07 Desember 2009

» Home » Republika » Skandal Century dan Modus Bantuan

Skandal Century dan Modus Bantuan

Bambang Soesatyo
(Anggota Pansus Hak Angket Bank Century DPR RI)

Bank Indonesia membiarkan divisi pengawasan bank tidak bekerja efektif. Itulah muara persoalan yang melahirkan skandal Bank Century. Maka, agar skandal atau pencurian uang negara lewat modus bantuan likuiditas tidak berulang, harus dilakukan koreksi total pada divisi pengawasan bank di bank sentral.

Masih di bulan September 2008, rasio kecukupan modal (CAR) Bank Century 14,88 persen. Sangat sehat. Bank dinilai tidak sehat jika CAR-nya sudah di bawah 8 persen. Entah bagaimana ceritanya, hanya dalam hitungan hari, CAR Bank Century tiba-tiba anjlok jadi minus 2,3 persen. Tidak berlebihan jika Wakil Presiden Jusuf Kalla (waktu itu) mengatakan Bank Century telah dirampok pemiliknya sendiri. 

Kalau divisi pengawasan Bank Indonesia (BI) jujur, objketif, dan profesional menjalankan tugasnya, alasan melikuidiasi Century saat itu (sebelum di-bailout) sudah lebih dari cukup. Tak ada satu pun alasan yang bisa diterima akal sehat untuk menyelamatkan bank itu. Pertama adalah faktor historis bank. Latar belakang kelahiran bank ini pasti, dan mestinya meyakinkan para pelaksana pengawas di BI, untuk ekstra waspada. Bank Century hasil merger tiga bank, meliputi eks Bank CIC, Bank Pikko, dan eks Bank Danpac. Pemiliknya gagal ketika mengikuti uji kepatutan dan kelayakan sebagai pengelola bank. Dan, sepanjang 2003-2005, manajemen bank ini diketahui menjual reksadana bodong.

Kalau para pengawas BI menghayati betul hakikat prinsip kehati-hatian (prudent) dalam pengelolaan sebuah bank, jual beli reksadana bodong itu mestinya tidak dibiarkan berlangsung sepanjang 2003-2005. Pasti ada motif lain membiarkan manajemen Bank Century bertindak liar. Akal sehat orang awam pun bisa menerjemahkan bahwa perilaku manajemen bank ini bobrok, ketika CAR-nya mengalami perubahan begitu ekstrem. Jadi, pilihan paling bijak, cerdas, dan bermoral adalah likuidasi, bukan bailout (penyelamatan). Century itu bank kecil yang belum tentu dikenal separuh warga Jakarta, sehingga melikuidasi bank itu tidak akan melahirkan dampak sistemik.

Dalam periode krisis keuangan global tahun lalu, otoritas moneter Amerika Serikat (AS) menutup atau melikuidasi puluhan bank. Kalau puluhan bank itu harus di-bailout, dana milik Federal Deposit Insurance Corp (FDIC) habis terkuras. Waktu itu, PDIC serupa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di sini--sudah megap-megap karena harus menutup klaim penjaminan dana pihak ketiga yang dijamin Pemerintah AS.

Dalam skandal Bank Century, kita memang tidak ingin menempatkan Divisi Pengawasan BI sebagai satu-satunya kambing hitam. Tetapi, peran Divisi Pengawasan BI memang sangat vital, bahkan menentukan. Sebab, logikanya, data serta catatan penilaian yang menjadi landasan untuk menetapkan kebijakan bailout atau likuidasi Bank Century bersumber dari Divisi Pengawasan BI. Rekomendasi Divisi Pengawasan BI menjadi acuaan pertimbangan Ketua KSSK/Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan Pimpinan Eksekutif LPS. Kita berasumsi bahwa Divisi Pengawasan BI bisa mengeluarkan rekomendasi tentang likuidasi atau bailout. Sedangkan, kalkulasi tentang dampak sistemik bisa saja dirumuskan oleh Gubernur BI, Ketua KSSK, maupun Pimpinan LPS.

