapus rekaman data yang mereka miliki-–fakta apakah yang ingin mereka sembunyikan dari sesama ilmuwan?; (ii) melakukan manipulasi data dengan memperkecil suhu di masa lampau dan meningkatkan suhu saat ini-–hal ini tampaknya dilakukan untuk mengesankan adanya peningkatan suhu; (iii) upaya membungkam dissenting opinion ilmuwan lain yang mempertanyakan metode yang digunakan kaum alarmist dan mendiskreditkan jurnal yang berani menerbitkan kontribusi ilmuwan yang bertentangan dengan kelompok alarmist--ini semacam sensor seperti yang dilakukan Kompas seperti telah disebutkan; (iv) melakukan peer-review makalah publikasi antara sesamanya-–ini akan menghalangi objektivitas penilaian suatu makalah karena adanya faktor pertemanan di antara mereka.

Menyikapi kontroversi
Dari kacamata polarisasi kubu tersebut, pemerintah Indonesia tampaknya berada pada klub alarmist (menganggap bahwa perubahan iklim disebabkan oleh emisi karbon dioksida). Hal itu terlihat pada adanya rencana target penurunan emisi karbon dioksida sebesar 26% (terdiri atas 14 % dari sektor pengelolaan hutan, dan 6% untuk masing-masing sektor energi dan limbah) hingga 2020 (sumber: Pemerintah Perbarui Status Emisi, Tempo Interaktif, 23/11/2009). Dalam jargon cap and trade kita dikatakan melakukan langkah 26 by 20. Kita belum mengetahui bagaimana rincian implementasi dan apa dampaknya bagi masyarakat. Ada satu contoh kasus yang bisa diambil sebagai pelajaran. KO Rettie dalam ceramahnya Energy Myths and Realities di Utah Valley Univ (SPPI, 2/4/2009) menjelaskan konsekuensi implementasi langkah 80 by 50--Utah akan mengurangi emisi karbon hingga 80% hingga 2050. Menurut perhitungan beliau, pada 2050 nanti, setiap penduduk Utah hanya diperbolehkan memproduksi emisi karbon sebesar 2,2 ton per tahun. Tingkat emisi itu pernah dicapai para pionir Utah ketika mereka pertama kali memasuki lembah Lake Salt pada 1847. Analisis yang sama bisa dilakukan jika kita mengetahui produksi karbon ekuivalen (carbon footprint) penduduk dan jumlah penduduk kita pada 2020. Siapkah kita dengan irama kehidupan kembali ke belakang beberapa puluh tahun yang lalu? Semoga delegasi Indonesia ke Kopenhagen pulang ke Tanah Air dengan membawa oleh-oleh yang manfaatnya lebih besar daripada mudaratnya.

Oleh Dr Halmar Halide, Dosen kuliah perubahan iklim, jurusan fisika Unhas
Opini Media Indonesia 8 Desember 2009