07 Desember 2009

» Home » Republika » Urgensi Badan Nasional Anti Terorisme

Urgensi Badan Nasional Anti Terorisme

Marwan Ja'far
(Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR RI)

Persoalan terorisme--dalam arti tindakan kejahatan yang dilakukan atas pembenaran diri sendiri--tampaknya tidak pernah habis dan selalu menarik untuk dibahas. Ibarat tanaman, terorisme akan tumbuh dan berkembang selama akarnya masih menancap di tanah. Tanah yang subur merupakan lahan bagi tumbuh kembangnya terorisme sepanjang sejarah, yang umumnya bersumber pada persoalan sosial, ekonomi, politik, dan agama yang digerakkan oleh ideologi radikalisme.

Ideologi radikalisme atau fundamentalisme menjadi fenomena global dan menjadi ideologi politik agama--termasuk Islam--yang dipakai untuk menjustifikasi tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya. Kelompok fundamentalisme agama selalu berusaha melawan struktur yang dianggap bertentangan dengan nilai sebuah prinsip dan menggantikannya dengan nilai dan prinsip ideologisnya, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik.

Organisasi seperti itu kini tumbuh subur di beberapa negara, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jamaat al-Islami di Pakistan, Jamaah Islamiyah di Malaysia, Filipina, dan Indonesia, yang merupakan gerakan sempalan dari Darul Islam yang mencita-citakan Negara Islam Indonesia. Bagaimana terorisme terjadi? Bagaimana pula strategi mengatasinya?

Eksistensi Terorisme
Terorisme selalu muncul sepanjang sejarah peradaban dunia, baik yang bersifat individual, kelompok, maupun jaringan antarnegara. Karakteristik dan strategi yang diterapkan selalu bercirikan pada kekerasan yang dirancang (violence designed) untuk meningkatkan hasil-hasil yang diinginkan dengan cara menanamkan rasa ketakutan (by installing fear) di tengah masyarakat luas (AM Hendropriyono: 2009).

Di era feodal, mula-mula terorisme dilakukan secara individual meskipun ia hidup dalam kelompok separatis, oposan-militan revolusioner, dan bahkan penganut agama yang bergerak bawah tanah. Motif, tujuan, dan sasarannya sangat terbatas pada penggulingan kekuasaan raja. Ketika terjadi Perang Dunia II, terorisme mulai dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi secara modern meski masih terbatas di internal negara. Motivasi, tujuan, dan sasarannya juga lebih luas. Kebanyakan mereka berasal dari kawasan Eropa Timur, Australia, Timur Tengah, Asia Timur, dan Afrika.

Di era global ini, persoalan terorisme jauh lebih kompleks lagi. Ia telah menjadi tren dunia global yang dapat mengguncang opini dunia dan organisasinya saling bersinggungan antarnegara (transnasional) serta lebih bersifat bioterrorism, ecoterrorism dan macroterrorism (Petrus Golose: 2008). Hal ini berarti bahwa ancaman terorisme global bukan saja ditujukan pada suatu negara tertentu saja, malainkan secara misterius aksi organisasi terorisme--termasuk radikalisme agama--dapat berdampak pada seluruh tatanan dunia.

Dalam konteks sejarah Islam, penganut aliran radikal tumbuh sejak zaman Muawiyah bin Abi Sofyan yang dikenal dengan Muktazilah di bawah pimpinan Washil bin Atho. Prinsip pembenaran atas keyakinan mereka sebagai berikut. Pertama, tauhid yang diyakini sebagai pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah. Kedua, al-adl yang dimaknai sebagai mengingkari adanya keadilan, selain Allah. Ketiga, al-wa'ad wal wa'ied yang diyakini bahwa orang Muslim yang mati sebelum bertobat adalah kafir. Keempat, al-manzilah bainal manzilataini yang diyakini bahwa seorang Muslim yang berdosa di dunia ini dikategorikan murtad dan posisinya di antara Muslim dan kafir. Kelima, al-amru bil ma'ruf wan nahyu a'nil munkar yang diyakini sebagai perjuangan menegakkan syariat Islam dalam berbangsa dan bernegara dan mengudeta pemerintahan yang berkuasa.

Radikalisme dalam agama terus berkembang hingga melahirkan aliran Syaba'iyyun, Khawariyun atau Hurariyyun, dan Muktazilah atau Washiliyyah. Gerakan yang mempunyai jargon, seperti klaim pemurtadan  dan pengkafiran orang lain, merupakan indikator kuat adanya puritanisme atau radikalisme agama yang terus berkembang di beberapa negara, termasuk Indonesia. Kondisi ini tentunya sangat membahayakan bagi eksistensi bangsa yang plural seperti Indonesia.  

Agenda solusi
Pengalaman adanya aksi terorisme selama ini menjadi pelajaran berharga bagi kita agar tidak terulang lagi pada waktu mendatang.
Bentuk perlindungan negara yang direpresentasikan pemerintah atas segenap warganya adalah dengan membentuk Badan Nasional Anti Terorisme.

Badan ini, selain telah menjadi kesepakatan nasional, juga strategis untuk melakukan upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme. Badan ini memang mengundang pro kontra. Mereka yang kontra sangat mengkhawatirkan akan adanya sikap represif negara seperti pada masa Orde Baru. Namun, yang pro memandang perlu adanya penguatan kewenangan penahanan pelaku terorisme oleh kepolisian berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Masa penahanan yang dirasa masih sangat kurang itu menyulitkan kepolisian untuk mengembangkan penyelidikan pelaku terorisme.

Terlepas dari sikap pro dan kontra bahwa Badan yang dibentuk negara nantinya harus berfungsi secara efektif, strategis, dan profesional sehingga dapat melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme. Untuk itu, perlu dipertimbangkan beberapa hal berikut.

Pertama, adanya kemauan politik semua pihak, baik pemerintah maupun elemen masyarakat, untuk melakukan upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme. Kehadiran Badan Nasional Anti Terorisme hendaknya terus melakukan komunikasi dan kerja sama dengan elemen masyarakat sehingga memunculkan pemahaman dan sikap yang positif akan bahaya terorisme. Kedua, adanya pemahaman akar masalah penyebab munculnya terorisme. Ketiga, adanya pendekatan tertentu untuk melakukan pencegahan dan penanganan terorisme. Keempat, adanya penguatan kapasitas negara dalam penanganan masalah trorisme. Kelima, adanya penyadaran akan penghormatan HAM dan penegakan hukum.

Opini Republika 7 Desember 2009