Karena itu, rekomendasi bailout untuk Bank Century menjadi aneh bagi banyak orang. Bahkan, tak hanya curiga, tetapi mereka yang paham akhirnya malah berpendapat bahwa Divisi Pengawasan BI pun patut disalahkan dalam kasus skandal Bank Century.

Curiga bahwa Divisi Pengawasan BI 'sengaja memelihara' bank bermasalah untuk motif koruptif. Kecurigaan tentang modus seperti itu muncul ketika orang teringat lagi akan kisah tentang pengalahgunaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), yang kemudian berubah menjadi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada dasawarsa 90-an.

Fasilitas KLBI dirancang dan ditawarkan tak lama setelah otoritas moneter membuka akses seluas-luasnya bagi para pemilik modal untuk mendirikan bank, lewat paket Kebijakan Pakto 1988. Waktu itu, dengan hanya bermodalkan Rp 10 miliar, Anda boleh mendirikan bank. Jumlah bank pun membengkak. Dalam periode 1988-1993, tercatat ada 109 bank, baik bank umum swasta nasional, bank asing, maupun bank asing campuran. Jika ditambah bank pemerintah, jumlah kantor bank di seluruh Indonesia lebih dari 3.000. Selepas paruh pertama 1990-an, puluhan bank bermasalah sehingga harus disehatkan. Rata-rata karena perilaku manipulatif para pemiliknya. Pada waktu itulah fasilitas KLBI dimunculkan dan ditawarkan kepada pemilik modal/pengusaha besar, yang tentu saja menurut para oknum di BI, kredibel dan kompeten.

Namun, pendekatan untuk memberikan KLBI melahirkan modus koruptif. Setelah mendata bank apa saja yang harus disehatkan dengan fasilitas KLBI, oknum di BI akan mencari dan melakukan pendekatan kepada sejumlah pengusaha terkemuka kala itu. Dalam pendekatan itulah dihitung berapa besar kebutuhan menyuntikkan dana agar sebuah bank bermasalah bisa disehatkan.

Kita khawatir, jangan-jangan masih ada oknum di bank sentral yang masih memainkan modus ini, yakni sengaja dan secara berkelanjutan memelihara bank bermasalah agar bisa meraih keuntungan pribadi. Kita diingatkan lagi pada kasus atau skandal Bank Perniagaan dan pemiliknya, Hindoro Budiono Halim. Bank Perniagaan mencairkan kredit Rp 900 miliar untuk pemiliknya sendiri, Hindoro, yang juga pengusaha bank. Hindoro membujuk oknum BI tutup mata atas penyimpangan itu dengan imbalan (suap) Rp 60 miliar. Tentu saja, Bank Perniagaan limbung. Bank ini pun 'dipaksakan' untuk sehat lagi dengan fasilitas KLBI sekitar Rp 47 miliar. 

Dengan demikian, bukan tidak mungkin skandal Bank Century pun dirancang dengan modus yang sama. Yakni, oknum pengawas BI membiarkan atau bekerja sama dengan pemilik untuk terus merancang Bank Century terus diliputi masalah, sampai akhirnya didapat kesempatan dan alasan yang dibuat-buat (ketakutan terhadap dampak sistemik) untuk mengajukan dana talangan. Apa yang dilakukan para pemilik Bank Century mengingatkan kita pada hal serupa yang dilakukan Hindoro di Bank Perniagaan dulu.

Dugaan ini cukup beralasan, karena dari kalkulasi Rp 1,3 triliun, lalu dana talangan membengkak menjadi Rp 6,7 triliun. Sekarang disebut dana talangan. Tetapi, esensinya sama dengan kredit likuiditas dalam KLBI atau bantuan likuiditas dalam BLBI. Skandal ini tak akan pernah terjadi hanya jika divisi pengawasan BI loyal dan jujur pada negara, serta setia pada asas profesionalitas.

Opini Republika 7 Desember 2009