07 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Menggairahkan Budaya Baca

Menggairahkan Budaya Baca

MEMBACA ibarat membuka jendela dunia. Sebuah ungkapan yang menggambarkan betapa pentingnya (budaya) membaca, dalam rangka mentransfer informasi dan pengetahuan. 

Di tengah makin terkikisnya budaya membaca dengan budaya menonton, usaha meningkatkan minat baca merupakan langkah tepat.


Kondisi ini semakin parah, ketika minat baca dan budaya baca dari masyarakat kita masih sangat rendah. Budaya baca tergeser dengan adanya budaya (me)-nonton.

Memang, masyarakat kita belum bisa disepadankan dengan kebiasaan (habit) misal, masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang dikenal getol membaca di mana pun mereka berada.

Sambil bergelantungan di kereta subway pun tidak menjadi masalah.

Keberadaan komunitas pembaca adalah salah satu upaya peningkatan budaya membaca di masyarakat.

Komunitas Pembaca Karanganyar (Tascakra) tentu lahir dan berangkat dari semangat ”menghidupkanî budaya dan kegemaran membaca.

Sebuah terobosan baru tentunya, di saat minat baca masayarakat rendah dan semakin langkanya pembentukan komunitas serupa.

Geliat tumbuhnya budaya membaca diharapkan tidak hanya sekadar terbentuknya komunitas pembaca. Sebuah langkah dan aksi yang komprehensif dan berkesinambungan perlu diupayakan terus sehingga terbentuknya komunitas pembaca.

Gaung dan aksinya bisa sampai ke pelosok-pelosok kampung dan pedesaan. Tidak hanya beranggotakan dan berkutat di tengah perkotaan.

Perlu usaha untuk  semakin memperkenalkan komunitas semacam ini ke tengah masyarakat sehingga keanggotan dan program komunitas bisa menyentuh masyarakat di sudut pedesaan.

Tentu, kebutuhan dan akses terhadap bahan bacaan bukan hanya monopoli masyarakat di tengah kota. 

Justru masyarakat pedesaan-yang selama ini jauh dari sumber informasi dan bacaan - perlu lebih mendapat akses terhadap sumber-sumber bacaan.

Diharapkan keberadaan komunitas pembaca semacam ini mampu hadir sebagai fasilitator pembentukan taman dan rumah baca nirlaba di daerah pedesaan. Kerja sama dengan misalnya perpusda atau organisasi kepemudaan karang taruna bisa dilakukan.

Tujuannya adalah tumbuh dan berkembangnya taman dan rumah baca ini mampu meningkatkan minat baca masyarakat dari berbagi kalangan, baik anak-anak maupun orang tua.

Dengan sistem keanggotaan yang egaliter, sedikit demi sedikit upaya membumikan budaya membaca di bumi Intan Pari Karanganyar, dapat terwujud.

Terlebih di kota ini juga telah lahir komunitas-komunitas penulis. Diharapkan pula ada sebuah komunikasi yang timbal balik, antara komunias pembaca dan komunitas penulis ini.

Sebenarnya, kehadiran teknologi bisa berjalan seiring sebagai upaya dan media masyarakat dalam memperoleh informasi dan pengetahuan. Memang, ada kelebihan dan kekurangan, misal beberapa media bacaan konvensional buku atau lembaran koran tergantikan dengan versi digital berupa e book atau e paper.

Beberapa orang masih ”menikmatiî kelebihan media baca konvensional berupa lembaran kertas, yang bisa ditenteng ke mana-mana, ataupun alasan ”kepuasanî dalam menikmati bacaan tersebut.

Namun media digital juga hadir dengan segala kelebihannya. Perang-kat notebook atau personal digital assitance (PDA)-yang saat ini harganya semakin terjangkau, mampu menyimpan beratus-ratus judul buku, atau bisa membuka lembaran-lembaran surat kabar terbaru.

Tentu akan lebih efektif, jika acara kumpul anggota komunitas pembaca tidak hanya di bangku-bangku di sebelah rak buku, tetapi di taman-taman yang juga menyediakan fasilitas hotspot untuk mengakses internet secara cuma-cuma.

Ke depannya hal ini juga memerlukan pemikiran  tersedianya infrastruktur akses ini, atau bagi taman bacaan juga menyediakan fasilitas e book yang dikemas dalam kepingan cakram (CD).

Langkah untuk membumikan budaya membaca perlu mendapat dukungan dan perhatian dari pemkab dan instansi terkait. (10)

— Wahyu Priyono, anggota Epistoholik Indonesia dan pegiat Pustaka Alif  di Karanganyar
Wacana Suara Merdeka 7 Desember 2009